9. Jadi Siapa Clien itu?

2.1K 142 4
                                    

Aku berjalan dengan jantung berdebar. Berada di tempat balap liar adalah suatu hal yang asing bagiku. Kalau saja Flara lebih manusiawi menawarkan tempat lain, aku pasti memilih duduk di pinggir jalan dengan semangkuk bakso yang mengepul. Sayangnya, bertemu Flara aku butuh merengek dan mengikuti maunya.

Aku menatap sekitar, melihat dari mana kalangan mereka ini. Jika dari umur sepertinya mereka seusiaku. Namun, kelas ekonomi mereka di pastikan bukan dari kalangan bawah sepertiku yang makan indomie pakai nasi agar kenyang seharian. Karena satu motor sport yang berjejer rapi itu bisa membeli rumahku.

Dan berada di sini membuatku seperti tersesat. Terutama kerudung panjang yang aku kenakan membuat mereka menatapku bingung.

"Bita?!" seseorang memanggil namaku.

Aku memutar badan dan mencari sumber suara. Tatapan kami bertemu, alisnya menyatu dengan kerutan di kening. Aku tau dia pasti sedang bertanya-tanya.

"Sini, Bit!" Rembulan melambai padaku. Aku menggeleng, sudah pukul tujuh malam dan aku harus segera menyelesaikan urusanku. "Sini. Ngapain lo di situ!" Kekeuh Rembulan.

"Ada janji sama teman, duluan ya, Mbu," ujarku lalu melangkah pergi. Sebenarnya aku menghindari Rembulan.

Pesan dari Flara membuatku lega. Sudah sejak tadi ku hubungi perempuan itu tapi nomornya tak aktif. Aku melangkah sesuai petunjuk yang Flara arahkan.

Masalah ini harus segera di selesaikan sebelum janin di dalam perutku berkembang. Aku takut semakin lama perasaan menjadi seorang ibu membuatku tak tega melepaskannya. Setiap aku mengatakan aku tak ingin dia ada, ulu hatiku seperti terseset benda tajam. Tak di inginkan saat diri sendiri bahkan tak ingin berada di dunia, adalah rasa sakit yang tak berujung. Aku tau rasanya, tapi bukankah lebih baik dia tak ada sebelum dia memakiku karena melahirkannya?

Flara menyulut rokok miliknya. Dia menatapku seperti tak minat. Kali ini wajahnya tak sepolos saat pertama kali kita bertemu.

"Lo mau ngomong apa? Awas aja kalo gak penting."

Belum mengatakan apapun, lidahku sudah terasa kelu. Di tambah ancaman Flara menambah beban tersendiri.

"Masalah malem itu, lo tau gak siapa klien gue?" Aku meremas jemariku, menahan gugup dan keinginan buang air kecil.

Mata Flara membulat. Dia tiba-tiba menarik tanganku dan memaksa aku masuk bersamanya ke dalam wc umum yang tak terawat. Aku menahan napas karena setiap aku menghirup aroma tak sedap, maka mual itu kembali datang.

"Lo ngapain nanya itu?" tanya Flara dengan nada khawatir.

Aku mengambil sesuatu di dalam tas jadul milikku. Dengan tangan gemetar aku berikan alat tes kehamilan pada Flara. Lagi-lagi aku melihat mata Flara membesar, kali ini dengan mulut terbuka. Yang kulihat dari ekspresinya dia tak pernah menyangka hal ini akan terjadi padaku.

"Anjing!" maki Flara sambil mengusap wajahnya kasar. "Lo ko tolol banget, sih?!"

Badanku tersentak kaget mendengar nada Flara meninggi. Flara menatapku dari atas sampai bawah, lalu menatap perutku cukup lama.

"Jadi lo mau apa?" tanya Flara.

Aku mengigit bibirku cukup keras, menghadapi masalah ini tak semudah yang aku pikirkan. Mengatakan kata 'hamil' dan 'aborsi' juga menguras tenaga dan mentalku.

"Lo tau klien yang beli gue?"

"Ngapain? Mau minta tanggung jawab?" tanya Flara skeptis.

Kepalaku mengangguk, setidaknya aku tau siapa lelaki yang sudah menanam benih dalam rahimku.

"Gak bisa, Bit. Gue ga tau, dia pake akun anonim pas beli lo. Lagian waktu itu gue dapet info lo mau jual diri juga udah malem banget, makannya gak gue kroscek ulang yang penting malam itu duit cair." Perkataan Flara membuatku semakin pesimis.

Aku memegang tangannya, dengan tatapan memohon dan bibir bergetar aku berkata. "Please, bantuin gue nemuin dia, gue mohon!"

Flara berdecak, mengacak rambutnya kasar. "Kan udah gue sama Mira wanti-wanti minum pilnya. Kalo udah gini lo ngerengek ke gue?"

"Gue cuman-"

"Gini Bit, kasarnya gue ini yang ngejual lo, lo itu jalang yang di bayar, kalo lo hamil itu udah resiko dong, kecuali kalo lo di perkosa!"

Iya, aku membenarkan perkataan Flara. Aku jalang yang tak memiliki harga diri lagi.

Kita sama-sama terdiam, napas Flara memburu, dia sepertinya terbawa panik dengan kondisiku sehingga terpancing emosi. Aku tersenyum kecut, ini memang salahku dan tak seharusnya aku menyeret orang lain dalam masalahku.

"Flara, kalo gitu gue cuman minta tolong cariin gue tempat aborsi. Gue mau gugurin janin ini!"

**

Air mataku menetes membayangkan masa depan ku yang sudah hancur. Menggenggam surat berisi alamat bidan yang melakukan aborsi. Flara merekomendasikan tempat yang pernah mengaborsi janinnya, dua kali.

Aku sudah menyakinkan diriku sendiri bahwa keputusan ini adalah keputusan terbaik. Tapi, tetap saja aku takut. Bagaimana jika setelah aborsi rahimku infeksi? Bagaimana jika setelah aborsi aku malah tak bisa memiliki anak?

Duduk di trotoar adalah pilihan terbaik di saat ibu hamil ini sudah terlalu lelah berjalan. Aku memijat betis yang sudah berubah ukuran. Lebih besar dan sering keram. Huum, dari mual, sulit makan, sakit kepala dan kaki membengkak, ternyata aku bisa melaluinya.

"Bukannya kerja malah nyantuy di jalanan. Mau pindah haluan lo jadi pengemis?"

Aku memperhatikan wajah tengil yang semingguan ini mengusik hidupku. Si anak baru dan juga bos di caffe. Ingin mengeluh bosan melihat wajahnya yang hampir dua puluh empat jam berseliweran.

Padahal Jakarta luas, tapi mengapa bertemunya dengan Lantra? Mood benar-benar anjlok.

"Hallo. Mbak? Sekarang bisu, ya?" tanya Lantra mengejek. Serius lelaki itu bawel sekali.

Aku mencoba berdiri, tapi perutku mendadak keram. "Aduh!" rintih ku.

Lantra turun dari motor dengan tergesa, dia yang khawatir refleks memegang perutku. Aku yang telat sadar membuat Lantra berhasil merasakan perut bucitku yang mengeras. Aku dan Lantra saling diam, dia tak bersuara atau berkomentar apapun. Itu pula yang aku harapkan dari lelaki itu.

"Lo makannya jangan makan cilok mulu!" dumelnya. Aku mendesah lega, setidaknya dia mampu ku ajak bercanda soal realita.

Tangannya terulur membantuku berdiri. Aku tak menerima uluran tangannya. Bolehkan aku masih memegang prinsip tak ingin di sentuh lelaki yang bukan mahram sedangkan aku hamil akibat jual diri? Ya, tingkat so suci ku sudah akut.

"Ko lo tau gue di sini?" tanyaku curiga. "Lo mata-matain gue ya?" Aku memang suka suudzon padanya.

Dia menaikan satu alisnya, bibirnya terangkat satu dengan sorot menatap tajam. "Demi nilai matematika gue jadi intel nyariin lo!"

"Lah, kan gak ada urusannya sama gue?" Aku membela diri. Sungguh, kalo sama mahluk ini jiwa sabar dan kalemku seperti hilang mendadak.

Dia berkacak pinggang. "Lo mentang-mentang lagi gak di sekolah sama gak lagi ngebabu, berani banget sama gue. Tinggal iyain aja susah amat!"

Aku tersenyum mengejek. "Itu namanya modus Lantra!"

***

Satu Semester AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang