17

8.3K 794 90
                                    

Dia di sini.

Dia ada di sini.

Mata gue yang menatapnya perlahan dari bawah akhirnya bertemu dengan matanya. Sejak gue melihat alas kaki seseorang di depan gue itu, gue yakin kalau pemiliknya adalah,

Julian.

Nggak akan salah. Itu Julian.

Gue nggak bergerak sejengkal pun. Mata gue menatapnya dengan perasaan yang terasa bergemuruh ingin meletupkan, dan menumpahkan apa yang sedang gue pikul. Ingin rasanya gue melangkah ke arahnya lalu mendorongnya pergi. Meskipun begitu, fisik gue tenaganya seolah terkuras. Perasan-perasan yang tadi gue biarkan terperangkap lebih lama.

Mata gue yang semula menatap ke arah Julian, tak lama langsung gue alihkan. Gue kembali menunduk, tak ingin memikirkan atau bahkan menilai bagaimana caranya menatap gue barusan. Gue tertunduk sambil kembali berjalan lurus untuk melewatinya. Tepat saat tubuh kami bersisian, kelingkingnya dengan lembut menelusup ke kelingking gue, seakan meminta gue nggak kembali berjalan.

Kekuatannya menahan gue hanya sebatas jari kelingking yang dia kaitkan. Namun efeknya membuat kaki gue berbehenti seketika seakan ada palang yang tengah menghadang langkah gue. Gue bisa saja kembali berjalan, tapi tubuh gue kembali tidak bergerak.

Berikutnya langkahnya terdengar, dia kembali memposisikan diri di depan gue.

"Ayo," katanya pelan.

Gue melepaskan kelingkingnya, kemudian berjalan begitu saja hingga gue menemui satu kursi panjang di lorong rumah sakit yang sedang kosong. Julian mengikuti di belakang, kemudian dia duduk di samping gue.

"Liv?" panggilnya.

Suaranya yang memanggil nama gue membuat gue gemetar. Not at this moment, Jul. Gue benci mengingat kalau Julian selalu ada di moment seperti ini. Di sebelah gue, dan menemani gue seperti ini.

Tapi enggak dengan sekarang. Gue nggak mau dia ada di sini.

Waktu Papa gue meninggal, Julian tinggal dan menemani gue semalaman. Dan ketika Mama —yang ternyata bukan mama gue—  meninggal, Julian menemani gue bahkan selama tiga hari berturut-turut dia ada di dekat gue, gue selalu ada dalam jarak panjangnya dan dia nggak pernah meninggalkan gue. Di waktu-waktu gue sedang berduka, Julian adalah orang yang selalu memastikan kalau gue terurus. Seringkali dalam keadaan berduka, orang-orang terdekat sibuk dengan perasaan dukanya sendiri sehingga tak jarang jadi kurang memperhatikan satu sama lain. Dan Julian ada di situ saat itu hanya buat gue seorang.

Gue ingin membencinya setengah mati karena dia membuang gue demi kesenangannya, tapi nyatanya gue nggak akan bisa benci dia, karena terlalu vital dalam hidup gue.

"Jangan bicara apa-apa," balas gue datar dengan mata menatap lurus namun kosong.

Julian benar-benar diam setelahnya. Cukup lama, suara kaki yang tengah berlari terdengar mendekat.

"Kak!"

Gue nggak suka ini. Jantung gue berdebar kencang, gue gelisah tiba-tiba padahal gue belum mengetahui apa yang akan di sampaikan anak perempuan itu.

Matanya bercucuran air mata saat dia berhenti. Detik itu juga gue berlari menyusuri koridor rumah sakit menuju kamar ibu kandung gue. Saat gue tiba, anak yang paling kecil sudah dipeluk ayahnya, dokter dan suster yang ada di sana kemudian mengucapkan belasungkawa.

Terjadi lagi.

Gue hari ini kembali kehilangan. Namun kali ini rasanya berbeda dari dua yang sebelumnya. Gue merasa getir. Kalau saat kehilangan Papa dan Mama gue menangis dan merengek karena nggak ingin kehilangan. Kesedihan yang gue rasakan saat ini rasanya berbeda, seperti ada sesuatu yang menghalangi gue untuk benar-benar bersedih, dan itu membuatnya menjadi perih.

Precious HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang