Bab 3 Jual Diri

2.9K 167 1
                                    

Bastian mendorong pintu caffe dengan wajah cemas. Karyawan lain yang melihat kedatangan lelaki penuh tato itu menatap bingung.

"Bita mana?" seru Bastian.

"Ada yang bisa kami bantu?" Septa me dekati Bastian dengan senyum manis miliknya.

"Gue mau ketemu Bita. Dari tadi gue bilang gue mau ketemu Bita. Bonge ya lu?" Bastian yang tak sabaran mendorong bahu Septa. Berjalan mencari putrinya seperti orang mengajak perang.

Bita terengah-engah berjalan mendekati ayahnya ketika salah satu karyawan memberitahukan seseorang mencarinya.

"Yah, ada apa?" Bita menarik tangan Bastian keluar dari area indoor caffe. Bau alkohol yang tercium dari tubuh Bastian pasti membuat pelanggan tak nyaman.

"Nenek lo, tuh, buat gue pusing! Lo ikut gue cepet ke rumah sakit." Kini Bastian yang memaksa Bita mengikuti langkahnya. Bita jelas menolak, setengah jam lagi baru selesai jam kerjanya.

"Belum jam pulang, Yah," ujar Bita.

Bastian mengacak rambutnya kasar. "Lo kalo nunggu jam pulang, bendera kuning yang lo liat di rumah!" kata Bastian dengan nada sungguh-sungguh.

Degup jantung Bita meningkat, kepalanya mendongak dengan mata yang menampilkan binar takut. Bita baru sadar Ayahnya tak pernah menemuinya selama ini dalam ke adaan apapun.

"Nenek kenapa?" tanya Bita, dengan harapan Ayahnya menjawab dengan nada datar seperti biasa.

Mata bulat milik Bastian terpejam beberapa saat, sebelum menarik tangan ringkih putri satu-satunya menaiki motor bebek miliknya. Mulut Bastian yang selalu mengumpat kali ini tak bersuara. Semua ini membuat Bita takut.

"Yah, kerjaan aku belum sele-"

Tatapan tajam Bastian membungkam mulut perempuan itu, dengan wajah datar Bastian berkata. "Nenek lo mati kalo sekarang lo gak ke rumah sakit. Bego!"

Tak ada malam paling gelap yang Bita rasa dari pada malam ini. Angin malam yang biasanya menenangkan, kali ini tak bisa membuat Bita merasa lebih baik. Di balik punggung sang Ayah Bita tengah menangis, tanpa sadar tetesan air mata perempuan itu menetes membasahi baju Bastian.

Kesedihan Bita kali ini juga membuat perempuan itu melupakan satu fakta 'bahwa Ayahnya menjemput Bita bekerja' suatu hal yang selalu Bita angan-angankan.

"Nenek di ruangan apa, Yah?" tanya Bita dengan suara serak.

"IGD."

Bita melangkah dengan langkah lebar, diiringi dengan pikiran buruk yang menghantuinya.

"Nenek lo harus segera di operasi," ujar Bastian membuat langkah Bita melambat.

"Kenapa Ayah gak langsung setuju dan malah jemput aku?"

Bastian mencekal tangan Bita. "Lo tau gak berapa biaya yang di butuhkan? Sepuluh juta, duit dari mana gue. Tol-ol!" sentak Bastian.

"Terus Ayah pikir aku punya uang sebanyak itu?" tanya Bita frustasi.

"Ya, lo usaha, bukannya nangis."

Ayah katanya cinta pertama bagi anak perempuannya, tapi mengapa ayahnya adalah orang paling pertama yang selalu membuatnya merasa tak beruntung hidup di dunia ini? Mengapa lelaki di hadapannya selalu membuatnya dalam situasi sulit?

Bita berjalan menjauhi Bastian. Tak akan ada jalan keluar jika Bita terus berdebat dengan Bastian sedangkan neneknya harus segera mendapatkan penanganan. Dengan tangan gemetar Bita mencari nomer seseorang yang bisa membantu masalahnya kali ini.

{Malem, Mir.}

Menunggu balasan, Bibir perempuan itu komat-kamit memohon ampun pada Tuhan.

"Maaf, Tuhan. Bukan Bita gak percaya jalan terbaik, tapi kali ini Bita benar-benar berada di situasi tersulit!"

Satu Semester AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang