Tubuhnya lebih ramping dari terakhir Gustira lihat, tulang tangannya menonjol, jemarinya mengecil. Tatapannya lemah juga hampa, tak ada gairah dalam jiwanya. Tinggal di dalam penjara dengan vonis hukuman mati pasti membuatnya tertekan.
"Bu dengar dari Pak Jaka, ibu jarang menghabiskan makanan, makanannya kurang enak?" Astrid menulikan kuping, tidak berminat menjawab Gustira.
"Pergi!" usir Astrid lirih, memalingkan wajahnya yang sedang Gustira tatap.
Jangan memanggilnya Gustira jika tidak bisa mengatasi masalah karena dirinyalah sumber masalah.
"Bu Astrid nggak mau dengar cerita ku dan Lantra?!"
Mata bu Astrid bergerak, dia terlihat menunggu Gustira melanjutkan cerita. Gustira tersenyum simpul, memulai cerita dengan mengadukan kelakuan Lantra.
"Untungnya dulu aku anak panti, terbiasa mengurus adik-adik. Lantra seperti sepuluh bayi yang mengganggu hari ku, berisik, suka merengek dan sulit di atur." Keluhnya dengan nada menggebu-gebu.
"Dia suka mengaturku, tak boleh merokok, apalagi nyimeng. Tapi, diam-diam aku membeli barang haram itu." Bisik Gustira, kepalanya menoleh melihat keadaan sekitar takut ada yang mendengarnya. "Ibu jangan bilang Lantra aku beli sabu kalo dia kemari, oke?"
Badan bu Astrid kaku saat Gustira terang-terangan mengakui menggunakan barang haram itu. Dia menatap Gustira marah. Gustira semakin tak tertolong kewarasannya!
"Tunggu, jangan marah dulu, aku perlu menyelesaikan keseluruhan cerita." Katanya.
"Pergilah jika cerita mu hanya menambah beban ku," usir Astrid. Dia memijat keningnya yang berdenyut nyeri.
Suara tawa Gustira terdengar menjengkelkan. Astrid mengeram marah, lalu dia memperingati Gustira agar kembali waras dan mengejar cita-citanya.
"Jangan banyak tingkah, lulus sekolah, kuliah dan jadi orang. Aku sudah muak mendengar cerita gilamu!" omel Astrid.
Mata berbentuk bulan sabit itu semakin tak terlihat ketika Gustira melebarkan senyumnya. Tangan Gustira menggenggam tangan Astrid. "Denger bu Astrid ngomel, Gustira jadi bisa membayangkan ibu yang ngomelin Gustira."
"Ra, jangan terlalu bebas, kalau kamu masih mau-"
"Kemarin aku sama Lantra berantem, kami saling pukul satu sama lain, dia adik kurang ajar!" Gustira menyela ucapan Astrid. Mengalihkan pembicaraan.
Astrid menghela napas berat, dia menjewer kuping Gustira. "Jangan berantem dengan adik mu sendiri."
"Aw, bu Astrid pilih kasih." Kuping Gustira merah, pria itu merajuk.
"kalian tidak boleh berantem."
"Adu mulut dengannya tentu saja aku yang kalah. Aku tidak mau menjadi anak pertama, sekarang aku akan menjadi ayah muda!" Gustira keceplosan. Tangannya membungkam mulutnya. Bu Astrid memicingkan mata siap menjejalkan beberapa pertanyaan.
Tangan Gustira melambai ke udara, cengengesan. "Hehe ... Maksudku aku akan menjadi ayah muda nanti, setelah bekerja, menikah."
"SEKARANG. Kamu mengatakannya se-ka-rang jangan membohongi orang yang mengurusmu sejak kecil!!"
"Aku tahu kapan kamu berbohong dan jujur. Kakimu tak bisa diam, seratus persen perkataanku benar. Ceritakan sekarang."
Saat ini Gustira sedang berjalan di gang buntu. Terjebak karena ulahnya sendiri, padahal Lantra mewanti-wantinya untuk bersikap baik-baik saja di hadapan Astrid.
"Kalian berantem karena masalah ini?!" cecar Astrid.
Akhirnya Gustira memilih membuka suara.
"Namanya Tsabita, dia perempuan yang aku sukai sejak SMP. Bu Astrid tahu kan, aku sempat tak ingin melanjutkan sekolah lagi setelah mendonorkan ginjalku pada Lantra. Duniaku selesai saat itu, tapi karena Bita masuk SMA yang bunda pilihkan untukku, aku mengiyakan dengan syarat masuk di tahun yang sama dengan Bita."
"Perasaanku padanya bertambah setiap kali melihat kebaikannya. Aku jatuh cinta sendirian, diam-diam mengikuti kemanapun dia pergi. Aku menjadi bayangannya."
Astrid mencari kebohongan, namun dia tak menemukannya. Mata Gustira memancarkan kejujuran. "Lalu?" dia ingin mendengar lebih lanjut.
Gustira menautkan jemarinya. Mungkin, sudah saatnya dia menghadapi masalah ini, berlari terus pun melelahkan.
"Lalu, saat dia menjual diri karena butuh uang untuk biaya neneknya, aku membelinya tanpa sepengetahuannya karena aku berpikir malam itu tak mengubah apapun, aku akan tetap menjadi bayang-bayangnya." Bibir Gustira bergetar, matanya berkaca-kaca, dia terpukul, merasa bersalah, juga tak tahu harus berbuat apa.
"Dia hamil."
Jika biasanya Astrid akan langsung memarahi Gustira, kali ini untuk mengucapkan satu katapun tidak bisa. Bagi seorang ibu, tindakan Gustira tak hanya melukai hatinya, tetapi meruntuhkan dunianya.
Gustira bersimpuh di kaki Astrid, memohon ampun dengan suara bergetar. Tangan Gustira begitu dingin saat menggenggam tangan Astrid. Lelaki itu di landa panik ketika Astrid menghempaskan genggamannya."Bu, dengerin aku dulu. Aku akan minta dia gugurin janin itu, aku janji lulus sekolah. Tolong!" Gustira menyatukan kedua tangannya, dia memelas.
Bulir bening itu menetes berkali-kali. Sesak, dada Astrid serasa di tusuk belati tepat di jantungnya.
"Kematian semua orang termasuk ibumu dan di susul kematianku, tak akan menemukan keadilan. Tak apa-apa mungkin ekspetasi kami padamu yang terlalu tinggi."
"Bu jangan bilang seperti itu!" Gustira merengek. Memegang kaki Astrid yang akan pergi meninggalkannya. Dengan tega, Astrid mendorong tubuh Gustira, wanita itu pergi, tak menoleh sama sekali saat Gustira memanggil namanya.
**
Pintu kost di ketuk pada pukul dua belas malam, Bita pikir itu ulah orang iseng yang ingin menakut-nakutinya saja, tetapi ketika dia mendengar seseorang memanggil namanya dengan teriakan, Bita bangkit untuk membukakan pintu.
"BITA INI GUE BAPAK LO! BUKA BIT!"
"BITA!" teriak Bastian tak ingat waktu.
Ketika pintu sudah di buka, Bastian langsung menerobos masuk tanpa izin dari Bita.
Pria itu nampak mencari sesuatu. "Gue minta uang," katanya tidak tahu malu.
"Bapak salah kalo kesini minta uang," jawab Bita, mencegah bapak memasuki kamarnya. "Di sini nggak ada apa-apa."
Bastian mendorong Bita sampai wanita itu membentur dinding.
"Uang gue abis di bawa Laras, gue kalah judi, gue butuh uang buat taruhan lagi biar gue bisa menang, mana uang lo?"Bau alkohol menyeruak ketika Bastian berbicara. Indera penciumannya yang sensitif membuat Bita mual.
Tangannya menutup hidungnya, hal tersebut menyulut emosi Bastian.
"Apa-apaan lo nutupin hidung?" tanya Bastian murka. Tangan Bastian menarik tangan Bita, mencengkeramnya dengan kuat sampai rintihan keluar dari mulut anaknya itu.
"Bapak bau alkohol," ujar Bita jujur.
"Alah alasan. Gue maafin kalo lo kasih gue duit. CEPETAN DI MANA DUITNYA?!" Bastian berteriak semakin keras.
"Kenapa nyariin aku kalo bapak ada butuhnya doang? Bapak usir aku, bapak nggak mikirin hidup aku. Sekarang bapak ke sini karena bapak kira aku punya uang? Aku aja bingung Pak nyari biaya buat lahiran."Bastian melirik perut Bita, sudut bibirnya menyeringai.
"Lo udah berani ngelawan gue?" Bastian mencekik Bita. "Pilih, kasih uang atau gue abisin janin Lo?
Napas Bita semakin tak teratur karena Bastian menambah tekanan pada cekikannya. Binar di mata Bita meredup, bibirnya pucat.
"I-ib-u pantes ...," Bita menarik napas, tak menyerah menyuarakan isi hatinya. "Ninggalin baa-pak!"
Plakk
Tangan besar Bastian mendarat keras di pipi kiri Bita, meninggalkan bekas merah yang sampai Bita mati pun bekasnya di hati tak akan hilang. Kuping Bita berdenging, tangan Bita gemetar memegang pipinya yang terasa panas.
"KALO GUE MINTA DUIT YA LO KASIH. TAU RASAKAN, LO!" teriak Bastian. Menarik kerah baju Bita agar wanita itu berdiri.
Bita mendorong Bastian, melawan ketika tangan Bastian mencoba menganiayanya kembali. Tenaganya memang sudah habis, tetapi keinginannya melihat bayinya hidup masih ada.
"TOLONG!"
"TOLONG!!"
Bita Berteriak, semoga saja Gustira sudah pulang, mendengar teriakannya, menyelamatkan janin ini dari monster yang menatapnya nyalang.
**
Gusy, apakah kalian sudah memfollow tiktokku? Sekalian dong follow IG ku @myname_rina.
Capek bet gue sama cerita ini gregetan sendiri, apa gue buat napas mereka berakhir semua ya? Biar pindah genre jadi horor? Wkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Semester Akhir
Teen FictionSatu semester akhir menjadi penentu kelulusan. Namun, semua tak sesuai harapan. Tsabita siswi cerdas dan tidak neko-neko hamil di luar nikah, tanpa tahu pria seperti apa yang membelinya malam itu. Rupanya kasus Bita membuatnya terjebak pada kasus ya...