32. Harus Bangkit Gustira

613 71 23
                                    

Apa kabar? Masih ada yang simpan cerita ini di perpustakaan?

Selamat membaca :)

**




Beberapa terakhir Gustira tidak keluar dari kamar kontrakannya. Bita yang semula tidak tahu kabar kematian Astrid diberitahu Lantra karena pria itu duduk termenung dengan wajah kebingungan mendapati pintu kontrakan Gustira seperti tidak berpenghuni.

Kekhawatiran mereka memuncak saat saat malam hari Gustira tidak menyalakan lampu.

"Serius mau dobrak ini pintu?" Tanya Angkasa pada teman-temannya yang memberi usul ini. "Ibu kontrakan marah, kaga?"

"Udahlah kalo rusak nanti gue bayar sekalian gue beliin pintu yang baru, anti baja, anti maling!" Jawab Lantra sambil mendorong tubuh Angkasa agar siap-siap mendobrak pintu ini.

Seka yang memang anak baik gelisah melakukan tindakan tidak terpuji. Dia melirik Angkasa dan Lantra bergantian. "Apa sebaiknya kita panggil Gustira dulu? Nanti dia marah kalau ternyata dia lagi tidur."

"Ah kelamaan, iya kalo tidurnya di atas kasur kalo kelabasan tidurnya di tanah gimana?"

Lantra menarik rambut Angkasa. Ucapan Angkasa membuatnya merinding seketika.

"Mulut lo bau!" Lantra menyentil bibir bawah Angkasa membuat pria itu mengaduh kesakitan.

"Sudah, kalau kalian berantem terus malah buang-buang waktu." Bita melerai teman-temannya yang hobi bacot ini untuk segera menyudahinya. "Dilihat dari cara Gustira tidak menyalakan lampu. Udah pasti ada sesuatu di dalam sana. Gue juga yakin dia nggak pergi karena seharian gue ngawasin kontrakan ini."

"Cieee Bita ... Roman-romannya ada yang mulai kesemsem sama Gustira." Ledek Angkasa. Pipi Bita merona, wanita itu memalingkan wajahnya. Membuat tawa Angkasa meledak. "Jatuh cinta emang membingungkan, Bit. Semoga lo lulus dalam percintaan rumit ini."

"Nanti aja lah cinta-cintaanya. Ini abang gue dulu!" Lantra menarik kerah belakang Angkasa.

Mereka bertiga bersiap pada posisinya masing-masing. Lantra memandu dengan menghitung. “Hitungan ke tiga kita harus dobrak ini pintu! Satu ...,”

Seka mengusap keringat yang bercucuran, ini kali pertama dia mendobrak pintu seseorang ditambah secara brutal. Lantra menghembuskan napas kasar, dia menggulung lengan bajunya memperlihatkan ototnya yang sayangnya tak terlihat.

“Dua ... Tigaa!!”

Mereka semua berlari dengan langkah bersamaan, mengerahkan seluruh tenaga untuk mendobrak pintu. Ekspresi mereka melongo ketika pintu berhasil mereka dobrak. Antara kaget dengan kemampuan mereka dan memikirkan reaksi Gustira mengenai pintu kost yang rusak.

“Kamar Gustira!” teriak Bita, tak sabar melihat kondisi Gustira. Dia gusar, gelisah dan bayi dalam kandungannya pun merasakan itu.

Lantra berlari ke arah kamar yang lagi-lagi tertutup rapat. Dia mengetuk pintu, memanggil Gustira beberapa kali, namun tak mendengar Gustira menyahut. “Lo anjenggg ... kalau mau buat gue frustrasi jangan kaya gini. GUSTIRA!”

Persetan dengan Gustira yang akan marah karena dirinya tidak sopan sebagai adik. Gustira juga kurang ajar membuat jantungnya tak karuan.

“Mana Gustira?” tanya Angkasa.

“Gustira bagaimana?” kali ini Bita yang bertanya dengan raut yang masih sama, butuh kepastian bahwa Gustira baik-baik saja.

Lantra mengusap wajahnya. Dia menghela napas lelah. “Sementara waktu gue belum bisa kasih jawaban bahwa anak lo nggak akan yatim karena pintu ini juga dikunci dari dalam.”

“J-jadi mau didobrak lagi?” pertanyaan Seka terdengar seperti usulan. Lantra menepuk bahu pria berkaca mata yang berada di sampingnya ini. kepalanya mengangguk lalu berseru. “SIAAAP!”

Padahal badan serasa remuk saat beradu dengan tembok, tapi ya sudahlah Angkasa akan berkorban sekali lagi demi kesejateraan pertemanan. Seka pun mengangguk lesu, semoga saja badannya tidak biru-biru  setelah ini. pertemanan ini ternyata semakin erat tanpa mereka sadari. Pertemanan yang didasari tanpa ketulusan berujung menyayangi satu sama lain.

Gelap, itu yang mereka lihat saat pintu terbuka. Kamar ini terasa sangat dingin, kaki mereka tak sengaja menginjak pakaian yang berserakan dan alat makan yang berada di mana-mana. Tangan Bita menggerayangi tempat saklar lampu berada. Ketika Bita akan menyalakan lampu, kakinya menginjak sesuatu yang menusuk telapak kakinya.

“Aw!” Bita meringis. Ketiga pria itu menoleh ke arah sumber suara, dengan panik mereka berkata secara serempak. “KENAPA?”

“Kayanya kalian jangan ada yang bergerak, ada pecahan kaca!” ujar Bita sambil menahan sakit di telapak kakinya. Dia berusaha berdiri dan menyalakan sumber lampu. Kini semuanya terlihat, darah yang mengalir dari telapak kaki Bita pun berhasil membuat Angkasa berteriak heboh.

“Ya Allah Bita, darah lo!”

Semua orang tertuju padanya, sedangkan Bita tertuju pada seseorang yang sedang tertidur di pojok ranjang menggunakan selimut yang menutupi seluruh tubuh pria itu. Bita memfokuskan motif aneh yang terdapat di selimut. Tunggu ....

“Gustira berdarah!” teriak Bita sambil menunjuk Gustira. “Dia dulu, gue enggak kenapa-kenapa.”

Lantra membuka selimut yang menutupi tubuh Gustira. Dia mengecek napas Gustira barangkali otak Gustira sudah rusak maksimal dan membuat pria itu nekat mengakhiri hidupnya. Dia memencet hidung mancung Gustira, ingin tahu apakah kesadaran Gustira masih ada atau Gustira pingsan. Tubuh Gustira bergerak pelan, die melenguh, matanya secara perlahan terbuka. Bulu mata lentik itu mengerjap berkali-kali, cahaya lampu membuat Gustira memejamkan mata kembali.

“Syukurlah lo masih hidup.” Lantra menghembuskan napas lega. Demi Allah keringat dingin saat melihat wajah Gustira pucat dengan bibir yang membiru. Mata Lantra menangkap luka sayatan di legan Gustira, debaran jantungnya kembali berdegup kencang. Tak hanya ada satu sayatan, tangan yang sebelumnya bersih itu kini meninggalkan jejak benda tajam.

Gustira mungkin sudah berada dititik lelah, Gustira ingin menyerah, Gustira mengaku kalah, namun dia masih ragu untuk pergi. Pria itu menyayat tangannya tetapi tidak sampai memutus nadinya. Karena dia takut Bita membesarkan anak mereka sendirian, lalu putranya menjadi seperti dirinya. Tak mendapatkan kasih sayang.

“Gustira,” Bita memanggil pria yang sudah mengisi hari-harinya beberrapa bulan terakhir ini. “Bagaimana kodisi lo?”

Angkasa berdecak, dia kesal dengan Bita yang bersikap biasa-biasa saja padahal luka di kakinya berdarah-darah. Entah keberanian dari mana membuat Angkasa berbicara sarkas seperti ini. “Lo kalo mau peduli sama orang lain, setidaknya lo peka sama kondisi badan lo sendiri, Bit. Mau pingsan dulu baru di obatin?”

Kepalanya pening luar biasa, badannya lemas tak bertenaga, dia bahkan lupa kapan terakhir makan dan minum. Gustira kembali mencoba membuka mata, dia menggerakkan tubuhnya, melirik wanita yang tak asing lagi. Tatapan Gustira sendu, wajah Bita menenangkan jiwanya yang kosong, sudut bibir Gustira berkedut, dia bahagia Bita memperhatikannya setelah berbagai cara agar bisa mendapatkan maafnya.

“Lo berdarah,” ujar Gustira dengan suara serak, dia mencoba bangkit tapi tak bisa karena perutnya diduduki oleh Lantra.

Seka yang juga tak tahan lagi melihat luka Bita mendekati wanita itu. Seka melepas jaket miliknya, dia jongkok, membersihkan kaki Bita dari darah. “Kaki lo perlu di obati sebelum lo kekurangan darah.”

Kepala Bita menggeleng, dia akan keras kepala untuk mengalahkan ego orang lain.

“Gue mau di obatin kalau Gustira juga mau di obatin. Kalau engga, biarin kita terluka sama-sama.”

Bita hanya ingin Gustira tahu ada dirinya yang menginginkan Gustira bangkit. Ada dirinya yang bersedia berjuang bersama melawan ke tidak adilan ini. karena ternyata setelah dipikir matang-matang, Gustira pun korban.

Satu Semester AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang