20

7K 765 62
                                    

"Aku di luar kalau butuh sesuatu," kata laki-laki yang tengah membuka tirai jendela kamar itu. Setelahnya dia betulan keluar, sementara gue terduduk di atas ranjang sambil menatap pemandangan kota di malam hari yang nampak indah dengan pancaran cahaya dari gedung-gedung di sekitarnya, serta kendaraan yang berlalu-lalang di jalanan.

Gue mengangkat kaki ke atas tempat tidur, kemudian menyelimutinya dengan selimut yang ada. Mata gue masih betah berlama-lama memandang ke arah luar jendela. Mungkin maksud Julian membuka tirai padahal jam sudah memasuki pukul sepuluh malam karena ingin gue melihat pemandangan malam dari kamar ini.

Ini sedikit membuat gue lebih baik. Sedikit membuat gue melupakan semua isi pikiran gue. Perlahan mata gue menjadi berat, namun karena haus, gue memutuskan untuk keluar mencari segelas air. Suara pintu kamar yang gue buka, ternyata membuat Julian yang ada di sofa bangkit dari posisi tidurnya.

Dia sengaja tidur di sana, lengkap dengan bantal, dan selimut yang sudah menyelimuti tubuhnya. Padahal di seberang kamar yang gue tempati ada satu kamar lagi.

"Mau apa?" tanyanya yang kedengaran seolah sedang menawarkan jasa untuk membantu gue.

Gue berlalu tanpa menjawab, dan Julian mengekor di belakang. Saat gue mengambil gelas, Julian langsung membukakan kulkas.

"Air dingin?" Dia mengeluarkan pitcher kaca berisi air. Gue sempat melihat sekilas isi kulkas yang nampak penuh itu. Gue rasa tempat ini memang sudah dia siapkan bahkan sebelum gue memutuskan untuk ikut dengannya.

Julian menuang air untuk gue. Kemudian dia menarik kursi dari kitchen bar terdekat untuk kami berdua.

"Kamu laper?"

Gue menggeleng. Namun dia kembali beranjak mendekat ke kulkas. "Kamu mau sop iga? Aku bisa panasin buat kamu."

Julian menjeda, sepertinya dia melihat-lihat makanan apa saja yang sudah disediakan oleh dayang-dayangnya.

"Ini apa ya? Sapi lada hitam? Oh ada Capcay kuah. Mau ini aja nggak? Tadi aku minta harus ada ini."

Semua yang dia sebutkan tadi adalah makanan yang menjadi comfort food gue. Waktu masih di Seattle, gue lumayan sering memasak tiga menu di atas. Gue menghela napas pelan. Mata gue kemudian mencari bekas piring kotor, namun ternyata nihil. Artinya Julian juga belum memasukkan apa pun ke dalam perutnya.

"Mau makan yang apa?" ulangnya.

"Apa aja," jawab gue akhirnya yang membuatnya mengeluarkan salah satu mangkok cukup besar.

"Panasinnya dimasukin ke microwave apa pakek kompor?" tanyanya sambil menoleh kebingungan. Julian itu hampir nggak pernah menyentuh dapur. Kegiatan paling jauh yang bisa dia lakukan hanya mencuci piring. Dan dapur adalah restricted area baginya. Itu adalah kepayahan lain dari Julian —dan mungkin empat temannya yang lain.  Gue yang tadinya ingin duduk melihat jadi mengambil alih mangkok dari tangannya. Kini bergantian Juliannya yang duduk diam menunggu, sampai akhirnya gue memberikan piring dan sendok untuknya.

Gue mendesah pelan, tak senang dengan atmosfer yang hadir. Saat-saat masih di Seattle, dulu kami selalu seperti ini, Julian yang nggak bisa memasak akan menunggu gue. Kenangan yang ingin gue buang jauh-jauh karena gue pikir dulu, kami bisa menjalani hari-hari seperti yang kami jalanin di Seattle untuk waktu yang lama.

Gue yang dulu memang masih terlalu muda, dan naif.

Di ruangan ini kemudian hanya terdengar suara sendok yang beradu dengan piring berserta isinya. Sampai selesai Julian memilih untuk diam, seakan mencoba sebisa mungkin tidak menganggu gue. Setelah gue meletakkan sendok gue, Julian mengambil alih alat makan gue dan memasukkannya ke dalam dishwasher, lalu sosoknya kembali duduk di sebelah gue.

Precious HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang