19

6.4K 781 54
                                    

Dua hari gue tinggal di rumah milik kakak Bu Dewi, dan hari ini Sintia, Bita, serta ayahnya kembali ke Bali. Mereka kembali ke Bali bersama Nyana. Nyana sebetulnya ingin tinggal lebih lama, tapi karena nggak tega melihat keluarga Bu Dewi kebingungan di bandara dan pesawat, Nyana kemudian mengajukan diri untuk pulang bersama mereka.

"Heh! Pulu-pulu!" seru Nyana di depan Julian. Bentakan Nyana bergetar, wajahnya ketakutan namun dia paksakan untuk berteriak di depan Julian.

"Siapa?" tanya Julian datar.

"Ya elo! Gue tahu lo bisa ngapain aja termasuk ngehancurin hidup orang! Tapi awas ya lo bikin temen gue banyak pikiran! Kalau gue denger Oliv sedih gara-gara lo. Gue nggak sungkan-sungkat pergi ke dukun buat nyantet elu karena gue tahu lo nggak bisa disentuh hukum!"

Gue membiarkan Nyana mengancam Julian sepuasnya. Sementara Julian hanya terkekeh pelan nggak mengambil hati perkataan Nyana. Kalau hanya ancaman seperti itu memang nggak bakal mempan.

"Liv. Please take care," ujarnya ke gue. Kemudian dia menarik gue menjauh dari Julian dan berbisik, "Nanti kalau ada kesempatan kabur, ke mana pun jangan kabarin gue. Tapi tulis gue surat atau kirim gue email atau apapun anonim. Oke?"

Gue tersenyum tipis menanggapi Nyana.

"Gue bakalan sering berdo'a buat ketenangan lo, Liv."

"Makasih, Na. Oh iya, gue boleh titip sesuatu nggak?"

"Apa?"

Gue memelankan nada bicara, "di koper gue ada uang cash. Pertama, jangan kaget sama nominalnya. Kedua, gue mau minta tolong. Uang itu lo kasih ke setengah ke ayahnya Sintia sama Bita, bilang aja buat bantu-bantu mereka. Terus setengah lagi, tolong masukin ke bank buat Sintia ya? Kalau dia belum punya rekening bank, suruh dia bikin kalau perlu lo temenin deh."

"Seriusan? Baik bener lo?"

Gue berdecak pelan.

"Sayang adek ya, Liv?" canda Nyana yang nggak gue tanggapi. Tapi entah kenapa rasanya menyenangkan bisa membantu mereka. Gue nggak ingin terbebani dengan status sebagai 'kakak', tapi kenyataannya gue adalah seorang kakak. Yah, setidaknya, mereka nggak ngerasain punya kakak seperti Leon yang ternyata selama ini membiarkan gue ada di dekatnya karena ingin memanfaatkan kebaikan Julian.

Seperginya Nyana gue sejenak duduk di kursi terdekat. Gue memandangi ponsel di tangan gue yang belum gue buka lagi sejak dua jam yang lalu. Terakhir ada beberapa nama yang muncul di notifikasi. Julian ada di sebelah gue duduk sambil memanjangkan kakinya. Sedari kemarin, jika ada kesempatan dia akan menyandarkan tubuhnya ke sandaran dan membiarkan kakinya yang panjang itu tidak tertekuk.

Mungkin badannya sakit karena tempatnya tidur dua malam kemarin selain sempit, kakinya juga terpaksa dia tekuk sepanjang malam.

Mata gue mengamati orang-orang yang berlalu-lalang. Mereka sibuk dengan urusan mereka. Ada yang hendak pergi, ada pula yang baru saja tiba. Ada yang menjemput, ada juga yang mengantar. Ada yang tertawa riang, namun ada juga yang nampak muram.

Selalu ada kebalikan dari segala sesuatu bukan?

Gue tersenyum kecut, kemudian menatap Julian yang nampak mengamati hiruk-pikuk bandara dengan ekspresi datarnya. Desahan kecil keluar dari bibir gue saat menatapnya. Gue yakin Julian nggak akan mau beranjak dari sisi gue. Ke mana pun setelah ini dia akan mengekor.

Padahal gue nggak punya tempat untuk dituju. Memikirkan tempat tujuan, membuat hati gue terasa kosong. Saking kosongnya, hanya ada angin hampa di sana. Kalau digambarkan, mungkin hati gue saat ini adalah ruangan yang luas, tak berisi, dan gelap. Kosong. Nggak ada isinya.

Precious HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang