14

7.8K 840 60
                                    

"Liv. Julian itu orangnya tinggi banget ya?" Nyana bertanya.

Gue yang lagi bantuin Nyana unpacking kopernya langsung menatapnya dengan was-was. Perasaan waspada kembali datang begitu saja, sehingga menciptakan debaran menyakitkan yang membuat gue resah.

"Rambutnya hitam kecoklatan?" Gue memastikan.

Rambut Julian nggak pernah dicat, hanya saja hitamnya memang unik karena nggak hitam pekat, namun lebih ke coklatan.

"BENERAN? ITU JULIAN?" pekik Nyana.

"Lo ketemu di mana?" tanya gue mencoba tenang meskipun sebetulnya gue ingin sekali mengusap dada yang berdebar tak nyaman.

"Tiga hari yang lalu dia ke kantor! Dia dateng sama temennya. Temennya sombong banget, ditawarin kopi cuma dilihatin doang, diajak bicara cuma ngangguk doang. Temen lo emang pada aneh gitu."

Ah... kalau yang itu pasti Radhit.

"Terus gimana Na?" selidik gue dengan nada setenang mungkin.

"Nyariin lo, Liv. Dia sempet di bawa ke ruangan Pak Lukman juga loh. Ngobrol lama banget. Terus sebelum dia dateng. Kata orang-orang kantor, di lobby gedung, tiap hari ada beberapa orang-orang aneh yang ngamatin orang dateng. Dan tahu nggak lucunya? Banyak yang ngerasa terganggu, tapi nggak diusir sama satpam, Liv! Lagi... katanya ada juga yang lihat orang-orang aneh kayak mereka di parkiran, halte dan stasiun terdekat."

Gue mengangguki penjelasannya Nyana. Gue nggak kaget kalau ada orang-orang yang nyariin gue. Dan besar kemungkinan itu orang-orangnya Julian. Kalau Bang Leon, entah lah mungkin dia diem aja karena udah ada Julian yang nyariin gue.

Jadi kepikiran, kalau Mama sama Papa masih ada, pasti mereka bakalan nyariin gue. Atau mungkin gue nggak perlu kabur, gue tinggal ngadu aja sama mereka buat bawa gue pergi ke tempat yang nggak ada Juliannya.

Meskipun, orangtua gue levelnya dibawah keluarga Julian, tapi gue yakin mereka pasti willing to do everything buat memastikan kalau hidup gue baik-baik aja. Sayangnya, sekarang gue harus sendirian mengalami teror ini.

Namun seandainya orangtua gue masih ada, apa mungkin Julian masih seobses ini? Ataukah dia bisa seobses ini karena merasa gue cuma anak nggak punya orangtua, nggak diperhatikan kakaknya, sehingga dia semakin leluasa berbuat sesuka hati? Dari dulu memang Julian itu selalu berbuat sesuka hatinya. Tapi dulu waktu masih sama dia, bodohnya gue merasa baik-baik aja. Sifat itu memang jadi minusnya dia, tapi gue masih bisa melihat sisi positifnya di mana dia selalu jadi orang yang selfless dalam berteman.

Kalau lihat interaksi dia dalam lingkaran setannya itu, Julian sering kali dimanfaatin temen-temennya dari disuruh bayar-bayar, booking-booking, minta ini itu, bahkan jadi samsak lelucon basi teman-temannya. Julian nggak pernah komplain secara serius, mengeluh pun jarang. Makanya meskipun brengsek, Sean, Brin, Radhit, sama Darwin masih mau temenan sama Melon Brengsek mereka, karena kalau Julian ditinggalin dan pergi cari teman baru, mereka takut keroyalan Julian ini bakalan disalahgunakan ke hal-hal yang negatif sama teman barunya nanti.

Andai kata gue nggak pernah pacaran sama Julian, dan cukup jadi temannya aja, gue bakal mengingat Julian sebagai orang yang baik. Karena nyatanya dulu meskipun dia suka berbuat sesuka hatinya, dia masih dapat diingat sebagai orang baik bagi teman-temannya. Dan gara-gara pacaran sama gue, sifatnya selalu berbuat sesuka hatinya itu berkembang jadi hal yang mengerikan, bahkan bercabang membuat sifat negatif lainnya di dalam dirinya makin kentara, seperti sifat egois, keras kepala, obses, dan kejam ke orang yang dekat sama gue.

"Gue sampai nggak berani ngabarin lo, Liv. Kata lo kan mantan gila lo itu canggih, bisa ngapain aja. Gue jadi parno kalau tiba-tiba HP orang satu kantor dia sadap buat nyariin elu!"

Precious HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang