07

8.9K 986 91
                                    

Gue tahu Julian masih ngikutin gue di belakang dan rasanya selain bikin nggak nyaman, gue jadi gelisah mengingat dia pasti lagi ngawasin gue.

Dia nggak berhenti mengikuti gue ketika sampai di lobby apartemen. Sesaat setelah gue masuk ke dalam unit apartemen Abang gue, suara pintu terbuka kembali terdengar. Tanpa gue perlu menoleh ke belakang, gue udah tahu kalau itu pasti Julian.

"Eh, gimana Jul? Katanya nyokap lo nyariin adek gue?" Bukannya bertanya ke gue, Bang Leon malah tanya ke Julian duluan. Padahal jelas-jelas gue masuk dan terlihat lebih dahulu dari pada Julian.

"Kalian ketemuan bertiga?" tebak Bang Leon. "Tadi siang nyokap lo telpon gue, katanya mau ngomongin hal penting gitu," terangnya kemudian

Julian nggak segera menjawab. Sementara gue diam di tempat mendengarkan apa yang dikatakan Bang Leon barusan. Gue berdiri sambil memasang wajah kecewa, padahal gue tadi rencananya mau bilang ke Bang Leon soal apa yang diomongin Nyokap Julian ke gue.

"Liv?" panggil Bang Leon akhirnya.

"Lo kenapa deh?" tanyanya yang akhirnya melihat ekspresi wajah gue.

Sedetik kemudian dia malah berdecak seolah tahu hal ini akan terjadi.

"Ya udah sih, Liv. Lagian kalian bukan anak kecil lagi. Julian juga udah lama kan usaha buat deketin lo lagi?"

Gue menggeser posisi berdiri gue menghadap tepat ke arah Bang Leon yang tengah duduk di sofa.

"Justru karena bukan lagi anak kecil, gue begini!" balas gue.

Bang Leon menghela napas kasar.

"Lo kapan peduli sama gue sih, Bang? Lo lihat ada penguntit yang ngikutin adek lo sampai nggak punya privasi pun, lo diem aja! Sekarang nyokapnya datengin gue pun, lo bilang ya udah? Apanya yang ya udah?"

"Liv," panggil Julian mendekat.

Gue menoleh ke arah Julian yang hampir saja menyentuh tangan gue. Untung gue segera mengangkat tangan gue sehingga Julian nggak sempat menyentuhnya.

"Yang harusnya berhenti jadi anak kecil itu bukan gue, tapi dia," ujar gue dengan tatapan muak ke Julian.

"Kamu ke kamar aja, Liv," bujuk Julian seakan ingin menghentikan amarah gue saat ini.

"Jul. Berhenti jadi anak kecil. Berhenti main-main, dan berhenti maksain sesuatu. Nggak semua yang lo mau harus diturutin! Gue capek, Jul!" seru gue.

Bang Leon terlihat berdiri dari duduknya lalu menghampiri gue. Dia menarik gue pelan. "Udah, masuk ke kamar. Tenangin diri dulu baru kita bahas bareng-bareng bertiga."

Gue mendorong pelan Bang Leon dan menjauh beberapa langkah.

"Bang. Kenapa sih lo nggak pernah peduli sama gue? Kenapa lo selalu belain Julian? Sebenernya adek lo itu dia apa gue?!"

"Liv. Udah, Liv!" Bang Leon sedikit meninggikan suaranya.

"Kalian pikir gue ini bercandaan?!"

"Liv, kalau lo udah dewasa harusnya lo juga mikir sama siapa lo berhubungan. Lo libatin keluarga dihubungan lo sama Julian. Ya wajar kalau sekarang keluarga Julian minta keseriusan lo dengan berhenti main-main," terang Bang Leon.

Gue nggak ngerti lagi gimana cara berpikir orang-orang ini. Gimana bisa gue yang dianggap main-main, padahal gue nggak pernah main-main sama suatu hubungan.

Dunia rasanya bener-bener udah kebalik. Gue yang nggak salah apa-apa jadi kelihatan salah.

Wajar aja waktu pacaran sama Julian gue ngelibatin keluarga. Keluarga gue sama Julian, bahkan sama temen-temen gue yang lain memang saling kenal dari dulu. Lingkungan gue saat ini, orangtua gue yang bentuk. Semua orang yang ada di lingkaran gue udah disaring jauh sebelum gue ngerti apa-apa.

Precious HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang