Mataku bergerak ke sana kemari, jemariku meremas satu sama lain dan tak lupa ku gigit bibir dalam agar perasaan gugup ini teralihkan. Ah, apa aku bisa mengatakannya sedangkan apotek ini terlalu ramai?
Tetapi, langkahku mengkhianati. Aku menghembuskan napas mengalah. Ya, aku butuh barang itu. Tak ada waktu lagi untuk mengelak.
Aku mendekati karyawan apotek. Dengan senyum ramah dia bertanya padaku, aku tak menjawab. Aku kehilangan suaraku saat aku merasa sekeliling mengintimidasi ku dengan tatapan mereka.
"Mbak butuh apa?" Kali ini suaranya meninggi, aku yang sedang melamun tersentak kaget.
"Test pack!" jawabku lirih dengan napas tak beraturan. Aku ketakutan, keringat dingin mulai berdatangan.
Mataku kembali mengitari sekeliling toko saat pelayan itu mengambilkan barang yang aku butuhkan. Aku ingin memastikan sekali lagi bahwa tak ada yang mengenaliku. Aku tak mau menjawab sederet pertanyaan mengenai barang 'itu'.
"Ini, ada berbagai pilihan harga!" Pelayan itu menjelaskan harga dan keunggulan tiap-tiap testpack dari berbagai merek. Jujur, aku tak mendengarkannya. Aku hanya ingin segera melarikan diri dari sini.
"Yang paling murah, tiga!" kataku, memutus percakapan tentang alat kehamilan ini. Menyebutkannya saja aku di landa perasaan malu.
Hembusan nafasku lebih ringan dari sebelumnya setelah berhasil melakukan transaksi membeli barang yang sedang ku pegang erat ini. Barang yang seharusnya tak ku beli sebelum umurku 25 tahun dan yang jelas memiliki status sebagai istri. Bukan seorang pelajar yang masih memikirkan nilai matematika.
Aku memejamkan mata saat gejolak di dalam perut menimbulkan efek mual. Wajah ku pasti memucat dengan keringat dingin sebesar biji jagung.
"Wajah mu pucat. Apa kamu akan pingsan?" Seorang ibu menghampiriku dengan wajah khawatir.
Aku melengkungkan bibirku. "Tidak, asam lambung sedikit naik!" ujar ku dengan nada seramah mungkin.
Ibu yang tak ku kenal itu memberikan tisu padaku. "Trisemester pertama memang menyebalkan bagi ibu muda. Mual dan mudah lelah. Dulu, saya mengalaminya, itu hal yang wajar!"
Tubuhku mendadak kaku, aku menyangkal julukan 'ibu muda'. Tidak, aku seorang pelajar. Mual yang ku alami selama ini hanya karena asam lambungku naik.
"Permisi!" Tak mau lagi mendengar omong kosong, aku berjalan dengan langkah lebar.
Hari ini aku bekerja pukul lima sore sampai jam sepuluh malam. Aku sudah meminta izin pulang cepat karena keadaan ku memang belum stabil. Untung caffe yang memperkerjakan memiliki manager yang baik hati. Pak Andi bahkan mengatakan aku boleh mengambil cuti kapan pun.
Lagi-lagi entah karena aku yang ceroboh atau memang ini sudah menjadi garis takdir, aku menabrak seseorang. Tabrakan yang menjadi pusat perhatian pengunjung caffe karena handphone yang lelaki itu genggam terlempar.
Mulutku menganga dengan bola mata membulat. Bagaimana nasibku jika handphone mahal itu rusak? Apa gaji satu tahun cukup sebagai ganti rugi?
"Tsabita!" Aku menoleh, nafasku tercekat mendapati senyum lebar milik Jule. Masalahnya benda itu ikut terlempar. Gawat, Jule tidak boleh mengetahuinya, perempuan dengan radar gosip tinggi itu akan terus mendesak ku sampai menemukan jawaban.
Ketika aku bingung apa yang harus ku lakukan karena terlalu panik, lelaki yang ku tabrak memungut benda itu dan memasukkannya pada plastik. Memberikannya padaku tepat waktu sebelum Jule menghampiriku. Aku menghembuskan napas lega.
"Ceroboh!" katanya dengan wajah kesal dan meninggalkanku begitu saja. Mungkin, dia langsung menuntut perbuatan ku pada Pak Andi.
**
Saat kecil, Tsabita adalah anak perempuan yang di juluki sebagai anak yang tak memiliki ibu. Ya, ibu ku memilih meninggalkan keluarga kecilnya. Dulu setiap kali aku merindukan ibu aku menangis, tetapi setelah aku menangis nenek pun ikut menangis dan menyalahkan dirinya sendiri. Semenjak itu, aku tumbuh menjadi perempuan yang tak pernah menangis di depan keluargaku.
Tetapi, dua bulan lalu Tuhan mengambil kekuatanku. Setelahnya aku lupa bagaimana caranya tersenyum. Aku yang selalu terlihat bahagia agar nenek menganggap hidup cucunya baik-baik saja tak lagi mempunyai alasan. Aku kehilangan tempat ternyaman untuk menyembunyikan luka.
Mengapa dunia tak mengizinkan anak malang ini bahagia?
Ku usap dengan kasar air mata yang membasahi pipi. Aku melempar alat kehamilan yang telah ku gunakan. Tidak, ini baru percobaan pertama, hasilnya pasti tidak valid. Bisa jadi urine ku tercemar zat yang membuat alat kehamilan itu bergaris dua. Ya, garis dua yang artinya positif hamil. Aku sudah menyelami berbagai informasi mengenai kegunaan alat ini di internet, tapi ini pasti kesalahan, aku pasti terlalu lama mencelupkannya di dalam urine karena melamun.
Jantungku berdebar, debarannya begitu kencang mengalahkan debaran saat aku ketahuan menggosipkan kepala sekolah dan orangnya tiba-tiba muncul. Aku membuka bungkus testpack dengan hati-hati, aku tidak mau ada kesalahan. Tanganku gemetaran saat mencelupkan alat itu kedalam urine. Huh, aku menunggu alat itu bereaksi dengan napas tercekat.
Aku berdoa dalam hati yang bunyinya seperti ini. "Ya Allah, hamba menyadari bahwa hamba adalah manusia yang mengingatmu dalam keadaan sulit. Hamba melupakanmu dalam ke adaan bahagia. Hamba yakin Engkau adalah sebaik-baiknya pemberi takdir, maka takdirkanlah testpack ini negatif. Hamba masih ingin meraih cita-cita. Hamba ingin makan pizza sambil melihat bunga Sakura."
Mataku terbuka, aku akan mengucapkan Aamiin setelah melihat hasilnya. Aku tersenyum tipis, ternyata Tuhan ku memiliki jalan paling baik yang tak bisa ku cerna saat ini.
Ku pegang ke dua alat tespack itu, memandang dengan mata penuh air mata. Tak bisa ku pungkiri lagi, tak bisa ku sangkal lagi bahwa di dalam perutku kini terdapat mahluk hidup lainnya. Aku memegang perutku dengan berbagai macam perasaan. Yang jelas ketakutan mendominasi. Ketakutan menjalani hidup ku yang sulit ini di tambah aku membawa manusia lain dalam ke sulitan.
"Aaaaa..." Aku menjerit sekuat tenaga, tangisanku pecah. Memori saat aku kecil menguar. Memori saat ibu meninggalkanku, memori saat Ayah mencium wanita lain, memori saat nenek menghembuskan napas terakhir kalinya. Ini menyakitkan, bagaimana bisa aku yang menyedihkan Tuhan titipkan janin di rahimku? Bahkan saat aku pun tak ingin hidup.
Dia, dia akan hidup lebih menyedihkan dari pada hidupku. Dia akan menderita setelah mengetahui bahwa dia anak dari hasil jual diri ibunya.
Aku menjambak rambutku seperti orang kesetanan. Membasahi seluruh tubuhku dengan air dingin padahal sekarang pukul satu dini hari. Rasa dingin menjalar sampai bibirku bergetar. Biarkan saja, biarkan saja aku membeku dan menyusul nenek.
Ayah menggedor pintu kamar mandi dengan keras. Sepertinya lelaki itu terbangun karena teriakkanku. Semenjak nenek meninggal lelaki itu perlahan menyadari bahwa aku anaknya, yang sebelumnya selalu menganggapku sebuah kesalahan terbesar di hidupnya.
"Bit, lo masih hidup?"
"Masih, masih mencoba bertahan!" jawabku lirih.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Semester Akhir
Teen FictionSatu semester akhir menjadi penentu kelulusan. Namun, semua tak sesuai harapan. Tsabita siswi cerdas dan tidak neko-neko hamil di luar nikah, tanpa tahu pria seperti apa yang membelinya malam itu. Rupanya kasus Bita membuatnya terjebak pada kasus ya...