31. Kabar Kematian

587 73 9
                                    

Hai, apa kabar? Hehe maaf lama updatenya. Cerita ini tuh menurutku bikin sakit kepala. Berat konfliknya:(

Semoga masih ingat alurnya ya 🤣

***

Malam itu gelap, tetapi tidak seperti malam ini. Sebuah kabar kematian yang mengguncang dunianya. Gustira termenung. Mendengar seseorang bicara di seberang sana mengenai kejadian yang menewaskan Astrid.

Semua orang mengira bahwa Astrid melakukan tindakan bunuh diri. Lehernya tercekik tambang di ambang pintu lorong, matanya membelalak penuh kesakitan. Yang paling tak masuk akal mereka langsung mempercayainya tanpa mengecek CCTV.

"Polisi langsung bawa jasad Astrid ke rumah sakit," ujar Sarwo - petugas yang dipercayai Astrid dan Gustira selama ini.

Tangan Gustira gemetaran, dia limbung ke samping. Ponsel yang dia genggam terlempar, Gustira tak memiliki kekuatan untuk bangkit. Dia memilih merebahkan diri dan merasakan dinginnya lantai keramik.

Cafe sudah tutup setengah jam lalu, jadi aman dari tatapan manusia yang penasaran mengapa ada orang yang memilih tiduran di lantai yang kotor. Karyawan di sini tak berani mendekati Gustira, apalagi saat Gustira berteriak histeris.

"Kenapa?" tanya Gustira penuh penekanan, pada Tuhan di atas sana yang sedang duduk di singgah sanaNya. Gustira bertanya tentang takdir buruknya ini.

"Tuhan, marah sama gue? Terus kenapa ambil orang-orang yang gue sayang?"

Jika memang benar kehidupannya adalah kesialan, untuknya juga untuk semua orang terdekatnya. Mengapa bukan dia yang Tuhan hentikan nyawanya?

Setengah jam Gustira meringkuk dengan isak tangis yang tak kunjung reda. Harapannya hilang, cita-citanya untuk merubah semuanya kandas. Tangan Gustira meninju lantai, dia terluka, tetapi sakit di hatinya membuat Gustira mengabaikan jemarinya yang berdarah.

Seseorang menarik kerah baju Gustira. Mata orang itu sama sembabnya. Mereka berdua terlihat kacau. Lantra mendekap tubuh kakaknya. Pelukan pertama bagi mereka karena selama ini satu sama lain tak ada yang mau berpelukan.

"Bang!" suara Lantra bergetar kala memanggil kakaknya yang menangis tersedu-sedu. "Ibu Astrid sudah tidak sakit lagi."

Gustira memejamkan matanya. Meresapi rasa sakit yang menghujam begitu dalam. Ketiga kalinya dia kehilangan wanita yang sangat berarti dalam hidupnya.

"Papi pasti dalang dari semua ini."

Kepala Gustira mendongak, menatap Lantar dalam. Dia bangkit dengan emosi yang menggebu-gebu. Lantara menarik tangan Gustira, mencegah kakaknya bertindak gegabah.

"Kali ini jangan halangin gue untuk ngebunuh River."

"Gue nggak akan melarang lo. Cuman pikirin calon anak lo juga Bita. Lo mau anak lo kecewa karena punya bapak seorang pembunuh?"

**

Dalam ruangan kerjanya River sedang tertawa terbahak-bahak. Dia berhasil menghabisi nyawa Astrid yang mengancam kehidupannya.

"Dasar anak bodoh!" River mengisap rokok miliknya, sudut bibirnya tersenyum sumringah. "Kalian pikir saya tidak tahu rencana kalian?"

Gelak tawa itu semakin menjadi-jadi. River merasa di atas awan karena lagi-lagi dirinya menang. Takdir selalu berpihak padanya.

"Anak ingusan yang polos, uang bisa membeli pertemanan."

"Kalian akan kalah sebelum memulai permainan."

Matanya melirik TV lebar yang menampilkan detik-detik Astrid menghabisi nyawanya sendiri. Dengan sedikit ancaman, wanita itu menyerah dengan sendirinya.

Satu hari sebelum kematian

Astrid memohon dengan wajah pucat pasih. Jerit kesakitan tak River hiraukan, kakinya semakin kuat menginjak kedua tangan Astrid.

"Saya mohon lepaskan." Astrid berbicara dengan napas yang tersegal-segal.

"Apa yang bisa kamu berikan untuk saya? Sesuatu yang berharga atau saya akan menghabisi nyawa kalian semua."

"Tidak, habisi nyawa saya saja. Jangan melukai anak-anak yang tidak bersalah lagi, Tuan. Saya mohon akhiri semua ini."

River menyeringai. Dia menarik rambut Astrid sampai wanita itu mendongak dengan mata membulat sempurna.

"Berikan pada saya bukti yang Gustira inginkan." Astrid menggeleng. Surat peninggalan ibu Gustira adalah satu-satunya bukti terkuat untuk menghancurkan River. "Tidak berguna!"

"Arghh!" Astrid menjerit sakit tat kala lutut River menendang rahangnya. Wanita itu tergeletak dengan rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya.

"Vonis mati sudah menghantui mu. Saya juga tidak lagi membutuhkan wanita rewel tua sepertimu. Jika selama ini kamu mengira saya tidak tahu rencana kalian-" River jongkok, dia mencengkeram rahang Astrid. Darah segar mengalir dari ujung bibir wanita itu. Senyum River semakin lebar, melihat darah membuatnya merasa bahagia. "Habisi nyawamu sendiri, atau tetap hidup dengan melihat Gustira hancur!"

Tangan Astrid yang penuh luka menggapai kaki River. Bibirnya bergetar saat berbicara. "Tu-an ... Jangan sentuh dia!"

Astrid sudah lelah dengan kehidupan ini. Sedangkan Gustira sangat layak untuk menjalankan hidup yang lebih baik. Astrid dapat melihat pancaran harapan dari kedua mata Gustira. Setidaknya kematian ibunya dan dirinya bisa menyelamatkan harapan Gustira untuk bahagia.

"Katakan apa yang harus saya lakukan. Biarkan saya saja, jangan ganggu dia."

Kepala River mengangguk. Dia menepuk-nepuk pipi Astrid. Wanita ini sejak dulu tidak berubah, bodohnya.

"Gantung diri akan menjadi kenangan indah Gustira seumur hidup. Lakukan, besok malam! Atau kedua matamu akan melihat anak itu merenggang nyawa di tangan saya!"

Astrid berteriak saat pintu kembali di tutup. Bahunya bergetar hebat. "Aku berdoa semoga hidupmu tidak pernah merasakan bahagia! Matilah dengan cara paling keji River!"

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan River. Dia berteriak kesal. "MASUKK! Menganggu kesenangan saja."

Tangan kanan River bernama Lucas memasuki ruangan.

"Tuan, saya mendapatkan informasi penting." kata Lucas.

Kedua alis River menyatu. Dia menatap Lucas. "Jika informasinya tak penting, saya akan memenggal kepala mu."

Buru-buru Lucas memperlihatkan sebuah foto yang sedikit samar. Dia memperbesar foto tersebut sampai kedua wajah pria dalam foto terlihat jelas.

"Saya mendapatkan foto ini dari kurir barang, Tuan."

"Dia menggunakan barang haram?" tanya River dengan mata berbinar.

"Ya, saya sudah mengkonfirmasi bahwa Gustira memesan barang tersebut untuk dirinya sendiri."

Tiba-tiba River bertepuk tangan. Malam ini adalah malam paling bahagia baginya.

"Bawa kurir barang menemui saya. Awasi kurir tersebut jika menjualnya lagi pada Gustira. Ah, saya tidak sabar untuk membuat anak itu bersimpuh di bawah kaki saya. Dia sudah terlalu lama menjadi anak durhaka."

***
**

Satu Semester AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang