29

5.3K 640 43
                                    

Satu tahun berlalu dengan cepat. Nggak ada perubahan yang signifikan dari kehidupan gue setelah pindah ke villa Julian yang ada di Bali. Hidup memang butuh perubahan, tapi nggak harus datangnya yang berdampak dan menjadikan kita seseorang yang nampak baru.

Tersingkapnya fakta bahwa gue adalah anak hasil hubungan gelap sudah cukup membuat badai di kehidupan gue. Kemudian ibu kandung gue meninggal sebelum menceritakan asal-usul gue. Sampai sekarang fakta sebenarnya masih menjadi misteri. Gue nggak tahu apakah Papa dan Ibu Kandung benar-benar berselingkuh di belakang, Mama. Kalau benar begitu, ibu gue jahat sekali. Pantas kalau Leon membenci gue setengah mati.

Badai itu pasti berhenti. Kita juga nggak akan selamanya hidup dibawah langit yang gelap.

Gue menjalani hari-hari seperti orang pada umumnya. Memang gue adalah manusia pada umumnya. Manusia dan berbagai masalahnya. Hidup di bawah langit yang sama bersama manusia-manusia lainnya. Manusia-manusia itu terkadang juga punya duka, dan kesengsaraannya sendiri. Ada yang nampak sepele tapi bagi mereka terasa dalam. Ada juga yang menyanyat tapi nggak dirasa dengan tetap bertingkah seolah bukan apa-apa.

Di antara banyaknya manusia, yang gue alami dari mulai ingin menghindar dan frustasi karena nggak ingin Julian di dekat gue, mengetahui fakta bahwa gue bukan anak kandung Mama, kehilangan ibu kandung sebelum sempat berkenalan dekat, dibenci kakak yang gue kira satu-satunya keluarga gue yang tersisa. Semua kesialan itu nggak spesial. Biasa aja karena manusia memang hidup dengan masalah-masalahnya.

Namun ada satu yang nggak boleh ditampik tapi sering kali disepelekan. Perasaan kita sebagai manusia. Kesedihan kita sering diremehkan, kebahagia kita mungkin akan dicemooh. Hal-hal semacam itu di dalam masyarakat dianggap suatu hal yang normal, sampai mereka berteriak meminta dimengerti perasaannya, namun nggak ingin mengerti perasaan orang lain. Menghargai perasaan orang lain adalah nasehat yang terkesan mudah, namun nggak semua orang bisa melakukannya.

Gue nggak ingin jadi salah satu dari banyaknya orang yang nggak bisa menghargai perasaan orang. Maka dari itu sejak Leon benar-benar marah kepada gue, gue mulai mengubah pikiran gue terhadap dia. Dia berhak marah dan membeci gue, daripada harus hidup dalam kebohongan seumur hidup.

Selain itu. Meskipun gue nggak bisa menerima perasaan Julian. Gue belajar untuk menghargainya. Kesalahannya fatal, tapi usahanya memang nggak main-main. Pernah gue berpikir, bagaimana kalau gue dan dia di masa depan kembali setelah semua yang terjadi?

Selamanya kelakuannya di masa lalu yang ingin pergi meninggalkan gue dengan cara buruknya adalah kesalahan. Gue bisa memaafkan dirinya dan keobsesiannya yang setelahnya muncul akibat putusnya kami. Namun gue nggak ingin memaafkan kesalahannya yang satu itu. Tetap sakit ketika mengingat kalau dia nggak ingin bersama gue dan mencari cara terburuk untuk berpisah.

Gue mengakui, Julian yang dulu saat berpacaran dengan gue adalah sosok keras kepala yang kekanak-kanakan. Namun satu tahun ini, sifat kekanak-kanakannya nggak lagi terlihat. Dia yang dulu sangat suka berpergian, berpesta, dan bermain bersama temannya. Namun satu tahun ini, entah gue yang nggak tahu atau memang dia benar-benar meninggalkannya.

Saat mulai mengejar gue, sebetulnya Julian berangsur perlahan menjauh dari kesenangannya. Dia jadi jarang berlibur ke negara-negara favoritenya, berpesta hanya karena ada gue atau empat temannya, pergi clubbing hanya bersama Darwin, Brin, dan Sean, atau kalau gue sedang membuatnya merasa stress. But sorry Jul, you started it first.

Julian yang memulai kekacauan, dia menghancurkan hubungan kami. Dia juga yang kemudian memaksa kembali. Dia egois memang. Selalu ada kata 'tapi' untuk dia.

Tapi dia punya usaha

Tapi dia mencintai gue

Tapi dia selalu ada buat gue

Precious HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang