28

6.8K 712 49
                                    

Hari ini gue punya agenda ke Ubud. Gue berencana menghabiskan seharian di sana. Untuk itu, gue  mendaftar dua kelas workshop sekaligus. Pagi hari gue pergi untuk mengikuti wood carving atau kelas membuat seni pahatan di media kayu, setelahnya pergi ke kelas jewelry making.

"Aku didaftarin juga?" tanya Julian polos sebelum kami berangkat.

Akan sangat lucu kalau Julian hanya menunggui gue. Meskipun gue yakin dia akan bersabar, tapi wajah diamnya yang entah kenapa terkadang patut untuk dikasihani itu sangat menganggu.

"Aku jarang banget ke Ubud," cerita Julian sambil mengemudikan mobilnya.

"Udah kelihatan dari wajahmu sih. Canggu banget."

"Kan kalau di Canggu banyak temennya, Liv."

"Temen hepi-hepi ya, Jul?" sindir gue halus.

"Aku nggak pernah aneh-aneh kok selama nggak ada kamu. Tanya aja sama temen-temen kita yang stay di Canggu. Lagian kalau di Canggu aku nggak laku."

Gue terkekeh pelan. Cowok spek Julian nggak mungkin nggak dilirik.

"Seriusan. Di sana banyak yang jadi bule hunter, terus orang bule juga tipenya yang eksotis. Kulit tahu sutra kayak aku nggak laku, Liv."

Gue jadi terbahak. Tahu sutra katanya?

"Sejak kapan kamu jadi tahu sutra? Bukannya kamu melon?" tanya gue menatapnya konyol.

Julian tersenyum lebar. "Ketawa gitu terus, dong. Aku kangen lihatnya."

Tawa gue lenyap seketika.

"Darwin itu merusak citra buah melon. Padahal melon enak. Tapi malah dia bercandain jadi akronim mental lonte," dengusnya.

"Lagian kamu juga diem aja kalau sama mereka. Kalau kamu marahin mereka, mereka nggak bakal panggil kamu melon."

Itu lah Julian. Dia sering nggak memperdulikan apapun selagi itu nggak dia anggap menganggu. Bahkan candaan teman-temannya yang kasar itu pun dia nggak ambil pusing. Julian memang keras, tapi pada teman-temannya dia bisa nampak seperti anjing penurut yang bisa diajak bermain. Tapi hati-hati, kalau marah semua bisa kena getahnya.

Gue tiba di kelas pertama. Julian sedikit kaget dengan workshop yang dia ikuti.

"Kamu mau belajar bikin pintu rumah?"

"Hah?"

"Ini. Carving kayak orang Jepara."

"Emang yang bisa carving cuma orang Jepara?" protes gue.

Kelas di mulai.

Dan baru juga setengah jalan, tangan gue mulai kebas karena nggak terbiasa menggunakan alat-alat memahat. Terlebih lagi, gue sangat pelan dan berhati-hati dalam menggunakan alat carving. Hasil pahatan gue memang halus, tapi tangan gue sudah ingin menyerah duluan. Sementara Julian yang lebih bertenaga, dan tentunya lebih berani dalam menggunakan alat carving-nya lebih cepat selesai.

Akhirnya pekerjaan gue di selesaikan Julian, dengan hasil separuh halus, separuh sedikit tidak rapi. Gue menatap hasil pahatan gue yang separuhnya diselesaikan oleh Julian. Gue menahan tawa karena perbedaannya sangat kontras

"Kasar banget ya pahatanku?"

"No. I kinda like the result."

"Kamu suka? Hem. Kayak aku bisa jadi seniman wood carving yang akan menyaingi orang Jepara."

Gue terkekeh pelan.

Setelah pergi menyusuri jalanan Ubud, menikmati cuaca yang sedikit mendung, mengisi perut, dan memanjakan lidah, sore sebelum sebelum kembali ke villa Julian yang ada di daerah Kuta, kami pergi ke satu workshop lagi. Di sekitar Ubud ada banyak sekali kelas jewelry making dengan bahan perak. Gue nggak ingin melewatkannya.

Ketika datang kami langsung dijelaskan bagaimana runtutan pembuatan perhiasan, kami juga bisa memilih perhiasan apa yang ingin kami buat. Namun kali ini gue berakhir hanya melihat Julian melakukan semuanya.

"It's too dangerous, Liv," bisiknya sebelum kami mulai memanaskan perak yang akan kami gunakan.

Ya, benar. Terlalu berbahaya apalagi kali ini selain berhubungan dengan palu untuk memipihkan perhiasan, sebelumnya perak harus dipanaskan hingga menjadi bentuk cari dan dicetak.

Julian memberikan gelang yang sudah selesai dia buat dan dibersihkan. Tadinya gue ingin membuat sebuah gelang pipih dengan model bergelombang sederhana. Gelang itu berhasil diwujudkan oleh Julian.

"Makasih," jawab gue menerima gelang perak tersebut

Ketika memandanginya di telapak tangan gue, Julian tiba-tiba menaruh cincin buatannya. Gue menatapnya dalam diam.

"Biar serasi," terangnya.

Cincin tersebut memiliki bentuk yang sama seperti gelang gue. Gue termangu menatap dua perhiasan yang ada di tangan gue. Kapan lagi gue dibuatkan perhiasan oleh Julian? Rasanya seperti nggak nyata, karena dulu biasanya dia akan langsung memilih di toko perhiasan atau dari katalog luxury brand.

"Kenapa? Jelek ya? Emang kurang smooth sih."

"Ini udah rapi."

Kemudian gue mengembalikan cincin buatannya.

"It's yours. Itu size kamu, coba deh." Seolah bukan hal yang serius, Julian memasangkan cincin itu ke jari manis tangan kiri gue. "Pas, kan?"

Gue percaya kalau dia memang masih hafal semua size barang apa pum yang gue pakai. Tapi rasanya aneh aja melihatnya memasangkan cincin untuk gue. Gue hendak melepasnya, tapi tangan Julian menahannya.

"Kenapa dilepas?"

"I'm not supposed to wear this."

Julian memasang wajah Julian bingung. Gue buru-buru beralasan. "Keep it, Jul. Ini kan buatan kamu. Kamu baru pertama bikin ini kan? Masa kamu nggak bawa souvenirnya?"

Wajah Julian nampak tak suka. "Apakah ini hal yang besar buat kamu?" Nadanya serius.

"Hah? Hal besar apa?" Gue pura-pura nggak paham. "Ayo, kita pergi. Katanya kamu mau ngajakin ke restoran rekomendasi Sean?"

Sepanjang makan malam dan perjalan pulang, wajah Julian kelihatan nggak menyenangkan. Jelas dia kecewa, dan mungkin juga merasa tertolak. Tapi dia juga harus tahu batasan. Gue nggak ingin melonggarkan batas karena sekali dia diberi kelonggaran, yang gue takutkan adalah dia semakin meminta lebih hingga kembali mendesak gue.

Gue nggak ingin dia kembali seperti dulu, dengan obsesinya yang membuat gue kelimpungan menghadapinya. Dia terlalu gigih, dan ketika kegigihannya bercampur dengan obsesi serta ditambah sifat keras kepalanya, Julian akan kembali menjadi menyeramkan. Gue nggak ingin melihat sisi Julian yang seperti itu lagi.

"Jul?" panggil gue sebelum masuk ke dalam kamar. Dia menatap gue sayu. "At this point. We can still be  friend. We're good. I don't want you break this line."

Julian tersenyum paksa. Pahit yang harus dia telan. "You're right, Liv. Maaf karena aku terkadang nggak hanya ingin kamu di deketku. Makasih karena udah ngingetin aku.  Aku masih boleh ada di deket kamu?"

Gue mengembangkan senyum lembut. Gue harap dia benar-benar bisa mengerti. "Tentu."

"Oliv," panggilnya lagi ketika gue hampir menutup pintu. Gue menunggunya bicara. "Apa pun hubungan kita. Perasaanku ke kamu nggak akan berubah. Suatu hari nanti kalau kamu berubah pikiran, atau perasaanmu mulai jalan ke arah yang sama kayak aku. Tolong kasih tahu aku."

Matanya begitu dalam menatap gue. Tubuh gue rasanya seperti dipaku oleh pandangan matanya.

"Good night, Oliv," katanya kemudian berlalu menuju kamarnya.

Gue jarang melihat punggung Julian karena dia selalu ada di depan gue, dan di samping gue. Namun kali ini gue merasa aneh dengan melihatnya melangkah menjauh meninggalkan gue yang masih berada di ambang pintu. Ini hal yang biasa namun nggak biasa bagi gue, karena Julian nggak pernah pergi sebelum gue benar-benar nggak terlihat dari pandangannya.

Rasanya sungguh aneh.

Tapi mungkin, ada satu hari di mana gue akan melihat punggung itu pergi jauh dari gue. Mungkin kan?

***

Precious HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang