27. River

696 111 10
                                    

Hai hai!

Kasih booster aku dong.

100 vote dan 100 komen aku up lagi😁 Kalo belum jangan tagih ya😉

***

Pintu itu sudah terlihat dari jarak sedekat ini, membuat jantungnya berdebar tak karuan. Langkahnya melambat. Dia menghela napas dalam sebelum membuka pintu.

Senyum lebar pria yang akan dia temui adalah pemandangan paling menakutkan. Flara menelan saliva, tangannya menyeka keringat pada dahinya.

Rumor itu benar, pria gagah yang sedang duduk di kursi kebesarannya bak seorang mafia yang dengan sorot matanya saja mampu mengintimidasi. River menyeringai, dia tau bahwa Flara sedang di landa panik, dia bangkit mendekati teman anaknya itu.

"Mau minum?" tanya River.

Flara menggeleng, dia tak akan sanggup menelan air saat maat itu terus mengawasi gerak-geriknya.

"Silakan duduk!"

"Atau mau lihat pemandangan ibu kota dari sini?" River menuntun Flara mendekat kaca besar di ruangannya. Kaca yang memperlihatkan sibuknya ibu kota di siang hari.

Tubuhnya kaku di belakang tubuh River yang menjulang tinggi. Flara menyesali keputusannya kali ini. River bukan hanya berbahaya, dia menyeramkan!

Mereka tak ada yang memulai pembicaraan, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Di balik wajah tenang River, pria itu sedang menyusun rencana besar.

"Om ingat aku?" tanya Flara lirih, jemarinya menaut menahan gugup.

"Ya, teman putraku," jawab River.

Mata Flara terpejam sesaat ketika dia merasakan giginya merobek bibir bagian dalamnya.

"Aku bawa bukti-bukti yang Om mau."

River melirik Flara. Membalikkan tubuhnya menjadi saling berhadapan. Tubuh mungil Flara membuat River harus menunduk agar mata mereka bertemu. River suka menatap mata lawannya, mata yang menyorot rasa takut, gelisah, panik dan tak berdaya.

"Kamu tau berhadapan dengan siapa?" flara mengangguk sebagai jawaban. Tangan besar River menyentuh dagu flara, menekannya ke atas agar wanita itu mendongak.

"Ini ... Salinan pesan Lantra yang memesan Bita malam itu. Kemari, Lantra menemui ku dan meminta agar aku tidak membuka mulut." Flara berbicara tanpa jeda membuat napasnya menjadi tak beraturan.

Jemari besar River menelusuri pipi mulus Flara, menatap intens wajah mungilnya, sisi gelapnya mendominasi, matanya menggelap, dia mendekatkan wajahnya sehingga hidung mungil Flara menyentuh hidung River.

"Lalu saya harus bayar berapa jika ingin memesan tubuhmu?" Suara River serak, hasratnya menggebu-gebu.

Flara lemas, dia tak memiliki tenaga lagi. Wanita itu menggelengkan kepala, bibirnya bergetar.

"Ampun ... Aku tidak menjual diri Om." Bulir bening membasahi pipinya. Kini tangan River pindah posisi pada rambut miliknya. Awalnya hanya mengusap, lalu setiap detik cengkeramannya menguat.

"Kau menolak?" Geraman tertahan terdengar. Mata pria itu kini membulat sempurna dengan leher menonjolkan urat-uratnya.

Plak

River menampar pipi Flara, dia tak suka mendapat sebuah penolakan. Flara tersungkur di lantai dengan pipi memerah.

"PUASKAN SAYA, BARANG YANG AKAN SAYA KASIH JUMLAHNYA SEPULUH KALI LIPAT DARI PERJANJIAN AWAL!"

"Tidak, aku ke sini sesuai perjanjian awal, aku tidak menjual diri." Flara menolak dengan tegas.

Kaki River menginjak kaki mungil Flara, jeritan kesakitan menggema di ruangan mewah ini.

"Tuan, meeting sebentar lagi."

Flara menghela napas lega, dia sudah pasrah jika harus mati di tangan river. Untungnya pria itu masuk ke dalam ruangan di waktu yang tepat.

"Bawa dia keluar. Pastikan mulutnya tidak berkhianat!" River memerintahkan Aljo- asisten pribadinya.

Tubuh wanita itu di seret paksa keluar ruangan, tanpa belas kasihan. River memang iblis wujud manusia. Flara mengusap pergelangan tangannya.

"Bajingan, aku sudah memberikan apa yang kalian mau!" Flara berteriak.

Aljo menepuk tangan, dua orang berbadan besar menghampiri mereka. Salah satu darinya melemparkan plastik hitam ke wajah Flara.

"Sialan!" maki Flara dalam hati. Dia mengambil plastik itu, melirik isinya dan emosinya sedikit mereda.

"Tuan River memberikan tambahan, pastikan mulutmu tak berisik atau kami tak segan-segan membungkam mulutmu selamanya!" ancam Aljo tak main-main.

**

Tangan River melempar-lempar kecil sebuah memori yang Flara berikan. Anaknya membeli wanita murahan. Tatapannya kosong, pikirannya melanglang buana pada kejadian silam.

Kejadian yang membuatnya seperti ini, tak memiliki perasaan.

Dua puluh tahun yang lalu, River adalah budak konglomerat, dia lahir yatim piatu miskin. Hidupnya penuh hinaan dan kekerasan. River tumbuh dengan dendam yang dia bawa selama hidupnya.

Sebelum menjadi budak dia bekerja sebagai pemuas napsu jalang-jalang yang tak terpuaskan oleh suaminya. Uang itu dia kumpulkan untuk biaya pendidikannya. Dan takdirnya membawa dia sebagai budak. Konglomerat yang kejam, menghinanya, dan selalu tak puas dengan kerjanya.

Hingga putri konglomerat hamil, tanpa seorang pria yang bertanggung jawab. Dia yang di janjikan hidup enak menikahi Mara.

Pernikahan mereka sangat tidak bahagia, Mara yang menghina dan mencacinya setiap saat. Keluarga konglomerat yang menuntutnya tanpa henti.

Stres berat membuat kandungan Mara bermasalah, janin itu tak bisa terselamatkan. Dua tahun menjalani pernikahan yang berat Mara berniat menceraikan River, sayangnya terlambat Mara mengandung anak River.

Di satu sisi River perlahan membangun bisnisnya, pria ambisius itu satu-satu mewujudkan impiannya dengan berbagai macam cara.

"Tuan bagaimana jika gadis itu membocorkan masalah ini pada tuan muda?" suara Aljo membuyarkan lamunan River.

Tak menjawab, River malah membuka laci meja kerjanya. Sebuah foto usang keluarga kecilnya.

"Menurutmu apa saya terlihat menjadi seorang papi baginya?" jemarinya mengusap wajah mungil Lantra di foto.

Aljo menunduk, dia sudah memiliki jawaban dengan penjelasannya, namun bibirnya memilih bungkam. Tak berani menyuarakan kebenaran.

Mata River menyipit ketika pria itu tertawa terbahak-bahak. Menertawakan dirinya sendiri.

"Hahah ... Bahkan saya lupa tanggal kelahirannya."

"Apa kau pernah menjemput anakmu sekolah?" tanya River pada Aljo. Kepala Aljo mengangguk singkat. River kembali tertawa lebih kencang. "Andai tua bangka itu tak mengatakannya saya lupa dia akan lulus sekolah."

"Hubungan kami lebih dingin dari pada atasan dan bawahan. Jadi .... " River menggantung ucapannya, rautnya kini berubah datar.

"Saya tidak peduli jika harus membuangnya demi mempertahankan apa yang saya miliki saat ini!"

Aljo mendongak, dia pikir River tak akan sejahat ini pada darah dagingnya sendiri, rupanya salah. Kekuasaan menggelapkan rasa kemanusiaannya.

River menyerahkan memori card pada Aljo.

"Cari tau wanita yang dia pesan, singkirkan semua orang yang berpotensi menghancurkan ku. Jangan berbelas kasih sekalipun itu adalah anakku. Dalam bisnis tak ada hubungan darah!"

River memberikan sebuah foto pada Aljo.

"Bunuh wanita itu dan mata-matai Gustira, kemarin dia menyamar menjadi pelayan saat transaksi di laksanakan. Otak kecil mereka pasti sedang merencanakan sesuatu."

**

Satu Semester AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang