08

9.4K 1K 321
                                    

"Oliv?" suara Nyana membuat gue kembali tersadar dari lamunan gue.

Gue menoleh ke arah Nyana yang tersenyum getir. "Cerita kek. Lo kenapa? Makin hari makin kacau aja."

Gue menggelengkan kepala. "Gue kurang tidur aja. Akhir-akhir ini insom gue makin parah."

Gue masih mempertahankan diri untuk nggak cerita masalah yang terjadi di antara gue dan Julian keluar lingkaran pertemanan kami. Gue nggak tahu juga apakah Nyana biasa dipercaya atau enggak. Apalagi Julian itu kan punya banyak mata dan telinga. Yang gue sembunyiin dari publik aja bisa dengan mudah diketahui Julian, apalagi kalau gue ngumbar masalah ke orang lain.

Nyana membuang napas sedikit kasar. "Ke dokter coba."

No way!

Gue ke pergi ke psikiater pasca putus cinta dari Julian aja, Julian bisa dengan mudah tahu rekam medis gue. Nggak lagi deh.

Nyana menarik cangkir kopi gue, dan menggantinya dengan segelas air putih. "Kalau insom jangan minum kopi."

Gue menarik kembali cangkir gue. "Kan insom kalau malem. Jam segini mah adanya ngantuk pengen tidur."

"Tidur dong, Liv. Mau tidur pagi, siang, sore juga nggak masalah buat lo."

Perusuh satu ini kenapa tiba-tiba harus muncul di pantry segala. Nambahin masalah hidup aja sih nih orang.

Tapi ya namanya kerja di kantor. Paling enggak harus ada satu orang yang nyebelin buat bahan gibah satu divisi.

"Lo juga bisa tidur pagi, siang, sore, kok Sya," balas Nyana.

Tasya mendengus sambil menuang gula ke cangkir yang baru saja dia ambil. "Kalau gue tidur pagi, siang, sore, dapet duit dari mana?"

"Nah itu... Makanya harus kerja. Lo kenapa syirik banget sama Oliv. Sama-sama karyawan kantor yang cari duit juga," jawab Nyana di samping gue yang selalu mencoba menenangkan Tasya.

"Oliv? Cari duit? Nggak mungkin lah! Dia diem di rumah duitnya juga ngalir sendiri. Ya kan, Liv?"

"Iya," jawab gue akhirnya. "Mau gue diem jadi batu juga nggak bakal jatuh miskin kok. Makanya lo harus sadar Sya kalau gue sama lo itu beda. Gue nggak perlu kerja keras buat beli Hermès, Chanel, LV. Beda sama lo kan?"

Mumpung gue lagi kesel, sekalian aja gue bales. Jarang-jarang gue mau adu mulut sama Tasya. Selama ini gue diem karena males nanggepin dia, dan selama ini pula gue nggak masalah dikatain kerja cuma buat isi waktu luang.

"Harusnya lo sadar Sya. Kalau orang kayak lo, dari pada kebanyakan nyinyir iri sama privilege orang, mendingan fokus sama kerjaan. Karena mau lo nyinyirin gue sampai berbusa, lo nggak bisa ngubah fakta kalau gue nggak terlahir buat kerja keras. Jelas kan sekarang?"

Raut Tasya kelihatan mengeras. Gue rasa dia cukup tersinggung. Siapa suruh nyinggung tentang gue? Sekalian aja gue jelasin faktanya.

"Balik yuk?" ajak Nyana yang sangat tahu kalau gue masih berada di sini Tasya akan semakin memanas.

Gue mengikuti Nyana yang sudah terlebih dahulu meninggalkan kursinya. Gue berjalan beberapa langkah kemudian berhenti sejenak dan kembali menoleh ke arah Tasya.

"Oh iya inget. Lo kan tahu short cut biar cepet tajir ya, Sya?" Gue menjentikkan jari. "Check in bareng Pak Fandi dapet duit berapa?" bisik gue pelan namun cukup terdengar baik oleh Tasya maupun Nyana yang masih berdiri tak jauh dari gue.

Tasya memerah marah. Dia membanting cangkirnya begitu saja ke kitchen sink tak jauh darinya. Gue masih menunggu responnya selanjutnya, karena gue dengan gamblang telah membuka rahasianya. Sebenernya bukan rahasia-rahasia amat sih, banyak orang kantor yang udah tahu kalau Tasya sering jalan sama suami orang.

Precious HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang