11

8.1K 873 39
                                    

Dion tertawa melihat ekspresi gue yang tentunya nampak kaget, bingung, dan awkward.

"Aneh banget?"

Gue buru-buru mengangguk.

"Coba deh ikutan. Pasti ketagihan?"

Gue makin was-was dong. Pikiran gue semakin melalang buana. Kalau beberapa detik yang lalu gue berpikir kalau  Dion mau 'ngilmu' di Bali. Sekarang gue berpikir kalau dia adalah anggota sekte aliran sesat yang sedang melakukan rekrutmen.

Bahaya!

"Oh... enggak. Sorry."

Kemudian gue berusaha menghabiskan bakso di mangkok gue tanpa memperdulikan lagi rasanya.

Selanjutnya gue berusaha senormal mungkin menjauhinya, termasuk pada akhirnya gue menahan diri untuk terus berpura-pura tidur sepanjang perjalanannya. Dan buru-buru turun ketika Bus berhenti transit, guna untuk menghindari Dion.

Dunia gue udah cukup gila. Jadi mendingan nggak usah nambahin hal-hal gila di hidup gue.

Ketika gue sampai Bali, gue langsung menuju rumah ibu Nyana. Menempuh perjalanan setengah jam dari terminal tempat bus berhenti, gue akhirnya tiba di rumah ibu Nyana.

Seperti yang Nyana selalu bilang  di kantor. Rumahnya memiliki banyak bangunan dengan fungsi yang berbeda. Saat gue masuk melewati gapura dengan pintu kecil di depan rumahnya, gue kerkesima melihat bangunan-bangunan yang ada di sana.

Arsitektur Bali melekat kuat.  Namun makin membuat gue langsung jatuh cinta dengan rumah ini adalah rindang dan asrinya tempat ini.

Di luar pagar rumah Nyana terasa terik menyengat. Ajaibnya, saat gue menginjakkan kaki ke dalam halaman rumah, udara terasa sejuk. Angin yang berhembus juga tidak panas.

"Sini. Masuk sini Teh Oliv."

Sedari awal kedatangan gue, ibu Nyana memanggil gue dengan sebutan 'Teh'. Gue tersenyum tipis, mengingat tidak banyak orang yang memanggil gue dengan sebutan itu. Padahal almarhum nyokap gue asli sunda.

Mungkin karena kentalnya pengaruh bokap gue yang keturunan Belanda. Orang-orang yang saat ini kenal dengan keluarga gue juga lebih sering memuji gue dan Bang Leon sebagai orang keturunan Belanda.

Padahal sebetulnya, bokap gue pun bukan keturunan murni Dutch. Hanya kakek gue lah yang merupakan orang asli belanda. Sementara nenek gue? Asli sunda juga!

"Saya nggak ngerepotin kan, Bu?"

"Enggak! Ibu seneng kalau banyak penghuninya rumah ini."

Aku tersenyum lebar. "Terima kasih y-"

"Iwa!" Terdengar suara orang yang memanggil Ibu Nyana dari halaman runah.

Mata ibu Nyana melebar. Terlihat sorot mata penuh kegembiraan di matanya.

"Teh, itu  sepupu Nyana! Ayo Ibu kenalin!"

Gue buru-buru mengikuti langkah kaki ibu Nyana yang berjalan cepat sambil menyingsingkan kain yang dia jadikan rok.

"Dion?!"

"Oliv?!"

Kami saling bertukar pandang dengan wajah terkejut.

"Udah kenal?"

Gue buru-buru mengalihkan pandangan ke Ibu Nyana. "Kenal di bus tadi, Bu."

"Jadi lo temennya Nyana? Yang lo bilang temen lo juga resign itu Nyana?" Dion bertanya sambil berjalan mendekat ke arah gue dan ibu Nyana.

"Bali sempit banget ya?" gumam Dion kemudian.

"Takdir ketemu di sini. Oh iya, Teh.  Ini Dion keponakan Ibu."

Gue mengangguk mengiyakan. Setelah itu kami dibawa masuk ke dalam rumah oleh ibu Nyana. Dibawanya gue kemudian ke ruang makan di mana di meja sudah tersedia berbagai macam lauk.

Kata Nyana, masakan ibunya enak dan bikin kecanduan. Apalagi ayam betutu dan nasi bumbu Balinya.

Selesai makan, kami bertiga duduk di sejenak di meja makan. Niatnya setelah Dion pergi, gue ingin membantu ibu Nyana mencuci piring. Tapi Dion ternyata masih betah berada di meja makan sambil bercengkrama dengan ibu Nyana.

Kemudian sebuah pertanyaan muncul di kepala gue.

"Terus meditasimu gimana?" tembak gue langsung yang sudah kepalang rasa penasaran.

"Ya nggak gimana-gimana," jawabnya.

"Lo nggak bercanda?"

Sekarang ibu Nyana malah menertawakan pertanyaan gue.

"Meditasi sama Pak Ganesh?"

"Iya," nawabi Dion.

"Teh Oliv mau ikut juga boleh loh. Tapi ada syaratnya," kata ibu Nyana.

"Nggak boleh ngomong selama seminggu?"

Ibu Nyana tersenyum. "Dion udah cerita?"

Gue mengangguk.

"Dikira Teh Oliv bercandaan?"

"Saya pikir malah aliran sesat, Bu," jawab gue jujur yang kembali mendapati wajah jenaka dari Dion dan ibu Nyana.

"Makanya habis makan baso kamu langsung diem ya, Liv?" tanya Dion yang tawanya sungguh renyah.

"Astaga. Oliv. Emang muka gue kayak muka-muka anggota aliran sesat?" lanjutnya lagi masih dengan tertawa.

"Who knows? Dunia udah gila," respon gue sambil mengendikkan bahu.

"Tapi jawab serius. Program kelas meditasi yang gue ikutin ini bukan aliran sesat atau apapun itu."

"Iya, Bu?" Gue memastikan pada ibunya Nyana yang kemudian diangguki tanpa ragu.

"Oh... itu bagian dari ajaran Hindu?"

Gue betulan nggak tahu. Karena Nyana dan keluarganya itu mayoritas Hindu. Bisa jadi kan itu merupakan salah satu kegiatan keagamaan mereka. Meskipun gue juga belum pernah denger kegiatan meditasi tanpa ngomong selama seminggu.

"Ibu ke depan dulu ya, sepertinya ada tamu," pamit ibu Nyana meninggalkan gue dan Dion sendirian.

Dion kemudian menjawab pertanyaan gue. "Enggak Liv. Meditasi yang bakal gue lakuin ini nggak ada sangkut pautnya sama agama. Jadi semua agama bisa ikut."

"Aneh lagi?" tanyanya setelahnya.

"Aneh dan bikin gue heran. Lo sampai resign demi ikutan meditasi?"

"Lo pernah denger nggak kata-kata yang bunyinya, terusin kegiatan yang bikin lo tetap hidup selagi nggak ngerugiin siapapun?"

"Belum," jawab gue tanpa ragu.

"Gue lagi ngelakuin itu."

Gue nggak terlalu mengerti. Tapi yang gue tangkap dia tetap hidup karena meditasi?

"So... meditasi help you to live your life?"

"Gue jawabnya gimana ya?" Dia bertanya pada dirinya sendiri. Kemudian dia jugalah yang menjawab pertanyaan sendiri. "Meditasi itu kasih tempat untuk diri gue buat merasakan rasanya hidup. Gue merasa tenang bahkan ketika gue harus ninggalin kerjaan gue. Karena sejatinya yang gue cari sekarang itu cuma ketenangan batin."

Sedalam itu kah meditasi?

"Kalau lo dateng ke bali buat apa?"

"Hidup."

Dion menunjukkan raut wajah hidup.

"Melanjutkan hidup," lanjut gue.

"Emang yang sebelumnya kenapa?"

"Banyak orang gilanya."

"Well... tadi lo pasti sempet ngira gue orang gila juga kan?" tebaknya yang membuat gue menahan tawa.

Precious HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang