7. Pilihan Aborsi

2.3K 144 0
                                    

Tatapan tajam pak Cahyono membuat Bita gugup. Kaki perempuan itu tak Bisa diam. Wajahnya yang pias semakin tak berona. Perempuan itu definisi wajah vampire yang haus akan darah.

"Tenang, saya tidak berminat memakan kamu Bita!" ujar Pak Cahyono.

"Em... Iya, Pak!"

Selama dirinya bersekolah, Bita tak pernah sampai di panggil kepala sekolah karena masalah absensi. Maka dari itu saat wali kelasnya memberi tahu Bita pak Cahyono memanggilnya, jantungnya berdebar tak karuan.

Pak Cahyono menghela napas, hal itu membuat Bita refleks menahan napasnya.

"Kamu sudah tau kenapa saya memanggil kamu ke sini? Selain karena urusan beasiswa?" Alis Pak Cahyono menyatu. Lucunya saat sedang serius-seriusnya kaca mata Pak Cahyono melorot.

Bita memejamkan mata, tidak baik menertawakan orang tua.

"Soal absensi," jawab Bita.

Kepala Pak Cahyono mengangguk membenarkan perkataan Bita. "Selama empat bulan belakangan ini saya perhatikan kamu sering sakit dan izin?"

Bita mengangguk, tak mengelak.

Tangan pak Cahyono mengetuk-ketuk meja. Keningnya berkerut seolah kalimat yang akan ia ucapkan adalah masalah serius.

"Bita begini...," Pak Cahyono memajukan kursi yang ia duduki. Jarak mereka semakin dekat, mata pak Cahyono memandang Bita tajam. "Absensi itu akan menjadi masalah di pertemuan donatur. Pihak donatur pasti akan protes, mereka ingin siswa-siswa yang mereka danai benar-benar mematuhi peraturan sekolah."

"Saya minta maaf, Pak!"

"Maaf mu itu tidak cukup, kecuali...,"

Tangan Bita mengusap perutnya, rasa mual itu muncul begitu hebat secara tiba-tiba. Bita menarik dan menghembuskan napas, akan berujung tidak baik jika Bita memuntahkan isi perut di ruangan kepala sekolah.

"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Pak Cahyono khawatir melihat wajah Bita yang semakin pucat. Bita mengangguk. "Saya takut kamu sakit keras di lihat banyak sekali izin sakit yang tertera."

Bita ingin tertawa, jika hamil bisa di katakan sakit keras Bita sedang menjadi pasien pesakitan.

"Saya cuman gugup aja Pak, jadi asam lambung saya naik!" alibi Bita. Bisa serangan jantung Pak Cahyono jika Bita mengatakan dirinya sedang hamil.

"Ya sudah, jadi gini..."

Pintu yang terbuka paksa membuat Pak Cahyono kembali menutup mulutnya.

Dengan napas tersengal-sengal Pak Hermes berucap. "Pak, Gustira berantem sama anak baru!"

Mendengar nama berandalan sekolah di sebut, Pak Cahyono mendorong kursi dengan emosi. Kumisnya bergerak-gerak seiring dengan bibir Pak Cahyono yang mengomel.

"Nah, ini saya harap kamu bisa menangani berandalan baru sekolah!"  kata Pak Cahyono pada Bita yang mematung di tempat.

Selamat Bita, beban mu semakin banyak!

**

Bita membasuh wajahnya dengan kasar. Menatap wajah lugu yang selalu orang lain kira baik, tidak neko-neko dan panutan adik kelas. Bibir mungil Bita tersenyum miring seiring dengan air matanya yang menetes.

Sudah bulat keputusan Bita, hari ini dirinya akan menghubungi seseorang yang membelinya. Dengan tangan gemetar Bita menghubungi nomor yang tertera di kertas lusuh yang selalu ia selipkan di casing handphone miliknya.

{Saya hamil}

Tak membuatnya lega, Bita kembali mengirim sebuah pesan.

{Saya mau aborsi. Tolong, temui saya!}

"Ayok!" Jule merangkul tangan Bita tiba-tiba. "Lo nangis?" tanya Jule.

Bita tersenyum, "Lagi inget nenek!" jawaban andalan Bita agar mereka tak banyak tanya dan buru-buru mematikan layar ponselnya.

Jule cemberut, membantu Bita menghapus air mata perempuan itu. "Jangan sedih-sedih, ah."

Ya, jangan larut dalam kesedihan karena pasti semua permasalahan akan ada jalan terbaiknya.

Jam istirahat memang waktu semua siswa melepas rasa lapar. Kantin adalah tujuan utama. Ruangan yang di desain indoor dan outdoor itu penuh dengan suara riuh. Beberapa meja sudah memiliki hak paten. Contohnya, milik Gustira yang kini kosong tak ada yang berani menempati selain lelaki itu dan genknya.

"Bita!" Seru Rembulan dengan lambaian tangan.

Jule mendengus, sudah terbiasa tak di anggap oleh mahluk centil itu.

Bibir Rembulan melengkung ke atas dengan mata yang berbinar indah. "Tara... Gue udah pesenin semua makanan ke sukaan kalian!"

Melihat ekspresi Rembulan yang tak seperti biasanya, Bita dan Jule saling tatap. Apalagi, makanan yang di beli rembulan begitu banyak. Ada bakso, mie ayam, cilok, cimol, dan bahkan seblak.

"Perayaan apaan nih? Perayaan lo putus ke 100?" tanya Jule sedikit menyindir. Rembulan yang cantik memang tak menyianyiakan parasnya. Satu bulan Rembulan bisa dekat minimal dengan tiga lelaki berbeda. Tapi, Rembulan tidak pernah tertarik menjalin hubungan dengan anak River. Targetnya anak SMA lain atau mahasiswa yang kalo kuliah bawanya pajero.

Rembulan menarik kursi agar Bita duduk dengan nyaman.

"Perayaan kematian kucing nyokap gue!" ujarnya bahagia.

Sudah sejak lama Rembulan mengeluh tentang bulu kucing yang berterbangan. Atau tentang makanan kucing yang lebih mahal dari pada uang jajannya. Mami Rembulan bahkan menjadwalkan kucing kesayangannya pada salon hewan ternama setiap minggu. Anak sendiri selalu tersisih. Maka saat melihat Mami menangis histeris karena kematian 'Queen' dengan wajah bahagia Rembulan tertawa senang di dalam kamar. Kebebasan menanti!

"Semoga Tuhan kasih lo jodoh dokter hewan. Mampus dah lo tiap hari bau kucing dan anjing!"

Rembulan bergidik ngeri. "Gak lah, gue mau deketin anak pengusaha batu bara!"

Bita menunduk lesu, mendengar percakapan tentang jodoh dan masa depan membuat nyalinya menciut. Jangankan jodoh, sekecil harapan perutnya tidak membesar pun mustahil, karena setiap harinya mahluk mungil yang ada di dalam perut selalu ingin menunjukkan bahwa dia hidup dan berkembang.

Bakso yang akan Bita masukan ke dalam mulut terlempar bersama sendok yang dirinya genggam. Seseorang menghempaskan buku ke wajah Bita. Adik kelasnya yang bernama Clotte itu menatap tajam dengan tangan mengepal.

"Gara-gara lo gak becus ngerjain tugas, nilai gue jelek!" maki Clotte dengan wajah merah padam.

Jule bangkit dari tempat duduk, deru napasnya tak beraturan. Jika Bita terlalu baik dan tak akan membalas perlakuan tikus kecil ini, maka biarkan Jule yang mewakili Bita. Sungguh tidak apa dosanya menambah asalkan kejadian ini tak kembali menimpa Bita.

"Hei... Minta maaf gak, lo?" tanya Jule dengan nada tinggi.

Tak ada yang mengalah, Clotte walaupun adik kelas dia menang dari segi tenar. Mana mungkin juga seorang yang biasa membully di gertak langsung meminta maaf, sebaliknya Clotte semakin membusungkan dada.

"Gak ada urusan sama lo!" jawab Clotte.

Perdebatan ini membuat mereka menjadi pusat perhatian. Bita yang menjadi sumber masalah terserang gugup.

"Udah-udah!" Bita melerai, masalah akan panjang jika terus mengunakan emosi.

"Udah lo Bilang?" Clotte menunjuk Bita dengan jari tengahnya. "Gue udah bayar lo dan nilai gue tetep jelek!"

Bita membersihkan buku Clotte yang terkena kuah bakso lalu memberikannya pada Clotte. "Iya, maaf ya, Clo. Nanti aku bantu tugas susulan, sekali lagi aku minta maaf!"

Sayangnya, Clotte menepis buku yang Bita berikan. "Udah miskin, sok pinter. Jangan-jangan lo jual diri lagi sama guru-guru makannya jadi juara umum sekolah!" ejek Clotte.

Mira menggebrak meja, di perhatikan adik kelasnya ini semakin ngelunjak. Dengan suara lantang Mira berkata. "Udah, atau lo urusannya sama gue, njing?"

Karena Tuhan pun tau, Bita tak akan bisa menghadapi kerasnya dunia seorang diri, maka Tuhan hadirkan teman-teman yang bersedia menolongnya.

Satu Semester AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang