02

16.7K 1.7K 135
                                    

"Liv! Liv! Julian habis jatoh dari gunung!"

Hah?!

Gue yang hendak tidur langsung terjungkal dari tempat tidur saking kagetnya.

Tadi pagi Bang Leon sama Julian pergi buat hiking. Gue kira mau nginep juga, tapi tiba-tiba sekarang abang gue udah ada di kamar gue masih dengan jacket gunung dan ranselnya.

"Kok bisa?! Lo mending buruan kemasin barang-barang terus minggat ke luar negeri deh, Bang, sebelum dimasukin penjara sama bokapnya Jerapah mampang!"

Ketika bicara soal orangtua Julian, kita bicara juga soal keluarga elit politik yang udah tajir dari jaman Indonesia baru merdeka. Ketika nenek moyang gue masih sibuk jualan beras di pasar, keluarganya Julian udah bisa berenang di hawai di tahun segitu.

Sampai sekarang keluarga besarnya masih eksis di dunia politik. Cuma orangtuanya Julian nggak show up aja ke public, mereka cuma main di balik layar supaya privasinya nggak terganggu. Keluarga Julian sangat menjunjung tinggi privasi karena berbagai macam hal, dari track record yang nggak bersih di dunia politik, sampai dengan menghindari orang-orang pajak karena kalau disuruh buka semua jumlah harta kekayaan mereka harus bayar pajak dengan nominal yang fantastis.

Bahkan saking nggak maunya ketahuan orang pajak, keluarga Julian terkenal suka nimbun uang mereka di bank Swiss yang terkenal bisa menjaga keamanan data pemilik dana.

Dari teman-teman yang gue kenal, kalau battle harta dan kekuasaan Julian adalah pemenangnya. Kalau ada orang biasa yang macam-macam sama dia, siap-siap aja besoknya orangtuanya di mutasi kerja atau tiba-tiba dipecat dari kerjaan. Hal itu bisa dengan mudah keluarga Julian lakukan karena punya koneksi yang luas di dunia bisnis maupun politik.

Kalau butuh koneksi apa aja, biasanya kita langsung hubungin Julian karena dia bisa langsung linking dengan berbagai cara ke orang-orang penting di negeri ini.

"Buruan lo turun. Ada di bawah tuh anaknya."

Nyusahin aja nih abang satu.

Gue pun menurut. Di bawah Julian udah duduk di sofa depan TV dengan celana pendek dan sudah melepas jacket gunungnya.

Dari kejauhan gue bisa melihat betisnya kirinya berdarah dan kotor.

"Lo jatoh dari gunung harusnya ke RS, bukan ke sini," tegur gue.

"Ya elah Liv, buruan obatin gih," suruh Bang Leon.

"Iya, Liv. Sakit nih loh," sambung Julian.

Dengan langkah malas gue segera mencari kotak obat untuk mengobati luka di kaki Julian.

"Gegayaan hiking. Akhirnya malah jatoh. Emang paling bener lo itu duduk manis di rumah sambil nungguin transferan emak lo," gerutu gue ketika berhasil menemukan kotak obat di nakas dekat TV.

"Lo yang duduk di atas gue aja gimana, Liv?" goda Julian yang emang dari dulu dia ini mirip lelaki penggoda yang nggak punya harga diri.

"Gue pikir setelah turun gunung, melon lo bakalan berjatohan. Ternyata dibawa naik gunung pun melon lo setep eksis ya, bro."

Melon yang dimaksud abang gue itu, mental lonte.

Jangan heran kalau bahasa dia kayak bahasa orang nggak berpendidikan. Maklum S2 yang ada di pendidikan dia itu cuma SD, SMP. Sementara SMA sampai kuliahnya bolos terus.

"Lo obatin luka lo sendiri aja gimana?" ancam gue ke Julian.

"Jangan Liv. Plis ini sakit banget. Kulit gue kalau nggak segera diobati bisa infeksi. Biar cepet sembuh dan balik jadi betis putih mulus dan menggemaskan lagi Liv."

Precious HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang