Bab 2 Mira Dan Sugar Daddy

3.2K 182 3
                                    

Malam minggu menjadi malam paling panjang yang Bita rasakan sebagai pelayan caffe. Pengunjung yang terus berdatangan, membuat badan Bita tak bisa istirahat. Menghela napas pun Bita tak di izinkan karena waktu-waktu saat ini begitu hetic.

"Lo anak River, kan?" seseorang mencekal tangan Bita.

Karena di sini dia adalah pelayan, perempuan itu tersenyum sopan. Dengan tutur yang baik Bita berkata. "Iya, benar, ada yang bisa saya bantu, kak?"

Salah satu dari mereka berbisik, "Gue pernah liat dia, waktu di depan River, sumpah culun banget!"

"Gue pesen kopi lagi, lo yang anter ke sini." ujar lelaki bertopi, dengan mata yang ia kedip-kan, sebut saja namanya Bagas.

Mata Bita memutar, ingin rasanya tangannya meninju mata tak sopan itu. Hah. Isi perut neneknya lebih berharga dari pada meladeni laki-laki kurang ajar ini.

"Baik, kopi apa, Kak?" tanya Bita sopan.

"Americano, sekalian tulis nomer lo di sini!" lelaki itu memberikan Bita selembar tissue. Bita tak meladeninya, perempuan itu mencatat pesanan dan segera pergi.

Bagas yang tak suka penolakan menghalangi langkah Bita. "Jual mahal banget, lo. Beasiswa aja sombong!"

Teman Bagas yang lainnya ikut menertawakan Bita dan bukanya mencegah tindakan Bagas. Biasa sesama bangsat berteman dengan bangsat lainnya.

"Maaf!" Bita mencoba melangkah, namun lelaki gila itu malah mencekal tangannya begitu erat. "Aw!"

"Lo mau minum kopi atau mau gue usir?" tanya seorang lelaki yang datang tiba-tiba menggunakan masker dan topi dengan warna senada.

"Pahlawan lo?" tanya Bagas. "Oh, atau lo udah booking dia?" Lagi-lagi perkataan tak sopan Bagas mendapat dukungan tawa oleh teman-temannya.

"Sekali lagi gue tanya, lo mau minum kopi atau mau masuk rumah sakit?" Dari nada suara lelaki misterius itu. Bita dapat mendengar emosi tertahannya.

Teman-teman Bagas yang lainnya sudah berdiri, bersiap jika tiba-tiba ada perkelahian.

Bita menyentak tangan Bagas yang sedang tidak fokus padanya. Perempuan itu pergi begitu saja melihat Bagas dan lelaki misterius mulai tak terkontrol. Dia tak mau ikut-ikutan, padahal sumber permasalahan bermula padanya.

"Rame-rame, kenapa, Bit?" tanya Septa, senior barista di Budz Caffe.

Bita menghela napas dengan tubuh ia sandarkan pada tembok dapur kotor. "Gak tau gue, Mbak. Itu mana ada cowok ngaku-ngaku yang punya caffe ini, lagi."

Septa mendekati Bita, perempuan yang beda empat tahun dengan Bita itu menyodorkan segelas air mineral.

"Pak Andi si bilang anaknya almarhum Bu Mara emang mau ke sini, Bit," ujar Septa.

"Anaknya cowok?" tanya Bita penasaran.

"Almarhum Bu Mara emang anaknya cuman atu, cowo, kata Pak Andi namanya Biangkerok, suka bikin pusing!"

"Berarti bener dong? Duh, gue takut di pecat, Mbak!" panik Bita.

"Pak Andi tidak mengatakan pada kalian bahwa ini masih jam kerja dan di larang bersantai apalagi gosip?"

Septa dan Bita sama-sama terlonjak kaget mendapati lelaki dengan postur tinggi dan suara berat, berada di belakang mereka dengan tatapan tajam. Wajahnya memang tak terlihat, tapi dari suara yang Bita dengar, pasti lelaki itu berwajah sangar. Bau-bau onar juga sudah terlacak. Duh, otak Bita memang isinya suudzon.

"Maaf." Septa pergi meninggalkan Bita. Menyelamatkan dirinya sendiri dari masalah, seperti yang Bita lakukan tadi.

"Saya juga minta maaf dan izin ke depan, Pa-" Bita menggeleng, terlalu tua untuk di panggil 'Pak'. "Em, Kak!"

"Jangan menggunakan make up saat bekerja." Kalimat itu jelas di tunjukkan untuk Bita. Karena di sini hanya ada mereka berdua.

"Baik, Kak!" jawab Bita menurut.

Bita yang merasa bagian terlarangnya di tatap, menutup dadanya menggunakan kedua tangannya.

Lelaki itu berdecak, "Terlalu kecil, gak minat. Gue cuman liat nama pelayan yang malem ini bikin caffe gue rugi dua ratus ribu."

"Maaf, kak!" Serius, kali ini Bita merasa bersalah. "Potong aja gaji minggu ini, Kak."

"Gue potong gaji lo, nanti lo makan sama garem. Gue gak mau punya karyawan tulang doang!" setelah mengatakan kalimat jahatnya, lelaki itu pergi begitu saja.

Bita mendengus keras. Menendang tembok menyalurkan emosinya. Semua orang emang body shaming. "Payudara gue kecil? Emang. Badan gue kurus? Emang. Terus kenapa, ada masalah, hah?" tanya Bita pada tembok.

**

Hubungan Jule sedang tidak baik-baik saja dengan Arsel, sehingga perempuan itu memaksa Rembulan yang statusnya tidak memiliki kekasih tapi gebetan di mana-mana menemaninya galau.

"Capek banget gue nemenin lo muter-muter mall, udah mah gak pengertian lo, kasih minum kek babi!" gerutu Rembulan dengan bibir mecebik kesal.

"Oh, babi ku ini ingin minum. Iya?" canda Jule.

"IYA!" jawab Rembulan dengan wajah yang dirinya mirip kan seperti Babi. Hidung mengembang, dan suara sembernya cukup menghibur humor Jule.

Biarkan saja temanmu itu tertawa di atas penderitaan mu karena akan ada waktunya kau tertawa di atas penderitaannya.

"Ah, capek ketawa, aduh, gue pengen pipis!" Jule melirik Rembulan memelas. Padahal semenit yang lalu wajah Rembulan Jule jadikan bahan tawaan sampai perutnya sakit.

"Mbu!" Jule menarik Rembulan agar mengikuti langkahnya mencari toilet. "Aduh, gak tahan takut bocor!"

"Awas ya Le, jangan ngompol!" Ancam Rembulan yang tau jelas kebiasaan buruk Jule. Tak bisa menahan pipis, hobi ngompol.

"Mbu, gimana?" Jule memeras baju Rembulan, air kencingnya sedikit demi sedikit keluar. Mau bilang pada Rembulan, Jule takut. Wajah temanya itu garang sekali.

"Tahan, gue tinggal lo kalo ngompol. ANJ-ANG!" Rembulan tak sengaja mengumpat dengan suara keras. Mata rembulan melotot tajam.

"Le, maap. Suer, gue tahan!" Jule benar-benar merasa tak enak pada Rembulan.

Rembulan menarik rambut Jule agar meluruskan pandangannya. "Arah jam 4 di  toko celana dalem."

Penasaran, Jule mengikuti instruksi Rembulan tanpa komplain rambutnya di tarik begitu saja. "Astagfirullah!" Jule menggeleng dengan wajah kaget. "Temen lo, Mbu."

"Idihh, si najis. Gak ada ya temen gue open BO gitu!" sarkas Rembulan.

Jule memperhatikan lagi sepasang manusia yang berjalan begitu romantis, tangan mereka saling menaut. Perut Jule mual, membayangkan kumis sugar daddy Mira yang tertutup masker. Bisa-bisanya Mira bernafsu dengan pria seusia ayahnya sendiri.

Mira yang merasa di perhatikan menoleh, buru-buru dia menggandeng kliennya.

"Mas, masuk VVIP, boleh?" tanya Mira pada Gustav.

"Iya!" jawab Gustav singkat.

Dengan kartu yang Gustav miliki mereka bisa memasuki ruangan VVIP. Hanya ada satu customer di satu ruangan, di layani dengan ramah, dan Mira terbebas dari dua temannya.

"Tadi ada teman aku, makannya aku ajak Mas Gustav ke sini." Mira menyender pada bahu Gustav. Sebelumnya perempuan itu meminta pelayan membawakan koleksi terbaru lingerie milik mereka.

"Kamu merasa tidak nyaman?" Dari segi usia Gustav memang seperti ayahnya. Tetapi, yang Mira rasakan Gustav seperti partner yang cocok. Dari beberapa kliennya Gustav yang paling membuat Mira nyaman.

Mira menggeleng, "Aku takut mereka kenal Mas Gustav, anak Mas Gustav teman kelasku juga."

"Oh, Seka. Jangan di hiraukan!"

Kalau sudah seperti ini Mira jadi semakin bingung memilih antara anaknya yang culun atau ayahnya yang hot.

**

Satu Semester AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang