21

6.8K 674 47
                                    

Hanya dalam beberapa jam, Julian membawa gue untuk bertemu Leon. Kami menunggu di private room salah satu restoran dekat kantor Leon. Gue dan Julian tiba lebih dulu, wajah Julian nampak santai, sementara gue berusaha keras menyembunyikan perasaan gue. Seperti kemarin-kemarin, dia nggak banyak bertanya kenapa gue ingin menemui Leon.

Leon tiba ketika jam hampir menunjukkan pukul satu. Wajahnya mengeras, matanya kelihatan tidak suka. Dia duduk di kursi tepat di depan gue. Atmosfer seketikan menjadi dingin, tapi Julian malah menuangkan teh gingseng  ke cangkir gue yang memang sedari tadi masih kosong.

“Ada banyak rasa penasaran di kepala gue yang sampai sekarang belum terjawab, dan pertanyaan-pertanyaan itu nggak bisa gue jawab sendiri.” Gue memulai mengutarakan perlahan tujuan gue.

Leon mulai mengalihkan pandangannya ke arah gue. Matanya menatap gue dengan tajam seperti kemarin malam.

“Gue juga udah banyak berpikir, tentang perasaan lo. Lo berhak marah ke gue karena gue yakin nggak mudah menerima gue ada di dekat keluarga lo.”

“Akhirnya lo ngerti perasaan gue?” tanyanya diiringi kekehan sinis.

Mata gue mulai berair. Gue menjeda kalimat gue dengan membuang pandangan dari Leon. Beberapa detik kemudian gue mencoba kembali bicara, “Sepanjang gue hidup, gue nggak pernah menaruh rasa curiga apa pun. Semuanya berjalan normal, gue merasa nggak ada yang salah. Dan-“

“Mama.” Kata ‘mama’ rasanya sangat berat untuk gue ucapkan. “Mama nggak pernah nggak sayang sama gue. Gue nggak tahu kenapa. Tapi gue yakin Mama nggak pernah memberi gue kasih sayang palsu. Yang gue tahu keluarga gue sempurna. Meskipun lo nggak pernah peduli sama gue, gue masih menganggap itu hal normal karena itu sifat lo yang memang nggak pernah peduli sama orang lain. Tapi sekarang gue melihatnya berbeda setelah tahu kebenarannya.”

Leon tersenyum sinis sambil menatap gue. Gue di tempat duduk mulai nggak sanggup membendung air mata. “Maaf karena gue merusak keluarga lo. Maaf karena gue harus lahir di tengah-tengah kalian. Kalau gue jadi lo, gue juga akan sangat marah. Sekali lagi maaf. Gue Cuma bisa bilang ini karena gue nggak bisa lakuin apa-apa lagi.”

“Ada!” seru Leon. Matanya nyalang menatap gue. “Ada! I told you before, Liv. Balik dan pura-pura lo nggak tahu semua ini. Semudah itu tapi lo yang ngebuat sekarang semua orang tahu siapa lo sebenernya. Dengan lo diam aja, lo bisa bantu gue nyelamatin perusahan Papa, dan dengan diam aja semua orang nggak akan tahu siapa lo sebenernyanya. Lo masih bisa hidup denga nyaman. Tapi lo cuma mikirin diri lo sendiri dan perasaan lo yang paling tersakiti lo itu.”

Kini Leon tertawa sarkas. “Sekarang lo tahu kan, kalau dari pada Julian, ada masalah yang lebih besar di hidup lo. Semua yang ada di hidup lo itu selalu lo bikin ribet. Pada lo ngajak semua orang buat hancur gara-gara lo.”

Gue nggak bisa membela diri. Tanpa gue sadari gue jadi menundukkan wajah gue. Gue menggenggam tangan gue erat di bawah meja. Julian nggak membiarkan gue menggegam tangan gue sendirian. Gue melihat satu tangannya mengusap tangan gue yang tengah menggengam erat. Gue menolehnya sekilas, namun dia seolah berpura-pura nggak melihat gue dengan memandang ke arah cangkirnya.

“Kalau yang di deket gue bukan Julian, apa lo masih nerima gue setelah Mama meninggal? Lo mau gue tetap jadi adik lo karena Julian kan? Gimana kalau laki-laki itu bukan Julian? Apa lo masih nerima gue berkeliaran di deket lo?” tanya gue dengan lirih.

Gue kemudian melanjutkan dengan penjelasan panjang. “Nggak mudah. Gimana bisa gue pura-pura nggak tahu seperti yang lo suruh, sementara keluarga ibu kandung gue aja nggak mampu buat nguburin ibu mereka? Gue nggak bisa ninggalin mereka begitu aja. Meskipun gue nggak kenal ibu kandung gue, membayangkan selama ini ternyata ada yang nungguin gue buat datang ke dia tapi baru datang di hari-hari terakhirnya bikin gue sesak. Gue sedih, marah, kecewa, bingung, dalam satu hari.

Precious HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang