Jika mencintai adalah sebuah anugerah, mengapa dirinya ditakdirkan untuk tidak merasakan perasaan itu? Usianya menginjak 18 tahun, dan selama itu Lantra tidak pernah merasakan perasaan cinta.
Bergonta-ganti pasangan hanya karena bosan dan memanfaatkan tampang semata. Dirinya belum menemukan sosok perempuan yang seperti Bita- mampu membuat otak saudaranya bego sampai ke akar.
Huft. Apa jangan-jangan Lantra terkena takdir buruk perempuan-perempuan malang yang dirinya sakiti? Ah, masa sih segitunya, kan wajar saja kalau dalam hubungan main-main Lantra memiliki cabang di mana-mana. Vis, ini bercanda.
Duk
Lantra mengusap kepalanya yang tertabrak pintu. Dari pada memikirkan rasa sakit, Lantra melirik sekitar, takut-takut siswa lain melihat hal konyol ini dan menyebarkan rumor bodoh.
"Kenapa bisa pintu di sini?" Emosi Lantra pada pintu yang jelas tidak bersalah karena dari jaman Lantra belum di sini pintu itu sudah ada lebih dulu.
Tok ... Tok..
Lantra mengetuk pintu ruangan kepala sekolah dengan kasar. Jangan ditiru, tapi boleh dicoba jika kepala sekolahnya orang-orang tamak, suka nilep uang siswa, dan suka jajan esek-esek.
"Gue suruh ke sini, orangnya malah ngga ada, tau gitu mending molor!" dumel Lantra. Baru berangkat sekolah saat jam istirahat, dia langsung mendapatkan info dari Angkasa bahwa Pak Cahyono meminta Lantra segera mendatangi ruangannya.
Langkah Lantra tegap, postur tubuhnya sangat ideal, di tambah wajah tampan, tuh liat saja mata para siswi yang memuja ketampanan Lantra, padahal Lantra tidak mandi karena terlalu kaget jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh.
Niatnya Lantra ingin melanjutkan tidur di rooftop. Lantai tertinggi itu tempat paling nyaman membangun cita-cita di alam mimpi. Eh, matanya tak sengaja menangkap bayangan Pak Cahyono bersama seorang siswi yang roman-romannya Lantar mengenal perempuan itu.
Alis Lantra menyatu, curiga dengan gelagat mereka yang memasuki gudang dua yang berada ditempat pojok sebelum menaiki tangga rooftop. Tempat sepi, mengapa meraka berduaan di tempat itu?
"Tikus terjebak didalam perangkap!" Bibir Lantra tersenyum penuh kemenangan. Lelaki itu mengendap-endap mendekati pintu gudang. Karena jarak mereka yang begitu jauh dengan pintu, Lantra tak dapat mendengar suara dari dalam.
Tuhan maha baik disaat hambanya yang tidak taat ini kesusahan, Tuhan tetap memberikan pertolongan. Gustira berjalan mengarah pada rooftof dengan kancing seragam yang sudah terbuka semua. Tampilannya sangat tidak mencerminkan calon bapak yang baik. Lantra menggeleng, meratapi nasib anak Bita yang malang itu.
Jika berteriak, Mira dan pak Cahyono akan mengetahui keberadaan Lantra, sehingga Lantra memilih opsi melempar Gustira menggunakan sepatu miliknya.
"Bajingan!" teriak Gustira murka. Mata yang tadinya ngantuk, kini melotot. Dia mencari pelaku yang sedang nyengir di bawah tangga.
"Anak setan!" batin Gustira, lelaki itu menghampiri Lantra penuh emosi.
Tak ada tanda-tanda kerusuhan didalam gudang, berarti mereka sedang khusuk sehingga tak terganggu dengan teriakan menggelegar milik Gustira.
Mulut lebar milik Gustira akan mengucapkan kalimat, namun kelima jari Lantra membekap mulut itu. Lantra memberi isyarat menggunakan lirikan, tetapi IQ Gustira yang tinggi itu tak peka. Gustira malah menjilat jari-jari Gustira.
Liur Gustira yang menjijikan membuat Lantra melepaskan bekapannya.
"Sinting!" maki Lantra.
Anak-anak River memang hobi mengumpat, darah bajingan River terlalu kental.
Terdengar suara pintu yang akan di buka, Lantra menarik Gustira di bawah tangga. Kali ini Gustira tak memberontak ketika matanya melihat perbuatan tak senonoh yang dilakukan kepala sekolahnya pada muridnya sendiri.
Mira mengusap bekas bibir Cahyono yang menempel di dahinya ketika lelaki tua bangka itu sudah pergi. Mentang-mentang tak ada CCTV seenaknya melakukan kemaksiatan.
"Ini yang mau gue liatin ke lo," ujar Lantra, tanpa sadar mereka masih berpelukan.
"Tontonan mesum?"
"Otak lo mesum!" Lantra menjitak kepala Gustira.
Ketika mereka sadar masih dalam keintiman, keduanya memisahkan diri.
"Sini!" Lantra menyuruh Gustira mendekat.
"Ogah." Tolak Gustira.
"Tiba-tiba gue punya ide cemerlang." Mata Lantra berbinar, dia melihat kemenangan di depan mata.
"Gue mau booking Mira!"
**
Suasana anak-anak bubaran sekolah pasti selalu ramai, mereka seolah-olah ingin cepat pulang. Padahal, tak ada yang menarik di rumah, atau bahkan kebanyakan dari mereka tak langsung pulang karena rumah bukan tempat mengistirahatkan diri dari lelahnya kehidupan.
Lantra duduk di atas motor sport miliknya, menunggu seseorang yang dia incar. Matanya memperhatikan wajah teman-temannya- wajah mereka lucu saat pulang sekolah, terlihat tertekan seperti kebelet BAB.
"Bita, hati-hati!" Lantra melambai pada Bita yang melewatinya, sengaja menggoda Bita karena pawang Bita berada tak jauh dari mereka dan diam-diam menatap Bita penuh waspada.
"Pulang, jangan lupa langsung tidur. Besok lo harus berangkat tepat waktu, kita ada presentasi." Sebagai teman yang baik, Jule mengingatkan dengan tegas, demi nilai kelompok mereka.
"Baru napas, udah diingetin masalah besok. Ngga asik lo!" gerutu Lantra.
Tunggu, itu Mira. Lantra menggeser tubuh Jule sedikit keras sampai perempuan itu terdorong ke samping.
"Lantraaa!" teriak Jule murka.
"Sabar!" Bita mengusap bahu Jule.
Jule mendengus, jangan ucapkan kata sabar di hadapannya karena dia manusia yang memiliki tingkat sabar tipis.
"Lo sih bisa sabar, udah teruji." Mata Jule melirik bukti nyata kesabaran Bita, yaitu perut buncit Bita yang tertutup hoodie.
Di depan gerbang, Lantra menarik Mira ke tempat yang lebih sepi, dia tak membiarkan Mira melepas cekalan tangannya.
"Gue mau ngomong!"
"Ngga ada waktu!" Mira memberontak, dia tak terintimidasi dengan tatapan tajam milik Lantra.
"Waktu lo sangat berharga melayani om-om?" Terdengar tajam, tapi persetan. Perempuan ini sendiri yang membuatnya tak memiliki harga diri di mata Lantra.
"Jangan asal ngomong." Mira menatap balik Gustira dengan tatapan nyalang.
Sudut bibir Lantra menyunggingkan senyum sinis. "Kalo gue punya bukti gimana?"
Keringat dingin membasahi kening Mira, keringat dingin menyerang. Mira tau siapa Lantra jauh sebelum mereka satu kelas.
Lantra memiliki kekuasaan di satu komunitas motor terkenal. Anak-anak malam semua mengenal Lantra.
"Mau lo ngancam gue dengan bukti-bukti gue main sama om-om. Gue ngga takut, toh semua orang udah ngomongin kejelekan gue!"
Lantra maju selangkah, dia mendekatkan bibirnya pada kuping Mira. Suaranya pelan, tenang, namun sekujur tubuh Mira tak dapat bergerak.
"Gimana kalo foto mesum lo sama kespek tersebar?"
"Kenapa lo ikut campur sama hidup gue? Apa yang lo mau?"
Ini yang Lantra tunggu-tunggu, dia menunggu Mira tak berdaya.
"Kesaksian lo tentang pelecehan yang lo dapatkan. Jadi, saksi!"
Mira menggeleng, andai dia bisa sudah sejak lama dia melaporkan kebejatan Cahyono pada polisi. Cahyono dilindungi oleh kekuasaan yang kuat.
"Jangan bertindak apapun, lo sejak lahir memiliki semuanya. Jangan ganggu hidup orang miskin kaya gue. Jangan ikut campur!"
**
Hai, gimana kabarnya? Masih menunggu?
Aku mau infokan kalo cerita ini bakalan update setiap malm minggu ya 🥦
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Semester Akhir
Teen FictionSatu semester akhir menjadi penentu kelulusan. Namun, semua tak sesuai harapan. Tsabita siswi cerdas dan tidak neko-neko hamil di luar nikah, tanpa tahu pria seperti apa yang membelinya malam itu. Rupanya kasus Bita membuatnya terjebak pada kasus ya...