Hai, apa kabar?
Sudah lama tidak bertegur sapa. Kalian baik? Masih ada yang menyimpan buku ini dalam perpustakaan?Terima kasih, atas sabar kalian menunggu aku up.
Selamat menikmati bab ini :) sampai jumpa di bab selanjutnya.
**
"Seharusnya gue sedang menikmati libur dengan menonton tarian erotis di web gratis," gerutu Angkasa.
Bola mata Seka memutar, dia membenarkan kaca matanya yang sedikit miring. Keduanya bertemu pada titik yang sudah dibicarakan sebelumnya. Pakaian mereka sudah diatur oleh Lantra – agar tidak hilang mereka menggunakan kemeja merah cabe dan celana ijo. Mau komplain tak ada waktu, mereka dikejar-kejar jadwal ulangan.
Angkasa menyentuh jam pemberian Lantra, hadiah karena mereka berdua bersedia turun lapangan hari ini.
"Lo yakin?" Angkasa menatap nama gang diplang masuk. Daerah ini salah satu tempat kumuh di ibu kota. "Kalo kita ketemu preman? Kalo ketemu bandar judi? kalo kita-"
Seka menarik tangan Angkasa, dia tak sabar menemukan kebenaran yang dapat membantu Tsabita dalam masalah ini. Demi Tsabita, dan ini sebagai bentuk balas budinya sebab wanita itu tak pernah mengejeknya seperti yang lain.
Angkasa memepetkan tubuhnya pada Seka ketika dia mulai berjalan masuk. Hidungnya yang sensitif bereaksi, matanya memicing melihat sampah berserakan di sembarang tempat. Jalan setapak pun tak kalah kotor dan bau. Sirkulasi yang kurang membuat mereka kehabisan udara segar. Wajah Angkasa seperti kepiting rebus.
"Kalo gue di sini bisa jadi zombie," keluh Angkasa.
"Cocok," sahut Seka dengan senyum tipisnya.
Dari data yang mereka gali salah satu korban tinggal di tempat ini. Menemukan mereka sangat sulit, ada yang sudah pindah ke luar pulau ada yang tak tahu keberadaannya. Sebagian dari mereka tak dikenali. Semua rumit karena River membantu kejahatan ini.
"Lo suka Bita, kan?" kesunyian itu membawa Angkasa mengingat masa lalu. "Bita sama lo sering kelihatan bareng. Perasaan lo bagaimana ketika mengetahui dia hamil?"
Seka membisu, masalah hati terlalu rumit. Dia tak biasa membahas masalah cinta dan wanita yang ada dalam hatinya.
Tangan Angkasa menarik tangan Seka ketika cowok culun itu hampir menabrak bocah yang berlari melawan arah.
"Ngelamun!" tegur Angkasa.
"Ikhlasin saja, jangan sedih-sedih biarin Bita sama Gustira. Lo nanti gue kenalin sama teman-teman cewe gue yang bahenol."
Netra Seka menatap wajah Angkasa, dari tampang Angkasa terlihat pria pendiam yang tak ada otak-otak vulgar. "Gue suka perempuan dari caranya menghargai dirinya sendiri."
Angkasa mengibaskan tangan keudara. Dia muak mendengar definisi suka yang naif, sebab dia pernah patah hati karena mencintai dengan tulus.
"Kalo gue sih dari nafsu turun ke hati," kekehnya.
"Hati-hati HIV."
Refleks Angkasa membekap mulut Seka. "Matamu!"
Ketika mereka sedang berdebat, orang ketiga muncul tiba-tiba dari belakang. Angkasa dan Seka terperanjat kaget ketika sebuah tangan menggerayangi punggung mereka.
"Anjing!"
"Ya Tuhan."
Semakin kaget saat mata mereka mendapati wujud aneh manusia setengah pria setengah laginya wanita sedang mencondongkan buah dadanya yang sudah pasti ganjelan busa.
"Baru kali ini gue nggak ngiler liat susu gede," batin Angkasa.
"Takut," cicit Seka. Dia memegangi tangan Angkasa erat. Di mata Seka orang-orang berpenampilan tak sesuai kodrat lebih menakutkan dari pada boneka jalangkung.
"Dia terindikasi rabies," bisik Angkasa.
Waria itu mendekat, keduanya mundur satu langkah, begitu saja sampai si waria menarik kemeja Angkasa dan Seka.
"Jangan," Seka mencoba melepaskan tangan besar berkutek pink yang meremas kemejanya. Raut Seka memelas, matanya berkaca-kaca. Yakin, sebentar lagi cowok itu menitihkan air mata.
"Lepas, bro, gue bukan mangsa lo," ujar Angkasa dengan bibir gemetaran.
"Mau ke mana atuh meuni kasep-kasep kieu," colek waria pada dagu Angkasa dan Seka.
"Neraka!" Angkasa mendorong perut waria itu menggunakan kakinya. Dia menarik Seka, keduanya berlari terbirit-birit. Kejadian ini persis seperti mimpi buruk yang membuat Angkasa datang terlambat.
"Gue maunya spek Korea bukan waria." Angkasa menyeka keningnya yang berkeringat.
"Tapi kemungkinan mereka nggak suka spek seperti lo yang perutnya berlemak." Perkataan Seka menghentikan langkah Angkasa. Pria itu mendengkus kasar. "Yang penting punya gue besar!" katanya dengan bangga.
Seka menutup mulutnya rapat-rapat, dia tak mau membahas yang terlalu mesum. Dia anak baik, otaknya tak terbiasa berpikir mesum. Anak bunda jangan dewasa sebelum waktunya. Itu pesan bundanya setiap Seka berangkat sekolah.
Mereka duduk di warung kopi pojok setelah meyakinkan bahwa waria itu tak mengikuti mereka sejauh ini. Tak ada pelanggan lain selain mereka. Angkasa memanggil penjual yang tak terlihat wujudnya.
"Permisi."
"Permisi kita mau beli," ujar Seka mengikuti Angkasa.
Bahu Seka di tepuk Angkasa. "Ngomong kecil begitu semut saja nggak denger. Jadi laki itu harus lantang, ini gue contohkan!"
Angkasa menarik napas dalam, menghembuskannya secara perlahan lalu dia mengeluarkan suaranya yang menggelegar. "PERMISI! KITA MAU BELI! PERMISI BAPAK DAN IBU."
"Goblok! Lo pikir yang punya telinga lo doang. Mau apa lo, hah?" seorang pria berbadan besar dengan tubuh penuh tato datang dari pintu samping.
Nyali Angkasa menciut, wajah cowok itu pias dengan kaki yang tak bertenaga. Angkasa memegangi kursi agar tubuhnya tidak jatuh.
"Mau beli," jawab Seka. Kali ini Angkasa mengacungkan kedua jempolnya atas keberanian Seka yang muncul diwaktu yang tepat. "Kami mau beli minum."
"MARNI INI ADA YANG MAU BELI." Teriak pria itu.
Angkasa dan Seka kembali dibuat terkejut. Mata mereka mengerjap cepat. Wajah wanita itu penuh luka lebam. senyumnya dipaksakan menyambut pelanggan.
"Beli minum apa?" tanya wanita bernama Marni sambil memegangi pipinya yang lebam.
"Ada Es kopi?" Angkasa bertanya dengan mata yang mencuri pandang pada pria bertato itu yang sedang mengambil uang di dompet.
"Ada."
"Lo mau?" tanya Angkasa pada Seka.
"Es Susu Milo." Seka memiliki pilihan lain.
Marni mengangguk. Ketika dia mendapati dompetnya terbuka wanita itu menghela napas berat. Air matanya kembali membasahi pipinya. Pernikahan yang dijalani tak seindah novel yang dia baca saat mengenyam bangku pendidikan. Dia menyeka air matanya ketika menyuguhkan pesanan.
"Bukan orang sini, ya?" tanya Marni.
Seka mengangguk. "Bukan, bu. Kami sedang mencari seseorang yang tinggal di sini," katanya.
"Siapa? Barangkali saya kenal."
Angkasa dan Seka saling lirik, mereka pada akhirnya menunjukkan sebuah foto pada Marni.
"Kami mencari wanita ini." Angkasa menunjuk seorang wanita yang berada dalam barisan tengah.
Bola mata Marni bergerak gelisah, dia menelan salivanya dengan susah payah. Tangannya meremas tepian meja. Marni membalikkan badan dia berkata dengan nada tak ramah
"Saya mau tutup cepat, tolong segera habiskan."
"Ibu tahu siapa orang ini?" Angkasa bertanya dengan sorot mata memperhatikan gerak-gerik Marni. Wanita itu gelisah, ekspresinya berubah cepat. Tebaknya wanita ini tahu atau ...
"Apakah ibu orangnya?"
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Semester Akhir
Teen FictionSatu semester akhir menjadi penentu kelulusan. Namun, semua tak sesuai harapan. Tsabita siswi cerdas dan tidak neko-neko hamil di luar nikah, tanpa tahu pria seperti apa yang membelinya malam itu. Rupanya kasus Bita membuatnya terjebak pada kasus ya...