22. Kantor Polisi

1.1K 133 35
                                    

Matanya menyipit, tatapannya menyiratkan ketidak setujuan. Rahang Gustira mengeras, saat jemari Lantra memoleskan bedak untuk kesekian kalinya ke wajahnya, Gustira tak kuasa menahan diri untuk tidak bersin.

"Cukup!" Gustira menolak. Rasanya aneh saat bau bedak tercium, membuat hidungnya gatal. "Gue nyamar jadi pelayan, bukan badut."

Lantra berdecak, tangannya berkaca pinggang. "Lo mau ketauan bokap dan ditembak mati saat itu juga?"

"Halah, nggak mungkin. Makannya lo jangan kebanyakan nonton drama korea!"

"Vincenzo cassano!" ejek Gustira pada Lantra - si penggemar drama korea yang diperani oppa song joongki itu. Efek menonton drama Lantra memiliki keinginan menjadi Mafia.

"Dari vincenzo gue belajar mafia itu kejam, saat bekerja mereka tidak pandang bulu. Seperti River yang akan lo hadapi, dia bukan bokap gue atau bokap lo. Dia ketua dari sekte haramnya. Sebagai ketua dia akan melakukan apapun untuk melindungi kekuasaannya."

Lantra menyentil kening Gustira. "Makannya nonton drama korea, biar nggak kudet!"

Satu jam dari sekarang Gustira akan menyamar menjadi pelayan di restoran yang akan menjadi tempat transaksi narkoba. Mencari informasi mengenai hal ini Gustira dan Lantra menghabiskan waktu satu bulan. River begitu tertutup dan anak buahnya sangat patuh. River berhasil menciptakan anjing yang mau menjilat sepatunya.

Gustira melihat dirinya di cermin. Kulit wajahnya kini lebih gelap, tahi lalat yang Lantra gambar pada pipi kirinya terlihat menyatu dengan kulit.

"Sangat tidak afdol kalo lo tidak menggunakan ini." Lantra menyerahkan gigi palsu pada Gustira. "Ini membuat ketampanan lo semakin menghilang."

Lirikan tajam Gustira tak membuat Lantra mengurungkan niatnya. Pria itu memerintahkan Gustira membuka mulut.

"Jangan setengah-setengah dalam mengerjakan sesuatu. Buka mulut lo, demi keadilan untuk semua orang yang River dzolimi." kata Lantara dengan bijak.

Sudut bibir Lantra awalnya berkedut, perlahan membentuk garis lengkung, tak tahan mulutnya terbuka lebar, matanya menyipit. Oh, Tuhan, Gustira terlihat aneh dengan gigi palsu itu.

"Puas?" tanya Gustira kesal.

"Banget!" jawab Lantra dengan tawa yang memenuhi kamar kontrakan Gustira.

Untuk mengabadikan momen, Lantra mengambil gambar wajah Gustira sebagai kenang-kenangan bahwa lelaki itu pernah jelek.

**

Menoleh ke kanan-kiri Gustira mencari celah untuk memasuki ruangan VVIP itu. Jangan salah mengambil langkah atau tamat riwayatnya.

Restoran bergaya Italia dengan suasana lampu remang yang memiliki konsep fine dining. Cocok sekali untuk melakukan transaksi haram di dalam sana.

Kakinya gemetar melihat bodyguard River memasuki ruangan. Dia pun manusia, punya sisi takut. Terlebih, dia belum ingin mati, masih banyak hal yang belum dia selesaikan, termasuk dia belum jujur pada Bita.

"Hai, bawakan ini dulu, aku ingin ke kamar mandi!" seorang pelayan memberikan nampan berisi makanan. "Atau kamu masuk saja. Tapi, harus ekstra hati-hati karena di dalam sana tamu VVIP!"

Mata Gustira mengerjap, langkahnya ragu, tetapi keinginannya melihat River mendapatkan hukuman setimpal sangat besar.

"Bisa!" katanya, menguatkan diri. Rasa sakit mereka yang tak bisa terbalaskan, Gustira janji akan ia bayar lunas.

Bisnis utama River adalah ekspor dan import. Lalu, merambah pada dunia pendidikan. Jangan salah, dunia pendidikan hanyalah kedok semata agar menutupi bisnis gelapnya  sebagai Bandar Narkoba.

Satu Semester AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang