24. Mencari Jawaban

899 124 12
                                    

Mentari saja belum bersinar, waktu terbitnya satu jam lagi, sedangkan Lantra sudah tiba di depan gerbang sekolahan. Suara klakson mobilnya membuat satpam melek seketika. Untungnya Lantra anak dari pemilik sekolah, sepatu pak Ano – satpam yang berjaga saat ini – tak jadi melayang.

“Pak saya mau masuk!” teriak Lantra ketika Pak Ano hanya diam menatap mobilnya.

“Bocah geblek jam segini sudah berangkat sekolah!” dumel Pak Ano sambil membuka gerbang sesuai perintah yang mulia Lantra.

“Kamsahamilda,” ucap Lantra tengil lalu melajukan mobilnya ke tempat parkir khusus kepala sekolah.

Sengaja membuat onar, sudah lama dia tak mendapatkan ceramah gratis Pak Cahyono, kepseknya itu pasti rindu kontrol tekanan darah dan kesehatan jantungnya.

Dengan mata ngantuk, baju penuh bercak darah, Lantra menyeret kakinya menuju kelasnya. Lorong sekolah yang masih gelap sedikit menciptakan kesan horor. Tubuh Lantra meremang ketika melewati kamar mandi lantai satu pojok tangga.

“Darah gue nggak ngundang mbak kunt-“

“Tol, babi, setan, pocong, BANGSAT!” Lantra memegang dadanya yang serasa akan copot. “Kucing kurang makan, babi kaget gue.” Maki Lantra ketika sesuatu yang melewatinya ternyata seekor kucing liar.

Lantra berdeham, untung tidak ada yang melihatnya, bisa pudar image bad boy tampannya.

Kaki Lantra menendang pintu kelas, ingat, bapaknya yang punya sekolahan pintu satu rusak bukan masalah besar. Yang jadi masalah adalah ...

“SAATT ... Kaki gue!” Lantra memegangi kakinya yang berdenyut nyeri, pintu kelasnya ternyata masih di kunci.

Menunggu kedatangan Angkasa dan Seka lama, Lantra memutuskan merebahkan diri di depan pintu, agar saat temannya ada yang berangkat dia merasakan kehadiran mereka. Mata Lantra terpejam, badannya yang kelelahan membuatnya bisa tidur nyenyak sekalipun tidak beralaskan apapun.

Hingga dua jam kemudian, para siswa sudah berdatangan ke sekolah, bel sekolahan bahkan akan berbunyi sepuluh menit lagi, tetapi Lantra masih nyaman di dalam mimpi.

“Kita harus apa?” tanya Angkasa ke lima kalinya pada Seka.

“Pencet saja hidungnya,” ujar Seka memberi usul, Seka pun sudah lelah jongkok menunggu Lantra membuka mata.

“Ya sudah bareng,” ujar Angkasa.

“Lo saja, gue takut.” Tolak Seka.

“Ck. Ayok bareng, gue nggak mau jadi tumbal Lantra sendirian.” Angkasa menarik tangan Seka.

Kedua tangan mereka gemetaran ketika akan menyentuh hidung mancung Lantra. Rumornya Lantra pernah menumbangkan satu gerombolan seorang diri dengan tangan kosong. Apalagi meremukkan tubuh mereka berdua, seperti sedang mencari upil, mudah banget.

“ANJIG!!” Mata Lantra membulat, kedua tangannya mendorong muka Angkasa dan Seka sampai mereka terjengkang.

“Maksud lo apa, HAH?” tanya Lantra murka pada Jule yang menginjak kakinya. Dua kali dalam waktu dekat kakinya sudah menjadi korban.

“Lo mentang-mentang yang punya sekolahan banyak banget tingkah. Pulang kalo mau tidur, jangan menghalangi jalan kami masuk kelas,” sewot Jule yang ada benarnya.

“Sudah Le jangan emosi,” kata Seka bijak karena dia tak ingin ada percekcokan di pagi hari.

Mata Lantra menangkap bayangan perempuan yang dia tunggu. Lantra berdiri, membuat kemeja yang dia jadikan penutup noda darah di kaosnya tersingkap. Mereka semua yang melihat noda darah itu membuka mulut syok dengan mata melotot.

Satu Semester AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang