16

8.1K 894 132
                                    

First of all, maaf bikin kalian nunggu lama.

***






Sore tenang yang tengah gue nikmati nggak berlangsung lama. Nyana berlari dari arah gerbang rumahnya dengan sorot mana penuh kekhawatiran bercampur mimiknya yang panik.

"LIV!" serunya keras yang entah mengapa membuat jantung gue ikut berpacu panik.
Pikiran gue tentu melayang ke satu nama. Julian.

Gue nggak menjawab, melainkan menamati wajah Nyana dengan dada gue yang berdetak tak nyaman, dengan sensasi panik yang gue coba untuk gue tutupi.

"Lo harus ikut gue!" Nyana langsung menarik tangan gue kasar, membawa gue keluar dari rumahnya dan memaksa gue untuk naik ke atas motornya.

Gue diam namun risau karena nggak mengerti apa yang ingin diberitakan oleh Nyana. Nyana membawa motornya dengan sangat brutal, mencoba menerabas setiap kendaraan yang menghalanginya. Dari spion motornya, wajahnya masih sama paniknya seperti tadi.

Gue segera turun dari motor Nyana saat dia menghentikan motor di depan rumah Bu Dewi. Belum sempat bertanya, Nyana kembali menarik gue masuk ke dalam rumah Bu Dewi. Gue dibawa ke dalam kamar yang terasa panas dan pengap, ditambah lagi di kamar tersebut ada Bu Dewi dan keluarganya, serta ibunya Nyana.

Semua menatap ke arah gue saat Nyana berhasil membawa gue ke dalam kamar sempit ini.

What's wrong?

Gue membalas tatapan mereka dengan pandangan penuh tanda tanya.

Seolah memberikan jalan, semua tiba-tiba menyingkir dari sisi Bu Dewi yang terbaring di atas tempat tidur.

Plis! Ini nggak nyaman.

Bu Dewi menatap gue dalam. Kemudian, dari samping putri bungsu Bu Dewi memberikan sebuah foto usang dengan keadaan terbalik ke tangan gue.

"Apa?" tanya gue pada anak Bu Dewi memecah keheningan sebelum melihat foto yang diberikan ke gue.

Nggak seorang pun menjawab. Segera gue membalik foto di tangan gue, dan detik berikutnya mata gue melebar. Bibir gue menganga.Berikutnya gue menatap ke arah Bu Dewi dengan tatapan nggak percaya.

"Ibu siapa?" tanya gue yang masih tidak percaya.

Gue tahu betul, anak yang ada di foto tersebut adalah gue. Foto bayi yang mengenakan bedong dan topi sama persis dengan foto gue yang berada di album masa kecil gue. Namun, versi yang berbeda gue lihat pada hari ini. Seseorang dengan pakaian rumah sakit, dan sedang tebaring di ranjang rumah sakit dengan nampak lemas tengah tersenyum menggendong bayi.

Mendengar pertanyaan gue, Bu Dewi malah berkaca-kaca. Gue tahu keadaan Bu Dewi sekarang sedang nggak baik, namun karena dia sudah membuat gue datang dan menimbulkan kebingungan ini, gue rasa dia harus menjelaskan apa maksud dari semua ini.

"Papamu nggak bilang apa-apa?" ujar Bu Dewi dengan napas yang kesusahan.

"Kenapa nggak dibawa ke RS aja? Udah susah bernapas itu!" pekik gue kesal ke arah suami Bu Dewi.

"Papaku udah meninggal, Bu," jawab gue kemudian dengan nada gusar yang nggak bisa gue tutupi lagi. "Ibu siapa? Ibu kenal Papa?"

Air mata Bu Dewi tiba-tiba tumpah, dan entah kenapa mata gue ikut berkaca-kaca.

Nggak mungkin kan?

Gue sibuk menyakinkan diri. Sambil menatap Bu Dewi. Napas Bu Dewi terasa semakin berat, tangisannya memperburuk napasnya. Sementara itu, gue terdiam di tempat sibuk, memandang ke belakang. Namun rasanya mustahil karena, I'm loved by my parents. Both of them raised me well, spoiling me with tons of love.

Precious HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang