"Tuhan, untuk yang pertama kalinya aku datang ke rumahmu."
"Aku menundukkan kepala, berlutut, dan memangku harap tepat di hadapanmu, sesuatu yang tak pernah kulakukan sebelumnya selama aku hidup."
"Hanya satu inginku; mimpi yang kau tunjukkan kepadaku, bolehkah aku mengubahnya? Tolong beri dia kesempatan, tuhan. Berkahi hidup baru adikku, Yoo Jeongyeon. Biarkan dia menunaikan tanggung jawabnya atas apa yang dia perbuat kepada Nayeon."
_________________________________
#9 Bulan kemudian.
Malam ini Nayeon sedang duduk di pinggir ranjang. Tatapan matanya datar sedangkan perut buncit yang memamasuki tenggat kehamilan tua itu terlihat semakin besar saban harinya.
"Nah." Sebuah map hitam yang berisi berkas-berkas perceraian Nayeon sodorkan kepada pria yang berstatus sebagai suaminya selama hampir 1 tahun ini, Yoo Jeongyoon.
"Apaan?"
"Tanda tangan."
"Ga liat saya lagi sibuk? Minggir." acuhnya seraya menampik pemberian Nayeon.
Sang bumil menghela nafas panjang. Ikut memperhatikan movement pria yang baru pulang dari transaksi gelapnya ke arah tumpukan lego yang ada di pojok kamar.
"Kita udah sepakat, pernikahan ini cuman sampe bayi aku lahir," oceh Nayeon lagi. Pria itu bertolak pinggang dengan badan yang membelakangi sang isteri
"Terus, emang sekarang bayinya udah lahir? Belum, kan? yaudah entar aja cerainya."
"Tapi—"
"Aduh gausah ribet deh Nay," sergahnya dengan cepat. "Kalau kamu mau cerai yaudah nanti juga kita cerai, yang jelas selagi bayi itu masih ada di perut, kamu masih tanggungjawab saya!"
"Atas dasar apa!" ikut naik pitam. Tangan Nayeon mengepal erat karena tidak senang dengan cara bicara pria itu yang terdengar sangat menyebalkan di kupingnya.
"Atas dasar... Saya ..."
Terdiam. Pria itu menghela nafas bersama mata yang terpejam rapat. Memendam sesuatu yang sangat susah untuk dituturkan secara gamblang. "Rewel banget sih jadi orang!" bengisnya.
Kini Nayeon yang mendengus. Pandangan Nayeon beralih, mencari sesuatu yang bisa Nayeon gunakan untuk menjadi pelampiasannya kepada pria cosplay kulkas berjalan tersebut.
"Yaudah ngomongnya biasa aja ngga usah ngegas! Itu mobil-mobilan kalo emang udah gamau diurus mending dibuang aja! Cuma bisa numpuk debu, tau ngga! Anak gue alergi nanti!" luah Nayeon sembari menunjuk tegas rak berisi koleksi hotwheels yang ada di sisi lain pojok kamar.
* BRAK *
Pintu ditutup kasar. Nayeon memutuskan untuk keluar kamar meninggalkan sang suami dengan leguhan letih serta pikiran yang mendadak kalut.
Potongan lego sontak diletakan dengan tidak bersemangat, menyebabkan kastil yang tengah dibangun selama 3 hari 2 malam itu luluh lantak di atas lantai.
Sang pria sungguh kehilangan fokusnya. Dia termenung seraya menatap kosong pada bingkai foto pernikahan yang ada di atas nakas. Tak berselang lama pandangan itu berganti pada cincin di jari manisnya, yang melingkar dengan bekas kemerahan karena tidak pernah ia lepas sedetikpun selama 9 bulan menjalin rumah tangga bersama Nayeon.
Maaf. Tapi sungguh, aku masih belum siap berpisah darimu. Setidaknya sampai aku melihat anak itu lahir. Monolognya.
~
KAMU SEDANG MEMBACA
49 Days [2Yeon] ✓
FanfictionPerlahan suara orang-orang mulai menghilang. Semua terasa Senyap, dan Gelap. Mungkinkah ini akhir dari hidupku??? Siapapun, kumohon tolong aku. Aku tidak mau berakhir seperti ini. Aku belum siap meninggalkan keluarga, dan orang terdekatku. Tuhan...