“Ngapain ngajak gue ketemuan di sini?” tanya Mira. Bola mata perempuan itu bergerak gelisah.
Gustira melempar sebungkus rokok pada Mira, mengawali basa-basi. “Santai saja, gue cuman mau ngajak lo ngobrol.” Ujar Gustira dengan sudut bibir melengkung ke atas, membuat mata bulatnya menyipit.
Tetapi, dimata Mira senyum Gustira mengintimidasi, menakutkan, membuat debaran jantungnya semakin tak karuan.
“Lo takut?” Kekeh Gustira.
Siapa yang tidak takut berdekatan dengan pria dingin seperti Gustira? Selama mereka sekolah di tempat yang sama, Mira hanya mengenal Gustira lewat gosip yang beredar.
Mengatasi rasa takutnya Mira menyulut rokok. Menerka-nerka obrolan seperti apa yang membuat Gustira ingin bertemu dengannya.
“Lo takut ketinggian?”
Mira menggeleng, di dunia ini yang dia takuti adalah melihat ibunya berhenti bernapas.
“Gue takut,” ujar Gustira. Tatapannya menatap pemandangan di bawah. Dari atas rooftop manusia terlihat mengecil. “Gue takut ketinggian mewujudkan hal gila yang sedang gue pikirkan saat ini. Lo mau tau apa?”
Mira menelan salivanya, dia menoleh, tatapan mereka bertemu. Senyum Gustira semakin lebar.
“Gimana kalo kita terjun bareng?”
“Gila!” Mira mundur ketika Gustira memajukan langkahnya. “Gue nggak pernah usik hidup lo, kenapa lo ganggu ketenangan gue?” teriak Mira.
Jari telunjuk Gustira menempel pada bibirnya. “Jangan berisik.”
Sekujur tubuh Mira meremang, kakinya lemas tak memiliki tenaga. Matanya membulat sempurna, tangannya membekap mulutnya agar dia tak menjerit histeris ketika Gustira mengambil pisau kecil dari saku celananya.
“Kalo lo nggak mau mati bareng gue, lo mau gue bu*uh siapa?”
“Gustira ... Gue mohon jangan permainkan gue, lo mau apa dari gue, jangan kaya gini.” Mira berkata dengan bibir bergetar. Kini wanita itu bersimpuh di hadapan Gustira, meminta belas kasih.
“Apapun?”
“Ya, apapun.”
Tubuh pria itu merendah, tangannya mencengkeram wajah Mira. “Beri gue bukti Cahyono melecehkan lo. Kalo sampai gagal dan ketahuan, lo mati di tangan gue.”
Mira mengambil napas banyak ketika Gustira melangkah menjauh darinya. Dadanya terasa sesak, keringat dingin membanjiri keningnya.
“Mira!”
Deg, ritme jantung yang semula perlahan membaik kini kembali bak lari maraton ketika Gustira memanggil namanya.
“Buat berobat ibu lo.” Gustira melemparkan satu gepok uang pada Mira, uang itu hasil dari dia menjual motor miliknya. “Sebelum dia mati lo harus tobat jual diri. Itu uang halal.”
**
Di kantin yang selalu riuh, Bita, Rembulan, Jule, Angkasa dan Seka sedang mendiskusikan sesuatu. Berdempetan satu sama lain agar obrolan mereka tak keluar dan didengar siswa lainnya.
“Jadi sejak kapan lo tau kalo Gustira ayah dari-“ Rembulan melirik perut Bita, lidahnya kelu melanjutkan kalimatnya.
“Gue malah sempet nuduh lo anjir!” kata Jule pada Angkasa.
“Ente kadang-kadang ente. Gue emang otak bokep, tapi nggak akan ngerusak cewe kaya Bita.”
“Ya bisa aja lo khilaf dan memperkaos Bita.”
Seka menggelengkan kepala. “Jangan berantem terus, nanti kalian nikah loh!” Katanya sambil membenarkan kaca mata yang melorot.
Angkasa dan Jule memasang raut jijik. Mereka menikah adalah kemustahilan dunia.
“Kembali ke topik, sekarang lo mau apa dari dia? Jangan diem aja Bita, dia harus tanggung jawab. Lo pasti dipaksakan sama dia?” Rembulan hanya ingin Bita mendapat keadilan.
“Engga.” Jawaban Bita mengecewakan mereka semua.
“Please deh Bit, jangan ngebela dia terus, kalo lo hancur dia harus ikut kecebur bareng lo.” Jule jadi gereget sendiri pada Bita. Boleh baik, tapi tolonglah ini mah nyerempet ke go*lok.
“Kenyataannya emang gitu, dia enggak maksa gue. Malam itu kita sama-sama dapat keuntungan.”
Mereka semua melirik satu sama lain. Semakin merapatkan barisan.
Rembulan mengusap bahu Bita. Saat ini Bita pasti sedang merasa tertekan karena harus menceritakan kembali lukanya.
“Keuntungan apa yang lo dapet dari Gustira? Keturunan yang tampan? Gue juga bisa Bit, tapi nanti.” Angkasa membuyarkan suasana sedih.
Jule mendelik. “Khusus mulut lo wajib diem!”
“Gue nggak bisa jelasin detailnya karena itu aib gue sama dia, intinya dia juga nggak sepenuhnya salah karena gue bukan diperk*sa atau di paksa.”
“Jangan pasrah gitu aja lah Bit, masa depan lo terancam, minimal dia harus janji buat lo lulus sekolah.” Jule tak suka Bita pasrah dengan keadaan.
Lantra menggeser tubuh Angkasa, pria itu duduk di samping Rembulan.
“kenapa kok pada diem?” tanya Lantra polos seakan dia melupakan dirinya yang marah-marah beberapa hari yang lalu.
“Lo perusak suasana,” ujar Rembulan tanpa basa-basi. “Dan lo nggak di ajak.”
Lantra merangkul bahu rembulan. Pria itu mengedipkan mata pada wanita judes di sampingnya.
“Emang gue nggak di ajak, tapi gue mau mengajak kalian kerja sama.”
“Kerja sama yang menguntungkan semua pihak di sekolah ini.”
“Kapan lagi kalian berguna untuk negeri!”
Angkasa mengerutkan alisnya, dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Ini semacam mengalahkan kejahatan tingkat nasional?”
Tepukan tangan Lantra membuat mereka terperanjat kaget. “Benar! Kalian akan dikenang sebagai pahlawan-“
“Kesiangan.” Sahut Seka, mendapati gelak tawa teman-temannya.
“Gue serius, lo juga mau tau alasan dibalik ini semua kan, Bit?” tatapan Lantra dan Bita bertemu. Senyum Lantra mengembang. “Kalo mau ikut gue ke tempat tongkrongan anak-anak. Di sana gue bakalan menjelaskan dengan detail.”
Jule berdecak sinis. Lantra dimatanya hanya seorang musuh dalam selimut saat ini.
“Buat apa kita harus ke sana, lo mau menjebak kita semua di sana, kan? Seperti lo yang ngejebak Bita biar tutup mulut soal Gustira!”
Lantra menggebrak meja, kesabarannya setipis tisu dibelah dua. Dia menarik napas kasar. Memejamkan matanya mengumpulkan kembali rasa sabar itu.
“Oke, gue minta maaf banget karena pernah maksa Bita untuk menggugurkan janinnya. Lo semua denger baik-baik, salah satu alasan kenapa gue nggak mau Gustira terseret karena gue sama Gustira sedang menjalankan misi penting, demi membalaskan dendam korban-korban River yang tak lain bokap gue dan Gustira.”
“Gustira harus lulus sekolah karena itu salah satu syarat agar Bu Astrid, saksi kekejaman bokap gue mau buka suara di pengadilan sebelum dia menjalankan hukuman mati.”
Lantra menatap mata mereka satu persatu. Dia mengecilkan suaranya sepelan mungkin. “Ibu gue dan Gustira beda. Gustira lahir karena bokap gue memperkosa ibunya saat di panti. Lo ingat kan Bit, panti yang terbengkalai itu? Dan kuburan-kuburan tak terurus. Semua itu disebabkan oleh River. Pria tua bangka itu memperkosa gadis-gadis di sana. Astrid yang merasa tak sanggup melihat mereka putus asa membunuh beberapa anak panti.”
“Ibu Gustira bunuh diri tak sanggup menjalani hidup sebagai korban pemerkosaan. Sedangkan, ibu gue sakit melihat kelakuan pria itu yang selalu bawa pulang jalang sialannya.”
Angkasa menepuk bahu Lantra, napas pria itu yang tak beraturan menunjukkan seberapa sakit hatinya saat bercerita kejadian kelam itu. Angkasa memeluk Lantra.
“Lo kuat!” ujar Angkasa dengan raut sedih.
“Tapi nggak usah meluk gue.” Lantra menjauhkan tubuh Angkasa dari tubuhnya.
Bita yang sejak tadi bungkam, membuka suara. Dia menatap Lantra penuh keyakinan. “Apa yang bisa gue bantu agar mereka semua mendapat keadilan?”
Jule dan Rembulan menatap Bita. Mereka berkata bersamaan. “Lo serius?”
“Serius, mari akhiri kisah ini sebagai pemenang!”
Walau, dirinya sendiri tak tau seberuntung apa nasibnya ke depan, Bita akan mencoba menjadi pahlawan untuk dirinya sendiri di kisah hidupnya.
**
Minggu
Gustira: Gue beliin lo pisang, jeruk dan buah-buahan lainnya
Gustira: katanya itu bagus buat ibu hamil
Gustira: ko belum di ambil
Senin
Gustira: hari ini janinnya udah gerak berapa kali?
Gustira: lo ngidam cilok engga
Selasa
Gustira: Bita bayi kita laki-laki kalo pake baju kuning boleh?
Gustira: tadi gue liat baju bayi lucu. Keinget anak sendiri
Rabu
Gustira: gue mau ngajak lo beli baju bayi
Kamis
Gustira: Bita lo belum tidur? Janinnya lagi aktif-aktifnya ya?
Jumat
Gustira: Sorry Bit, udah terlambat, ya?________________
Hai, apa kabar?
Aku kembali walau belum 100 vote. Baikkan wkwk.
Kalo kamu jadi Bita, kamu bakalan memaafkan atau memahami Bita?
Tapi gimana kalo kamu jadi Gustira?
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Semester Akhir
Teen FictionSatu semester akhir menjadi penentu kelulusan. Namun, semua tak sesuai harapan. Tsabita siswi cerdas dan tidak neko-neko hamil di luar nikah, tanpa tahu pria seperti apa yang membelinya malam itu. Rupanya kasus Bita membuatnya terjebak pada kasus ya...