15

8.8K 762 63
                                    

"Liv. Baju lo mana? Mau disetrikain nih."

"Dimasukin ke tas laundry dulu apa langsung dicampur?" tanya gue balik ke Nyana saat gue sedang membawa cucian kering gue ke dalam kamar.

Sebetulnya inginnya gue bawa ke laundry terdekat aja, tapi beberapa kali ibunya Nyana bilang buat mengumpulkan baju yang selesai dicuci untuk disetrikakan. Karena sedang menumpang, gue enggak menolak jadi gue ikuti saja permintaan ibunya Nyana.

Setiap tiga hari sekali akan ada seorang anak perempuan yang mengambil baju-baju kami. Ibu Nyana langganan menyetrikakan bajunya. Katanya dulu ibu-ibu yang menyetika pakaian akan datang ke rumah, tapi sekarang anaknya yang datang mengambil baju karena ibunya kakinya sedang sakit.

"Liv, hari ini temenin gue anter baju setrikaan ya?"

"Nggak diambil emang?"

Hampir tiga minggu gue di sini, dan baju setrikaan selalu diantar-jemput.

"Sekalian jenguk ibu yang nyetrika. Kata nyokap gue, dia sakit."

"Sakit kenapa masih nerima setrikaan?" tanya gue lagi.

Nyana mendesah pelan. "Gimana ya, Liv. Nyokap gue tuh sebenernya cuma bantu keluarga Bu Dewi aja. Biar ada penghasilan. Soalnya anaknya satu masih sekolah, yang satu kuliah, suaminya cuma tukang kebun di SD dekat sini."

Gue mengangguk menanggapi sambil melihat Dion yang baru keluar dari kamarnya membawa baju-bajunya yang akan disetrika.

"Anaknya Bu Dewi yang paling besar dulu sering dibawa ke kemari nemenin nyetrika itu ya, Na? Sekarang udah kuliah?"

Dion, baru pulang hari ini dari acara meditasinya kemarin. Gue nggak berniat bertanya-tanya karena tak ingin terkesan rude karena banyak mempertanyakan apa yang Dion lakukan. Waktu melihatnya kembali dia wajahnya nampak segar, jauh lebih segar dari pertama gue melihatnya. Dia juga makin terlihat tenang dan nggak bisa gue pungkiri ada sesuatu yang membuatnya terlihat menyejukkan. Waktu pertama bertemu, Dion memang sudah menunjukkan bahwa dia memiliki sisi tenang di dalam dirinya, namun karena terlalu banyak berinteraksi dengannya beberapa minggu yang lalu, sisi tenangnya langsung tertutup kelakuannya yang nampak aneh bagi gue, sifat konyol dan homorisnya. Mungkin meditasi membuatnya jadi balance, sehingga gue bisa melihat kembali sisi tenang dari Dion —Tidak bohong kalau bonusnya adalah, dia yang kelihatan menyejukkan.

"Iya. Udah kuliah sekarang. Baru dapet satu semester. Nyokap gue belum cerita?"

"Belum. Udah tua juga ya gue. Perasaan dulu dia masih SD."

"Nggak, ah! Dua puluh enam tahun itu masih muda tahu! Ini tuh umur-umur yang pas buat ke mana-mana nggak perlu izin orangtua harusnya," sanggah Nyana.

"Harusnya. Tapi kalau lo wajih lapor 24 jam ya, Na?" sindir gue.

Nyana mengangguk. "Iya. Padahal umur segini, kalau udah dapet kerja mapan, penghasilan stabil, dan masih jomblo... bisalah kembali memulai masa muda. Senin sampai Jum'at jadi budak korporat, Sabtu Minggu kita party sampai masuk angin," ujar Nyana panjang yang sebetulnya itu semua ada hal-hal yang dia inginkan sewaktu masih di Jakarta.

Tapi apa daya, baru jam empat sore ibunya sudah membombardir Nyana dengan berbagai pertanyaan  seperti, 'Sudah mau pulang?', 'Pulang hati-hati jangan lupa makan ya?', kemudian apabila sedang pergi bersama teman, 'Na, pergi sama XX betulan?', 'Udah sampai mana?', 'Pulang jam berapa?', dan berbagai pertanyaan lain khas orangtua.

If I were her I would be really happy. Karena dulu orangtua gue selalu begitu. Biasanya mereka bertanya karena ingin memastikan apakah gue baik-baik saja atau tidak. Kalau orangtua gue belum bertanya, gue sendiri yang akan mengabari mereka.

Precious HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang