Bita berjalan dengan langkah ragu. Suara bising dengan berbagai aktifitas di club malam ini membuat kepalanya pening. Di juluki si periang bukan berarti mudah beradaptasi. Apalagi jika berpapasan dengan seseorang yang terlalu banyak minum, aroma alkoholnya membuat perut Bita bergejolak.
Mata dengan lingkar berbentuk bulan sabit itu mencari seseorang dengan serius. Mira mengatakan posisinya berada di meja paling ujung. Selain itu, Mira hanya memberi clue dirinya mengenakan dress berwarna maroon. Selama berada di sini Bita melihat sudah ada lima orang lebih yang mengenakan pakaian berwarna maroon dan itu bukan Mira.
Seseorang menabrak bahunya cukup keras. Bita yang hanya memiliki tubuh dengan berat badan 45 kilogram hampir menghantam lantai jika tangan lelaki yang menabraknya tak langsung meraih tangan Bita. Tubuh kurus memang mudah terbawa angin!
"Lain kali jalannya hati-hati!" tegur Bita pada lelaki yang dilihat dari wajahnya umur mereka tak selisih jauh.
Lelaki itu terkekeh, mendekatkan wajahnya pada kuping Bita. "BACOT!" dan tanpa rasa bersalah lelaki mabok itu pergi begitu saja tanpa permintaan maafnya.
"Bacot katanya?" Wajah Bita memerah kesal, andai urusannya tak lebih penting dari sekedar meladeni lelaki mabok, dirinya akan kejar sampai lelaki itu mengatakan maaf.
"Bita gue cariin lo malah bengong!" Mira menepuk bahu Bita. "Ayok ikut gue."
Di dalam hati Bita berdoa, semoga langkah salah yang dirinya ambil ini tidak membuat masa depannya suram. Bita janji setelah ini ia akan bertaubat sungguh-sungguh, semoga Tuhannya masih mau menerima Bita yang penuh dosa ini.
"Bit ini temen gue, Flara." Mira menunjuk Flara. Perempuan itu melambai dengan senyum ramahnya.
"Bita," ujar Bita.
"Dia yang gue bilang itu, beneran ada yang mau booking, kan?" Flara mengacungkan jempolnya menjawab pertanyaan Mira. "Dia temen gue yang ngatur semuanya sama klien lo Bit!"
Bita memperhatikan Flara, wajah Flara yang imut dengan badan mungil tak mencirikan dirinya adalah perempuan malam. Mungkin jika Bita bertemunya di luar, dia akan mengira Flara anak penurut yang hobinya meraih juara kelas. Eh, tapi jaman sekarang semua orang tidak menjamin bukan? Berkaca saja pada dirinya, anak yang menyandang predikat lugu yang pintar malah berakhir menjual diri.
"Lo minum ini… biar badan lo rileks." Flara menjulurkan gelas yang terlihat hanya minuman biasa berwarna merah. "Cuman minuman rasa strawberry ko. Abis itu gue anter lo ke kamar!"
Mira melihat wajah Bita yang menampilkan ekspresi ragu. "Minum aja, aman dari narkoboy kok!"
Tangan Bita sampai gemetar memegang gelas. Perlahan minuman itu memasuki mulut Bita, rasanya seperti minuman manis lainnya hanya sedikit pait.
"Gue jamin lo nanti enjoy mainnya!" Flara tersenyum lebar pada Bita.
Mira menatap Flara curiga, dari tatapan Flara perempuan itu memiliki rencana. Sedangkan di tempatnya Bita mulai merasa panas.
"Yuk Bit, panas kan?" Flara bangkit menghampiri Bita yang terus-terusan mengibaskan tangannya.
Sebelum Flara membawa Bita, Mira mencekal tangan Flara. Bagaimana pun Bita adalah temannya. Kondisi Bita membuat Mira khawatir.
"Tenang cuman obat perangsang!" bisik Flara pada Mira.
**
Mereka berada pada sebuah kamar yang sudah Flara siapkan. Bukan kamar kelas bawah dan bukan pula kelas VVIP di mana para mafia memesan kamar. Mungkin klien Bita hanya daddy sugar dengan pekerjaan biasa atau malah seorang pelajar yang uangnya masih meminta pada orang tua?
"Bit klien minta sama gue lo pake penutup kepala. Dia gak mau lo liat dia!" Flara memberikan penutup mata pada Bita.
"Tapi aman, kan?" tanya Bita ragu, keraguan untuk merencanakan niatnya semakin besar.
"Aman. Atau lo mau batalin?" Flara memberikan opsi yang perempuan itu sudah tau pasti jawabannya.
Bita menelan salivanya, rasa terbakar di tubuhnya semakin menjadi-jadi. Dirinya tak tau mengapa tubuhnya seperti mendambakan sentuhan.
"Flara!" panggil Bita dengan wajah bingung.
Flara tersenyum sambil memakaikan Bita penutup kepala. "Udah lo nikmatin aja, obat dari semua itu ada di klien lo."
Setelah memakaikan Bita penutup kepala, Flara menelepon seseorang. Flara menoleh pada Bita dengan senyum lebar miliknya.
"Bit gue pergi ya, klien lo lima menit lagi ke sini. Selamat bersenang-senang!"
Setetes air mata jatuh saat Flara menutup pintu. Ini demi uang yang bisa membuat Nenek di operasi. Sekali ini saja dirinya ingin berguna pada orang yang berjasa merawatnya disaat ibunya sendiri meninggalkannya demi sebuah karir.
Pintu kamar terbuka dan tertutup kembali dengan terkunci. Degup jantung Bita memburu seiring langkah kliennya mendekat. Bita ingin mendengar suara kliennya tetapi lelaki itu malah memilih diam.
Bita memundurkan tubuhnya saat tangan besar menyentuh bagian mata yang tertutup kain. Dia hanya refleks melakukan itu karena selama ini tak ada yang berani menyentuhnya. Tangan besar itu kini menyentuh pipi Bita, getaran aneh di tubuh Bita menjadi-jadi.
Dan setelahnya tak ada lagi Bita yang lugu dan polos karena darah suci itu sudah keluar dengan cara yang hina. Esok atau esoknya lagi, Bita pasti akan lebih menyesal tentang keputusannya malam ini.
***
Suara tangis itu menggema seisi ruangan. Tangis pilu dan keputusasaaan. Keinginan Bita hanya ingin seperti teman-temannya yang bisa menikmati masa remaja, bukan seperti jalang yang terbangun di kamar asing dengan tubuh telanjang dan noda merah di sprei, tanpa tau lelaki seperti apa yang semalam berbagi ranjang dengannya.
Bita memukul dadanya yang sesak, usianya baru menginjak 18 tahun. Tetapi, mengapa beban yang dirinya pikul seberat ini?
Sebuah telepon mengalihkan Bita dari lamunannya akan masa depan. Telepon dari ayahnya yang kesekian kalinya.
"Lo di mana, be-go? Dari tadi gue telepon gak di angkat!"
Bita menghela napas sebelum menjawab pertanyaan ayahnya. "Cari uang buat Nenek. Kabar nenek gimana, yah?"
"Kritis!" teriak Bastian murka. "Makannya lo cepet ke sini, Tsabita!"
Bita buru-buru memakai pakaiannya. Lalu, mengecek saldo dan sedikit lega karena uang dengan jumlah yang mereka sepakati benar di bayarkan.
Karena rusuh Bita tak melihat sebuah surat dengan pil di sampingnya. Bita mengambil surat tanpa membawa pil yang kliennya siapkan. Sekarang, prioritasnya hanya nenek, tubuhnya yang terasa remuk bahkan tak dirinya hiraukan.
Lagi-lagi telepon Bita berdering, namun kali ini bukan ayahnya melainkan Mira.
"Bit, lo aman?" tanya Mira.
"Makasih, Mir. Uangnya udah di transfer juga!"
"Bit, abis ini lo minum pil KB. Jangan sampai lo kelupaan dan malah bablas." Mira yang berpengalaman memberikan sedikit tips.
"Ah, iya Mir!" ujar Bita yang aslinya tak mendengarkan apa yang Mira katakan karena Bita sedang tak fokus.
"Inget ya, Bit. Lo hamil gue gak tanggung jawab!" Setelahnya Mira mematikan sambungan telepon dan Bita yang berhasil mendapatkan ojek online tak mengingat wejangan Mira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Semester Akhir
Teen FictionSatu semester akhir menjadi penentu kelulusan. Namun, semua tak sesuai harapan. Tsabita siswi cerdas dan tidak neko-neko hamil di luar nikah, tanpa tahu pria seperti apa yang membelinya malam itu. Rupanya kasus Bita membuatnya terjebak pada kasus ya...