10

8.5K 847 37
                                    

Gue serius ketika kemarin mengatakan bahwa gue bakalan pergi. Maka, sehari setelah gue melihat Julian mabuk, gue tanpa basa-basi langsung menyiapkan segala rencana.

Awalnya gue nggak tahu mau ke mana, tapi teringat Nyana yang bulan depan yang mana bulan depan adalah minggu depan— bakalan pulang ke Bali, gue jadu kepikiran buat pindah ke sana.

Bali. Di sana banyak tempat bagus di mana kalau gue suntuk, gue bisa langsung cabut liburan tanpa mikirin perjalanan panjang. Gue bisa kerja remote dari sana. Mengingat gue ini lulusan dari Seattle University, gue percaya diri kalau dapet pekerjaan itu nggak susah. Dan di sana banyak digital nomand, gue bisa jalin relasi baru dengan pekerjaan gue yang baru nantinya.

Cukup menjanjikan. Gue bisa kerja sekaligus bisa healing.

Healing, yang benar-benar menyembuhkan gue. Bukan healing yang sekedar bersenang-senang semata.

Gue yang sekarang ngerasa mudah ngerasa anxious, mungkin di sana gue bisa mencari hal-hal yang bisa ngobatin gue. Apalagi orang-orang Bali terkenal banyak yang masih menjaga spiritualitas dan adat mereka. Mungkin dari sana gue bisa belajar untuk memperdalam spiritualitas. Meskipun sebenarnya gue juga nggak yakin apa yang harus gue pelajari dari keyakinan gue saat ini.

Gue nggak ke gereja, gue nggak ke masjid, gue juga nggak ke vihara ataupun pura. Agama gue cuma sebatas nempel di KTP aja.

Orang natalan gue ikut, imlekan gue ikut. lebaran gue juga ikut bilang minal aidzin. Semua itu semata-mata gue lakuin buat menghargai kepercayaan mereka terhadap agama mereka.

Gue masih percaya adanya Tuhan. Tapi gue nggak tahu Tuhan mana yang harus gue percaya. Yang penting gue berdo'a aja ke Tuhan.

Hari ini gue akan meninggalkan kota di mana gue menghabiskan lebih dari separuh hidup gue. Meninggalkan Abang gue, satu-satunya keluarga dekat yang gue punya. Meninggalkan karir gue, dan tentunya gue meninggalkan masa lalu gue.

Semuanya setelah hari ini bakalan gue ditinggal di belakang. Gue nggak ingin lagi berjalan terseok karena berat yang merantai langkah gue. Setelah hari ini, awal baru di tempat baru menunggu gue. Entahlah apa yang menunggu di depan sana, tapi gue itu sebuah awal yang indah.

Gue menatap langit Jakarta siang ini sebelum menaiki bus yang akan membawa gue pergi.

Gue memilih untuk naik bus. Gue rasa bus adalah transportasi yang sulit dilacak oleh keluarga gue atau Julian. Naik pesawat jelas dengan mudah bisa dilacak entah itu dari transaksi online atau dari daftar penumpang.

Tapi, gue juga memesan tiket ke Seattle untuk mengecoh siapapun yang mencari gue nantinya. Seattle adalah tempat masuk akal buat gue pergi karena gue menghabiskan 5 tahun di sana, dan di Seattle gue punya banyak teman kuliah yang menetap di sana.

Sebelum pergi ke terminal, gue mematikan ponsel gue. Kemudian gue menggunakan ponsel dan nomor baru untuk kepentingan komunikasi ke depannya. Orang yang pertama gue kabari adalah Nyana, karena dia yang orang pertama juga yang gue beri tahu soal rencana gue ke Bali. Nyana menyarankan gue buat dateng ke rumahnya dulu, kebetulan Nyana baru terbang ke Bali Sabtu besok, sementara ini baru hari Selasa.

Gue ingin menolak, tapi setelah gue pikir-pikir, mungkin Ibu Nyana sebagai orang lokal bisa memberi saran tempat tinggal. Akhirnya gue tidak menolak.

Bus berangkat pukul dua siang. Gue sempat sedikit ragu naik bus jarak jauh, karena naik mobil jarak jauh aja lelahnya minta ampun. Apalagi kalau naik bus?

Bus jaman sekarang memang punya banyak pilihan, tapi tetap saja. Namanya bus. Meskipun bisa tidur, serta meluruskan kaki, menurut gue tetap nggak nyaman sama sekali. Di dalam bus gue hampir gila karena lamanya perjalanan.

Precious HubbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang