37. Ketika Dunia Membencinya

188 38 27
                                    

Colaboration with abangcendol

***

Memasuki pelataran rumah rasanya seperti hal terberat bagi Jeongyeon. Hatinya sangat sesak saat ini. Hari ini adalah hari yang sangat berat bagi Jeongyeon. Bekas air mata kering di pipi, mata yang merah, dan seragam yang sudah sangat acak-acakan. Jeongyeon pulang ke rumah serba berantakan.

Ia memasuki motor kesayangan ke dalam garasi dengan pelan-pelan, berusaha tak menimbulkan suara keras yang bisa mengganggu orang lain. Selepas menaruh helm di tempat biasanya, dengan hembusan nafas yang berat Jeongyeon melangkahkan kaki ke dalam rumahnya yang tak begitu mewahnya ini.

“kemana aja?” tanya seseorang yang sedang mendudukkan diri diatas sofa ruang tengah.

Dari suaranya, Jeongyeon jelas tau siapa yang sedang berbicara dengannya. Ia mengusap wajah kasar. Tak bisakah ini tak terjadi sekarang? Jeongyeon hanya ingin ke kamarnya.

“ngeband sama Chaeyoung” bohong Jeongyeon.

“berdua doang?” tanya sosok itu lagi.

“nggak, bareng Dahyun, Tzuyu, Momo juga” bohong Jeongyeon lagi. Alasan ia pulang sangat sore ini hanyalah ia ingin menyendiri dari semua orang.

Sosok itu melipat surat kabar di tangannya kemudian menaruh di atas nakas. “berapa kali papah bilang, stop ngeband terus fokus sama belajarmu itu? jadi anak susah banget diomongin”

Ya, Jeongyeon paling menghindari kedua orangtuanya. Hanya akan terjadi percekcokan jika mereka berbincang. Jeongyeon menekan semua emosinya karena emosinya akan tersulut kalau ini terus berlangsung. Apalagi di situasi yang sangat tidak tepat ini, di saat hatinya sedang tidak karuan. Bukannya bermaksud menjadi anak pembangkang, hanya saja pendapat Jeongyeon keseringan berbeda dengan paham orangtuanya.

“cuma seneng-seneng kok, bukan buat nyari duit” Jeongyeon berusaha untuk tidak sinis.

Papahnya menghela nafas, “kamu tuh, sekali aja nurutin papah mamah gak bisa apa?”

“...” Jeongyeon hanya mengeraskan rahangnya, tanda bahwa ia cukup kesal dengan ucapan papanya.

“papah belum selesai ngomong” ucap sang papah melihat Jeongyeon yang hendak beranjak dari tempatnya berdiri. "hari ini kamu bagi rapot kan? mana, papah mau liat"

Jeongyeon menghela nafasnya dan menaruh tasnya, membukanya lalu mengeluarkan buku besar berwarna hitam itu. Buku besar yang Jeongyeon sangat benci saat ini karena telah mengkhianati dirinya. Lalu memberikannya pada kedua orang tuanya.

Papah bersama mamahnya membuka rapotnya dan melihat nilai-nilai disana. Mereka berdua cukup terkejut dengan penampakan 3 nilai A disana. Itu membuat mereka impresif karena Jeongyeon tidak pernah mendapat nilai itu. Walau memang masih ada nilai C.

"haha, tumben banget kamu dapet nilai segini. baguslah, bagus bagus" papahnya menutup rapotnya itu lalu meletakkannya di atas nakas. “papah cuma mau yang terbaik buat kamu, Yoo Jeongyeon, gak lebih. maka dari itu papah sama mamah mau ngomongin ini lagi. tolong lah, kamu sekali aja nurut sama omongan kami, nurutin apa kata kami buat menjuruskan kamu ke mana”

“papah mikir yang terbaik buat aku, tapi gak berpikir itu cocok gak ama kepribadian aku atau passion aku”

“justru papah ngelakuin ini demi kamu. papah ngelakuin ini biar kamu bisa sukses kedepannya. kejaksaan itu udah langsung menemukan kerja begitu lulus, program profesinya juga menempatkan kamu di kejaksaan tinggi negeri. kurang apa coba?" papah menegaskan argumennya. "kalo kamu memilih Ilmu komunikasi, mau kerja apa kamu nantinya?”

Above | JeonghyoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang