18

7.1K 779 49
                                    

"Liv, lo yakin mau tinggal di sini?" Nyana berbisik sambil menarik gue ke arah dapur.

"Gue mau di sini dulu. Gue tadi udah minta tolong temen gue bookingin hotel buat lo, Na."

Nyana mengerucutkan bibir. "Gue di sini aja, Liv. Apalagi itu pulu-pulu di sini juga! Kan gue khawatir, Liv."

Pulu-pulu? Julian? Sejenak gue tertawa kecil. Pulu-pulu masih lebih baik. Dia itu melon alias mental lonte kalau kata temen-temennya, Na.

"Nah! Ketawa gitu Liv!" pekik Nyana girang.

"Makasih ya, Na. Udah ikut gue balik ke sini lagi. Tapi sementara lo di hotel dulu aja, di sini sempit, Na. Lo lihat aja, kakaknya ibu gue di sini cuma punya tiga kamar kecil."

Nyana melengkungkan bibirnya ke bawah. Dia menuruti apa kata gue. Nyana pergi cukup larut, sekitar pukul sepuluh malam. Dan seperginya Nyana, gue langsung bergegas membersihkan diri. Sekeluarnya gue dari kamar mandi Julian ada di depan pintu dengan wajah yang gelisah.

"Liv, aku pamit sebentar ya?"

"Terserah," balas gue datar.

"Gue nggak bisa pakai kloset jongkok," adunya ke gue yang membuat gue mengeryitkan mata. Sebuah TMI yang nggak penting dan sangat menunjukkan manjanya laki-laki satu ini.

Gue nggak menjawabnya lagi.

"Aku pergi sebentar ya. Mobilku udah nunggu. Sebentar aja," pamitnya ulang dengan nada cepat lalu dia nampak berjalan cepat meninggalkan gue.

Seperginya Julian, Bita dan Sintia yang adalah adik baru gue? Seharusnya begitu kan? Kami lahir dari rahim yang sama, meskipun papa kami berbeda. Dua orang gadis itu nampak menghampiri gue.

"Kak Oliv. Makan yuk? Tapi seadanya," ajak Sintia.

Gue hanya mengangguk, tapi sebetulnya tak benar-benar mengiyakan ajakan mereka.

"Kak Juliannya, tadi kebelet buang air besar, udah selesai, Kak?" tanya Bita.

Sebuah pertanyaan yang membuat gue mengerutkan dahi. Payah sekali memang, orang itu. Gue juga nggak pernah pakai closet jongkok, tapi gue nggak sepayah Julian. Memalukan.

"Nggak tahu. Dia pergi."

"Nggak balik ya, Kak? Kayaknya dia nggak nyaman di sini. Maklum rumahnya sempit. Kak Oliv, kalau balik dulu ke rumahnya juga nggak apa-apa."

Gue melirik Sintia sekilas sebelum membuang pandangan dan tersenyum kecut. "Aku nggak punya rumah."

Itu adalah kenyataan yang harus gue terima sekarang. Gue nggak punya rumah, atau lebih tepatnya udah nggak punya rumah dari dulu tapi gue baru menyadarinya hari ini. Mulai hari gue betulan luntang-lantung girl yang homeless.

Sejak Mama, yang bukan mama kandung gue meninggal. Gue memang merasa sedikit kesepian. Tapi dulu ada Julian, meskipun gue sendirian, dan nggak dipedulikan kakak gue, gue baik-baik aja. Kehilangan yang gue rasakan kali ini tidak terlalu menyedihkan dari yang sebelumnya, kali ini gue lebih banyak merasa kecewa dan ada sudut di hati gue yang merasa tidak terima dengan apa yang terjadi saat ini.

Perasaan tidak terima karena gue merasa butuh dijelaskan lebih jauh tentang bagaimana gue bisa dipisahkan dengan ibu kandung gue. Gue juga belum berkenalan lebih dalam dengan sosok ibu kandung gue. Gue merasa ditinggalkan dengan berbagai kebingungan. Detik ketika gue tahu Bu Dewi adalah ibu kandung gue, terbesit dalam pikiran gue bahwa gue nggak sendirian, gue masih punya ibu, gue bisa mengenal sosok Bu Dewi, dan gue... Bisa jadi gue kembali mendapatkan kasih sayang yang harusnya menjadi hak gue selama ini.

Kerinduan dari kasih sayang orangtua sebetulnya memang gue dambakan. Gue ingin kembali disayangi seperti ketika Papa dan Mama gue masih ada. Kemarin, harapan sedikit tumbuh, sebelum akhirnya dicabut dan menyisakan harapan kosong. Tentu saja rasanya kecewa.

Precious HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang