Kehidupan ini membuatku takut. Hari ini aku mengatakan sesuatu yang terasa begitu mustahil. Esoknya, aku melakukannya dengan sadar!
______
"Anak tol-ol!" Suara pecahan piring dan teriakan ayah membuat Bita keluar dari kamar dengan tergesa.
"Kenapa, Yah?" tanya Bita, dengan pandangan sedih pada lauk pagi ini yang berserakan di lantai.
"Pake nanya lo!" ujar Bastian naik pitam. Lelaki itu menginjak tempe dan tahu dengan sandal yang memang selalu dirinya kenakan walau di dalam rumah. "Goreng ginian aja gak becus, bisanya apa hah?"
"Tadi nenek minta minum, Yah. Jadi sedikit gosong lauknya. Sekarang Ayah mau makan apa?" tanya Bita lembut, mencoba memberikan opsi agar emosi ayahnya tak semakin menaik.
"Gak napsu makan gue, mau duit." Bastian mengulurkan tangannya meminta uang pada Bita. Terbalik? Memang begitu kehidupan yang Tuhan berikan pada keluarga ini.
"Aku gak ada uang, Yah."
Bastian berdecak, menendang kursi makan dengan emosi menggebu. Lagi-lagi Bita mencoba membohonginya. "Emang gue bisa lo bohongin, hah?" tanya Bastian.
Bita menghela napas pelan. "Kalo aku ada aku kasih ke Ayah."
"Dua puluh ribu aja masa lo gak ada?" tanya Bastian dengan wajah kesal.
"Engga ada, Yah. Uangnya buat beli obat, Nenek."
"Nenek-nenek, mau mati aja masih nyusahin!" Bastian masuk ke dalam kamar Bita, menggeledah lemari dan mengacak-acak isinya.
Bita berlari, mencegah Ayahnya memecahkan celengan miliknya. Satu-satunya harapan Bita untuk melanjutkan kuliah, tabungan yang dirinya kumpulkan sejak SMP.
"Jangan, Yah. Ini tabungan Bita kuliah!" Mohon Bita yang tak di dengar oleh Bastian.
"Lo mau ngumpulin sampe tua tetep aja gak bakalan bisa kuliah. Pendidikan tinggi juga gak jamin lo sukses. Liat gue, sarjana, jadi apa?" tanya Bastian dengan jari tengah yang dirinya gunakan untuk menunjuk Bita. "Jadi, tai!"
"Ayah tapi Bita mau buktiin ... "
"Buktiin apa? Buktiin kalo lo sama-sama gak becusnya kaya gue?"
Mata perempuan itu berkaca-kaca, kekecewaan Bastian pada dirinya sendiri selalu berimbas pada kehidupan Bita. Bastian selalu menyamakan kegagalannya dengan kegagalan yang belum tentu terjadi di hidup Bita.
Bastian membawa pergi celengan milik Bita. Perempuan itu mengejarnya dengan tangis yang tak mampu ia tahan.
"Ayah, itu harapan Bita!" suara lirih menyedihkan itu masih terdengar di telinga Bastian, namun Bastian tak menoleh sedikit pun.
***
Bersekolah di SMA River Atmaja bukanlah sebuah kebetulan. Anak miskin seperti Tsabita Cahaya Bulan harus mati-matian belajar agar mampu bersaing dengan siswi berprestasi lainnya. Dan Tuhan memang tak pernah mengingkari janji, usaha dan doanya Allah kabulkan dengan keterimanya Bita dengan beasiswa full sampai lulus sekolah.
Oleh karena itu, Bita tak tertarik menjalani suatu hubungan. Walau, banyak lelaki secara terang-terangan mendekatinya, Bita tetap pada pendiriannya-- belajar, belajar dan bekerja. Bukan Bita tak ingin menikmati masa remaja, tuntutan hidup Bita memang tak ada celah untuk hidup berleha-leha. Sekalinya dirinya bersantai, satu rumah tak bisa makan.
"Gue punya gosip baru Bita!" teriak Jule tertahan dengan mata berbinar. Perempuan itu menarik Bita yang baru datang ke dalam barisan.
"Bit, njir lo anak polos harus hati-hati. Jangan deketin ini orang, ya!" Rembulan ikut memberikan wejangan.
"Apa?" tanya Bita bingung. Dirinya baru datang, untung saja Pak Jaja masih baik hati membiarkannya mengikuti upacara. Eh, langsung di beri gosip yang tak tau nama orangnya.
"Gue ketemu dia sama om-om di hotel Horizon. Sumpah gandengan tangan!" ujar Jule menggebu-gebu.
"Siapa?" tanya Bita sedikit penasaran.
"Baris paling belakang kita. Pake lipstik, alisan kaya mau ngelenong!" Nyinyir Jule sambil melirik ke arah belakang.
Bita yang memang polos, membalikkan badan, mencari temannya yang di maksud. Namanya anak IPS berdandan tipis-tipis bukan lagi rahasia umum. Karena tatapan Bita yang terlalu intens membuat Mira menatap balik Bita.
"Ngapain lo liatin gue?" tanya Mira galak.
Bita nyengir, melambaikan tangan pada Mira. "Engga, gue lagi absen aja takut ada yang bolos upacara." Alibi Bita.
Jule dan Rembulan menghela napas lega. Untung temannya ini memang salah satu seksi ketertiban di kelas, jadi jawaban Bita tergolong masuk akal.
"Mira, ya?" tanya Bita pada kedua temannya yang terlihat pias. "Muka kalian kenapa, sakit?"
"Ga!" jawab kedua temannya judes.
"Oke, deh," ujar Bita.
Selama upacara Jule dan Rembulan tak mengatakan apapun pada Bita. Sedangkan, Bita adalah perempuan yang tidak mau meributkan masalah sepele, maka saat barisan sudah di bubarkan, Bita dengan polosnya menggandeng kedua sahabat baiknya, kan semua memang baik-baik saja.
"Dari pada gosip, gue mau ngasih kisi-kisi sosiologi. Mau?" Tentu saja sogokan Bita ini berhasil membuat keduanya balik menggandeng tangan Bita.
"Ah, sayang Bita!" Jule bahkan hampir mencium Bita kalau saja Bita tak buru-buru menghindar.
Persahabatan itu memang rumit, banyak problem dan butuh banyak kata pengertian satu sama lain. Disisi lain, mereka juga lah yang mengisi warna masa sekolah Bita.
"Bestie, lo noh Bit. Lo-nte gitu di kejer mulu!" Rembulan menyenggol bahu Bita yang sedang bercanda dengan Jule. Mata Bita mengikuti arah pandang Rembulan.
Di depan kelas Mira sedang marah-marah bahkan terkesan mencaci Seka. Siswa lainnya tak ada yang mau ikut campur karena Seka memang sulit di beri masukan. Sudah tau tipe Mira om-om banyak duit, Seka yang uang dua ribu masih di cari tetap saja nekad mendekati Mira. Cari sakit hati namanya!
"Gue tuh GA-K SU-KA SA-MA LO IDIOT. Jangan kasih apapun lagi, ngerti?!" Mira membuang pemberian Seka ke dalam tong sampah tanpa belas kasihan.
Seka yang malu menjadi bahan ejekan di kelas tak langsung masuk ke dalam kelas dan duduk termenung. Bita mengambil kotak bekal yang tadi Mira buang, lalu menghampiri Seka dengan senyum manis miliknya.
"Seka, masak apa hari ini?" tanya Bita tulus.
Tak ada jawaban dari lelaki yang menggunakan kacamata tebal itu. Bita mendengar suara isak tangis Seka. Perempuan itu menepuk singkat bahu Seka, agar lelaki itu sedikit lebih tenang.
"Boleh gue yang makan?" Seka mengangguk menjawab pertanyaan Bita. Setiap hari saat masakannya tak ada yang menghargai, Bita satu-satunya orang yang selalu mau menerima masakannya dengan senang hati.
"Gak enak kan masakan gue?" tanya Seka dengan kepala menunduk menatap sepatu miliknya.
"Enak, ini aja mau habis!" jawab Bita tanpa pikir panjang. Mulut perempuan itu penuh dengan makanan.
Seka menoleh, melihat Bita yang memakannya begitu lahap, ujung bibir Seka melengkung indah. "Terima kasih, Bita!"
"Okey, sama-sama Seka. Besok masak lagi ya, kalo Mira gak mau buat gue aja, soalnya masakan lo itu beneran enakkk buangettz!" Bita menyerahkan kotak bekal yang isinya sudah habis pada Seka. Seka menerimanya dengan binar bahagia. Cara bicara Bita yang tulus terasa di hati Seka.
"Bita, lo gak pernah punya masalah hidup yang berat, ya?" tanya Seka penasaran.
"Hahaha. Ada-ada aja lo!" Bita tertawa dengan tangan kiri menonyor bahu Seka.
"Tuh, lo keliatan riang banget. Kalo ketawa kaya gak punya beban hidup. Gue iri!" Seka berkata dengan nada lesu.
Bita menoleh, menatap Seka serius. "Lo cuman gak tau ke dalem-dalem hidup seseorang, Ka. Bisa aja yang lo anggap suci malah jual diri."
"Bit!"
"Bukan gue!" kekeh Bita. "Ya kali gue yang tepos ini laku."
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Semester Akhir
Teen FictionSatu semester akhir menjadi penentu kelulusan. Namun, semua tak sesuai harapan. Tsabita siswi cerdas dan tidak neko-neko hamil di luar nikah, tanpa tahu pria seperti apa yang membelinya malam itu. Rupanya kasus Bita membuatnya terjebak pada kasus ya...