23. Pi, udah Bahagia?

1K 127 14
                                    

Menjadi ayah di usia belasan tahun tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Siapa juga yang mempercayakannya menjadi bapak dari anak mereka, selain piatu dirinya miskin ahlak dan miskin harta. Bita hamil karena kecerobohannya, dalam kondisi sadar mana mungkin Bita sudi bersama manusia yang tak ingin jadi manusia ini.

Hari ini berat, sudah dandan kaya badut Ancol, diusir polisi, lalu bertengkar dengan Lantra.

Gustira menoleh, dia menemukan toko yang buka dua puluh empat jam. Mendadak dia ingat Bita yang harus minum susu ibu hamil agar janinnya tidak gizi buruk.

Ketika tangannya sudah memegang handle pintu, Gustira baru sadar kalau dia tidak membawa uang lebih.

"Please kisminnya jangan sekarang!"
Mencari-cari sampai meronggoh setiap saku, Gustira tidak menemukan apapun yang tersisa. Sampai dia menyadari kebodohannya.

"Hilih, gue punya mbanking tolol!"
Dengan percaya dirinya Gustira masuk tanpa menanyakan wujud susu ibu hamil pada penjaga toko.

"Ada rasanya juga?" Gustira memegang susu dengan rasa vanila dan cokelat. Dia termenung, malah salah fokus dengan gambar bayi yang ada di kemasan susu. "Anak gue ntar gede segitu kali, ya?"

Gustira memukul otaknya. "Gue rada seneng bakalan punya anak, dia kayaknya nyesel tahu bapaknya gue." Kekehan miris sebagai akhir dari lamunannya.

Tadinya mau beli satu rasa, tapi takut Bita tidak menyukai vanila dia membeli juga varian rasa cokelat.

"Buat stok istrinya yang lagi menyusui, Mas?" tanya penjaga toko pria yang usianya diatasnya sedikit. Melirik belanjaan Gustira dengan senyum penuh makna.

"Hah?!"

"Belum lahiran dia," jawab Gustira dengan wajah nampak berpikir keras.

Penjaga toko bernama Mail itu tesenyum memaklumi, dia menunjukkan gambar bayi, lalu menjelaskannya.

"Kalo gambar bayi ini artinya susu untuk ibu menyusui, nah ini ada tulisannya."

"Saya ambilkan yang untuk ibu hamil."

Gustira mengusap wajahnya, ternyata ibu hamil dan ibu menyusui punya susu yang berbeda. Berapa banyak uang yang harus dia siapkan khusus persusuan setiap bulannya sampai Bita selesai menyusui? Belum yang lain-lainnya, hem, orang-orang bisa-bisanya semangat nikah muda.

"Masnya habis acara di mana? Capek banget, ya, Mas, sampai nggak keburu ngaca bedaknya luntur." Mail menahan diri untuk tidak menertawakan konsumennya.

"Saya juga kaya Mas, Nikah muda capeknya kepala jadi kaki, untung istri saya pengertian. Nanti pulang dari sini minta buatkan wedang jahe sama istrinya biar bangun pagi badan fit kembali, Mas. Istri saya suka buatkan itu ," kata Mail sambil menyerahkan belanjaan Gustira.

"Oh ... Saya belum ada istri."

"itu?" tanya Mail, menunjuk kresek berisi belanjaan susu ibu hamil yang Gustira tenteng.

Sudut bibir Gustira menyungging. "Kecolongan Mas!"

"ASTAGHFIRULLAH, anak jaman sekarang!!" seru Mail dengan mata melotot.

Setelah drama susu, Gustira mengedarai motornya dengan kecepatan maksimal. Jam-jam jalanan sepi dan terasa milik sendiri. Motor matic ini yang menemaninya setiap saat.

Pikirannya memutar saat dulu bunda - ibu kandung Lantra - masih hidup, wanita itu yang membantu perekonomiannya. Tak sengaja melihat Bita di cafe bunda, Gustira datang lebih sering ke sana dengan alasan membantu Bunda. Baiknya bunda dia mendukung Gustira mendekati Bita.

Lampu kamar Bita masih menyala, Gustira berniat mengetuk pintu dan memberikan enam dus susu secara langsung, namun dia mendengar Bita sedang menangis.

Apa kehamilannya membuat wanita itu tersiksa?

**

Kepalanya terasa mau pecah, jadi Lantra memutuskan untuk tidak langsung pulang dan ketempat tongkrongan.

Lantra juga membawakan satu kardus berisi minuman beralkohol tinggi. Malam ini, dia akan pergi dari dunia nyata yang menyakitkan dan beralih pada dunia halusinasi yang dia ciptakan.

Sudah lama Lantra tak meminum vodka, dia kalap habis dua botol seorang diri. Tubuhnya sempoyongan, mencari kunci mobil yang lupa dia simpan.

"Tuan cari apa?" Ares menepuk pundak Lantra yang sedang mencari kunci ke bawah kolong meja.

"Gue cari kunci mobil, mau pulang, bunda gue ntar nyariin."

Ares menatap punggung Lantra dengan tatapan sendu. Sepertinya halusinasi Lantra membuat bundanya kembali hidup.

"Bunda lo bukannya udah tidur?" Ares bertanya.

"Hem. Bacot lo ah, cepet bantuin cari kunci mobil gue. Noh bunda gue nelepon!"

Padahal ponsel Lantra tak ada notifikasi apapun. Ares mendesah, biarkan sajalah, dia tak ingin membangunkan khayalan indah Lantra. Setelah lama mencari kunci mobil, ternyata ada di saku celana Lantra.

"Sorry, Res. Hehehe!" Lantra pergi keluar dari ruangan yang berisi anak-anak muda dengan sekelumit masalahnya itu.

Ares mengacak rambutnya. Dia menatap kepergian Lantra dengan tawa terlambat. "Hehehe juga!"

**

Jam empat subuh mobil Lantra baru terparkir di samping mobil papi. Lantra berdecak, kenapa papi ada di rumah di saat dia sedang mabuk?

Lantra mencium napasnya sendiri. Dia menyatukan alisnya. "Bau!" keluhnya sendiri.

Persetan, Lantra tetap masuk dengan badan bau alkohol. Anehnya River, dia tidak suka Lantra melampaui batas, tapi dirinya tak sadar menjadi makhluk yang menyamai iblis.

Tangannya baru membuka handle pintu, tapi sudah mendapat dorongan lebih dulu dari dalam. Tubuhnya terdorong. Di depan pintu, River menatap Lantra tajam, uratnya menonjol, di tangannya terdapat kayu golf.

"Kenapa pulang?" tanya River dengan suara tenang padahal dari tatapannya saja sudah siap membunuh.

"Nggak tau!" jawab Lantra, masih setengah mabuk sehingga dia berani melawan ayahnya.

"Kamu tidak sadar diri, sebentar lagi akan mati dan malah mabuk-mabukan, hah?"

Lantra mengusap wajahnya, lalu dia menunduk dan kedua tangganya bersidekap, "Maafkan hamba yang Mulia, seharusnya hamba taubat karena hamba penuh dosa."

"Kamu!" River menendang perut Lantra.

Di saksikan oleh kedua satpam yang serba salah ingin membantu tapi takut, tapi kasihan.

"Sayang!" suara wanita dari dalam itu membuat Lantra bersiaga, jantungnya bergemuruh. Kedua tangannya mengepal, ada jalang baru yang masuk ke dalam rumah ini.

Wanita muda menghampiri River, wanita yang kesekian kalinya River bawa.

"Masuk Citra, saya mau berbicara dengan anak saya!"

"Citra, Bunga, Laura, Sinta, Siti, Juleha. Jadi siapa dah yang mau jadi ibu gue?" Lantra menatap Citra dari ujung kaki sampai ujung kepala. "Anjig, ini mah spek janda anak lima!"

"LANTRA! JAGA BICARAMU!"

"Hai, jalang papi gue!" Lantra semakin menjadi-jadi, dia tertawa dengan maksud mencemooh. "Lo nggak tau kan, kalo bunda gue baru mati tapi dia udah masukin jalan ke rumah. Salah satunya lo!"

River menarik kerah baju Lantra. Dia melayangkan pukulan di pipi kiri berkali-kali, membuat ujung bibirnya berdarah. Tak cukup sampai situ, River melempar tubuh Lantra yang sudah terkapar tak berdaya, memukulinya membabi-buta, seakan Lantra adalah barang yang tak bernyawa dan merasakan sakit.

"Pi, udah bahagia?" tanya Lantra, sebelum dia terbatuk dengan darah yang mengotori bajunya.

**

Hai, terima kasih ya Vote dan Komennya. Aku jadi semakin semangat. Aku update lebih cepet nih!

Ditunggu vote dan Komen kalian selanjutnya❤️

Satu Semester AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang