14. Usianya 17 Minggu

2K 163 16
                                    

Sebentar lagi ujian sekolah akan diadakan. Seharusnya Bita mengurangi izin dan perbanyak belajar. Namun, kenyataanya Bita malah menelusuri gang terpencil padat penduduk. Peluh yang membanjiri keningnya tak mengurangi niatnya untuk mencari klinik untuk melakukan ab*rsi.

Bita mendekati ibu-ibu yang sedang berbincang. Tak lupa membuka obrolan dengan berbasa-basi. "Maaf, mau nanya klinik Bu Erina, Bu!"

Saat Bita menyebutkan nama Bu Erina, mereka menatap Bita penuh cemooh. Senyum ramah mereka hilang diganti dengan wajah mengejek.

"Aduh ... Anak jaman sekarang ngeri-ngeri!" salah satu dari mereka menyindir langsung. Nyali Bita menciut.

Seorang ibu yang sedang menggendong anak menepuk pundak Bita. "Mending urus aja, Neng. Nanti nyesel kalo gak bisa punya anak lagi."

Isi kepalanya yang penuh semakin rumit memikirkan ucapan ibu-ibu di sini, Bita si pengecut memilih pergi tanpa mengucapkan apapun.

Kertas kusut yang selalu Bita bawa menjadi petunjuk satu-satunya. Mencari di internet klinik yang Flara sebutkan tak bisa di lacak. Jelas, ini klinik ilegal yang seharusnya dimusnahkan.

Rintik hujan turun ke bumi tanpa aba-aba. Bita penyuka hujan menjulurkan tangannya merasakan bulir air. Sudut bibirnya menyungging senang. Perasaan gelisah sedikit lebih tenang. Di gang sempit ini, Bita satu-satunya orang yang tersenyum.

Sebentar lagi dirinya akan bebas dan dapat mengejar impiannya. Sebentar lagi ayah tidak akan menyesal

mempunyai anak sepertinya. Dan sebentar lagi dirinya akan membuktikan anak seorang pemabuk bisa membungkam mulut jahat orang-orang yang menghina keluarganya.

Mata bulat milik Bita terus mencocokan nomor rumah warga, langkahnya semakin lebar walau gemuruh menggelegar berniat menghentikan.

Suara adzan sayup-sayup terdengar. Bita terdiam sejenak, jika sebelumnya niatnya begitu kokoh kali ini dirinya bimbang melangkah.

"Gue harus shalat ashar dulu? Atau Aborsi dulu terus taubat?" tanyanya pada diri sendiri.

"Tapi gak ada jaminan gue masih hidup."

"Minggir!" Klakson motor membuat Bita terperanjat kaget. Gang yang hanya bisa dilalui satu motor memang tak akan muat jika Bita berdiam diri di tengah-tengah. Tetapi, bukan itu yang membuat mulutnya terbuka.

Melainkan sosok Gustira yang menatapnya sebal. "Lo kalo mau hujan-hujanan kek bocah di lapangan aja!"

Bukannya minggir Bita malah merentangkan tangannya. Dia akan memanfaatkan Gustira. "Anterin gue ke alamat ini. Please! Di bayar, kok."

"Gue buru-buru!" tolak Gustira. Sepulang sekolah Gustira memiliki kerjaan sampingan menjadi ojek online. Anak sekolahnya tidak ada yang tau, dan sekarang Bita tau. Fakta yang menyebalkan!

Bita mengambil ponselnya. Memotret Gustira yang mengenakan jaket ojek online. Senyum manisnya mengembang. "Kalo foto ini tersebar gak apa-apa?" tanya Bita memancing jawaban berbeda dari Gustira.

Lelaki itu menatap Bita kesal. "Lo ternyata emang gak sepolos yang orang bilang. Licik!"

"Jadi, Please bantuin gue dan gue bakalan bantuin lo ngerjain soal apapun."

"Gue gak peduli. Minggir atau gue tabrak, terus lo mati?" Tangan Gustira memutar gas motor. Tetapi, perkataan Bita selanjutnya membuat napas Gustira terasa sesak.

"Gue mau aborsi. Sekarang kita impas, gue punya rahasia lo dan lo tau rahasia gue. Anterin gue, kalo besok-besok gue gak punya keberanian lagi!"

**

Satu Semester AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang