12. Terpaksa Saling Melukai

1.8K 134 0
                                    

Langkahku terhenti ketika rasa sakit di ulu hati semakin menjadi-jadi. Aku mengusap dadaku sambil menarik napas panjang.

"Bitaa!" Bu Tini pemilik warung nasi langganan ku berteriak ketika aku melewati warung makannya. Aku tersenyum sopan.

Dengan tangan yang masih menggenggam centong nasi, Bu Tini memberitahuku mengenai kelakuan Ayah. "Ayah lo siang-siang mabok. Untung Aris dateng, kalo gak dia ngamuk di mari." ujarnya.

Aku menundukkan kepala, bingung bagaimana lagi aku harus menyikapi para warga yang komplain mengenai sikap ayah. Sudah berbusa mulutku ceramah memberitahu larangan mabok dan efek sampingnya. Bukannya mengikuti saran ku, ayah malah marah dan semakin menjadi-jadi.

Bu Tini memegang bahuku, mencondongkan tubuhnya lalu berbisik sambil melihat sekitar. "Tadi yang gue denger dia mau hajar lo, terus dia nunjukin alat tes kehamilan ke gue sambil nangis-nangis. Pas gue tanya itu punya siapa, dia malah ngamuk."

Aku menahan napas mendengar penuturan bu Tini. Jantungku berdetak begitu cepat seperti akan keluar. Ulu hatiku yang nyeri semakin terasa tak enak. Di tambah lagi janin yang merasakan perasaan cemas ku membuat perut keram.

"Jadi bener rumor bapak lo mau nikah sama janda Laras, itu karena Laras udah hamidun?"

"Idih, ati-ati Bit, si Laras itu cuman suka sama harta bapak lo doang. Kalo udah habis, si Laras pasti bakalan minta cere kaya yang udah-udah."

Sedikit lega karena bu Tini tidak mengira bahwa aku yang hamil di luar nikah, yang artinya warga lain pasti berpikiran yang sama. Aku tidak mau berlindung di balik wajah polos milikku, tapi kali ini aku membutuhkan cap anak baik-baik agar ijazah SMA bisa ku peluk.

"Em ... Bita gak tau, Bu. Soal Ayah tadi buat kerusuhan, Bita minta maaf. Sekalian Bita mau pamit pulang, udah  mau adzan."

"Ya, jangan lupa Ayahmu suruh bayar hutang."

**

Sudah pukul sebelas malam tapi tanda-tanda ayah pulang belum ada. Pasti Ayah kecewa dan sangat marah mengetahui fakta aku hamil. Kamar yang berantakan menjadi salah satu bukti kemarahan ayah.

Aku duduk termenung di ruang tamu, menatap fotoku bersama nenek. Mengapa jadi begini? Aku hanya ingin menyelamatkan hidup nenek. Tapi semuanya menjadi runyam.

Gedoran keras dengan teriakan yang memanggil namaku membuat ku terlonjak kaget. Aku buru-buru bangkit dan membuka pintu yang terkunci.

"Awas!" ayah mendorongku ketika aku menghalangi jalannya. Mataku menatap wanita asing yang ayah bawa pulang.

Aku berjalan mendahului ketika mereka akan masuk ke dalam kamar. "Ayah nanti pak RT datang kalo ayah bawa wanita masuk ke dalam kamar malam-malam." ujarku.

"Gak usah ikut campur!"

"Tapi-"

Wanita itu tersenyum singkat padaku lalu menjulurkan tangannya. "Saya Laras, sebentar lagi saya akan menikah dengan ayah kamu. Jadi, tenang saja Bita."

Dada ku bergemuruh mendengar perkataan Laras. Aku tidak pernah melarang ayah menikah, aku ingin melihat ayah bahagia, tapi mengapa ayah tak mengatakan apapun padaku? dan aku tak ingin memiliki ibu yang umurnya tak beda jauh dari umurku.

"Ayah?" aku menatap ayah penuh intimidasi. Mungkin karena efek hamil perasaanku mudah meledak. "Aku mau ngomong berdua sama ayah!"

"Ras, tutup pintunya!" ayah menyuruh Laras menutup pintu dan artinya mengusirku dari hadapan mereka.

"Kak boleh keluar dulu? Aku mau ngomong sama ayah!" mohonku pada Laras.

"Lo sini aja, suruh anak itu pergi."

Laras menatapku dan ayah bergantian. Sepertinya dirinya kewalahan menghadapi sikap keras kepala kami.

"Aku tinggal dulu, Mas." Pada akhirnya Laras mengalah, membiarkan ku berbicara dengan ayah yang kini sudah memunggungi ku. Menolak dengan keras berbicara, ayah sejak tadi bahkan tak mau menatapku.

Mataku menatap tumpukan baju kotor di sudut kamar, sudah lama aku tidak membersihkan kamar ayah. Semenjak nenek meninggal, aku membatasi interaksi dengan ayah. Aku menghukum ayah dengan tidak membuat sarapan dan tak pernah lagi memperhatikan ayah.

Lidahku kelu, tapi ku paksa kan mengeluarkan kalimat awal sebagai tanda basa-basi. "Ayah sehat?" tanyaku agak bodoh.

Aku mendengar ayah mendengus. Tubuh ayah bergerak dari tidurnya, dia mengambil bantal untuk menutup seluruh wajah. "Gue mau tidur, pergi!" usir ayah, kesekian kalinya.

"Bita minta maaf!" Nadaku bergetar. Ini permintaan maaf paling tulus yang aku ucapkan. "Maaf, karena Bita lahir ayah gak bisa menikmati masa muda ayah."

Orang bilang ayah adalah beban keluarga ini, ayah hanyalah laki-laki yang tak berguna dan menyusahkan. Hobinya hanya judi dan mabok. Tetapi, aku tau ayah melakukan itu karena melampiaskan kesedihannya di tinggal ibu. Harga dirinya yang habis, membuat ayah tak bersemangat menjalani hidup. Apalagi, aku mirip dengan wanita yang menelantarkannya. Wanita yang memilih karier dan sekarang menikah dengan orang kaya di luar pulau jawa.

Ayah frustasi, dia hilang arah. Maka dia melampiaskannya dengan memarahiku, berharap kekecewaannya pada ibu dapat tersalurkan.

Keheningan menyelimuti kami, ayah tetap tak meladeni ku. Mungkin karena jengah dengan keberadaan ku ayah beranjak dari kasur. Ku pikir ayah akan menyeret ku keluar, tetapi dia membuka lemari. Aku melihat kedua tangannya mengepal. Urat-urat di tangannya terlihat begitu jelas.

"Gue bersyukur dia mati sebelum tau kelakuan bangsat lo!" Lemparan testpack dan uang mengenai wajahku.

Tentu saja aku terkejut, aku mundur beberapa langkah.

"Di bayar berapa lo?" teriak ayah sambil mencengkeram bahuku. Aku gemetar, ketakutan melihat raut ayah yang menyeramkan.

Kaki besarnya menginjak-injak uang yang tadi dia lempar ke wajahku. Aku melihat matanya berkaca-kaca. Ini kali pertama aku melihat ayah dengan tatapan sendu.

"Yah. Maaf!" cicitku. Aku berdosa sebagai anak. Walau, orang tua ku tak pernah memperlakukanku baik, tetap saja kelakuan ku ini membuat ayah malu.

"Kuliah-kuliah tai anjing!" Ayah terus menginjak uang kertas yang berserakan.

Perutku yang semakin besar membuat pergerakkan ku semakin sulit. Aku jongkok memungut testpack dan uang yang ayah injak-injak. Rasanya seperti memungut sisa harga diri. Begitu menyakitkan.

"Bita minta maaf!"

"Bita salah."

"Keluar!" teriak ayah.

Aku memberanikan diri memegang tangan ayah yang terdapat beberapa plester menutupi lukanya. Hasil dari kerja keras menjadi buruh kuli. Ini yang membuat aku tak pernah bisa benar-benar membenci ayah. Mulutnya memang kotor, tapi aku yakin pelukannya masih hangat. Ayah hanya sedikit gengsi untuk menunjukkan kepeduliannya.

"Bita mau aborsi!" Pernyataan ku ini membuat ayah tersentak kaget. Dia menatapku nyalang.

"Aku pikir-pikir kalo aku ikut mati sama janinnya, ayah juga bakalan baik-baik aja. Udah ada Laras yang bakalan gantiin aku dan rawat ayah."

"Gue gak mau denger. Pergi!" Ayah menyeret ku sampai depan pintu. Menutup pintu dan menguncinya.

Sekali lagi, aku menemukan jawaban, aku harus aborsi. Demi kebahagiaan semua orang dan masa depanku.

Hahaha... Iya, masa depanku!

**

Nah gimna? Udah ketebak belum alur kedepannya? Nih aku kasih spoiler ya. Next di bab berikut Jule sama Rembulan udah tau Bita hamil.

Kalo alurnya lambat, memang sih hehe aku buatnya memang seperti ini. Semoga dinikmati dan bisa di terima oleh kalian :)

Satu Semester AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang