Chapter 3

2.6K 258 18
                                    

Setelah cukup lama Maya berdiam diri memikirkan apa yang baru saja terjadi, karena dirinya sangat shock setelah melihat sosok Mahapatih Gajah Mada dan juga Sri Tribhuwanatunggadewi secara langsung. Maya segera nekat keluar melalui pintu belakang istana, ia berjalan sejauh mungkin dan meninggalkan kedaton secara diam-diam.

Ia semakin terkejut melihat peradaban besar yang berada di luar kedaton, ia melihat masyarakat yang hidup di sekitar kedaton hidup dengan begitu makmur. Maya terus berjalan menyusuri jalan sambil menikmati tiap pemandangan di depannya, hingga tanpa ia sadari sang bagaskara telah kembali ke peraduannya.

Maya sangat kebingungan, karena ia tak memiliki bekal apapun. Ia juga tidak tau harus kemana, ia hanya terus melangkah mengikuti arahan dari hatinya. Hingga ia menemukan sebuah rumah gubuk yang nampak tak berpenghuni, akhirnya ia memutuskan untuk bermalam disana dan berniat melanjutkan perjalanannya esok hari ketika matahari muncul.

Ketika Maya memasuki rumah itu, ia melihat keadaan rumah yang diterangi dengan sebuah obor yang terlihat masih baru. Namun, keadaan rumah itu kosong tidak ada apapun selain obor dan tumpukan jerami yang ada di sudut ruangan. Meskipun agak takut, Maya tetap memberanikan dirinya untuk masuk dan bermalam disini.

Ia duduk di atas tumpukan jerami, ia memikirkan keadaan adiknya serta ibunya yang ada di masa depan. Ia juga memikirkan pekerjaannya yang bekerja sebagai seorang guru sejarah yang ada di SMA swasta di Malang, jujur ia sangat menyukai sejarah dan ia dulu pernah berpikir ingin hidup di era kerajaan hindu-budha karena menurutnya hidup di zaman itu lebih enak daripada harus hidup di era modern yang penuh dengan tekanan dan tuntutan.

Namun, ia merasa sangat tidak betah karena disini selain ia tidak memiliki siapapun ia juga berasal dari kasta sudra. Dimana kasta ini berasal dari kalangan bawah yang dimana kasta ini dianggap kasta terendah.

Maya mendengar dari arah luar, bahwa gemericik hujan telah turun. Untung saja Maya telah menemukan tempat untuk berteduh, Maya mulai mengantuk perlahan ia mulai memejamkan matanya. Namun, ia dikejutkan dengan suara pintu yang di buka secara paksa.

Brak..

Sontak hal itu membuat Maya sangat ketakutan, ia sangat gelisah ketika melihat siluet pria yang berjalan dari arah pintu mendekat ke arahnya.

"Kamu siapa?" tanya pria itu kebingungan kepada Maya, Maya sendiri sangat ketakutan ketika melihat wajah garang dari pria itu namun, pria itu terlihat sangat tampan dan ia juga terlihat seperti bukan orang sembarangan.

"Aku tanya kamu siapa?!" pria itu bertanya dengan nada tinggi.

"K-kula Prabawati," jawab Maya dengan badan yang gemetaran karena takut pada pria yang saat ini menatapnya dengan tatapan yang begitu tajam.

"Aku Wistara, kamu tidak usah takut," ucapnya pada Maya, Maya mulai sedikit tenang ketika pria yang bernama Wistara itu mulai menjaga jarak dan sudah tidak lagi melempar tatapan tajam seperti tadi.

Wistara duduk sedikit jauh dari tempat Maya, Maya masih terlihat canggung dengan keadaan mereka yang hanya berdua saja di tempat yang kosong dan gelap.

"Ini," ucap Wistara sembari memberikan sebuah ubi bakar kepada Maya, Maya menerima pemberian pria itu karena memang sedari tadi ia tidak memakan apapun. Maya melahap ubi bakar itu dengan sangat lahap, sesekali ia melirik ke arah pria yang saat ini terlihat tengah bersila sembari memejamkan matanya.

"Terimakasih," celetuk Maya pada Wistara, pria itu membuka matanya perlahan dan menatap ke arah Maya dengan tatapan datar. Lalu, pria itu memberikan sekantong air minum kepada Maya.

"Tidak usah," ucap Maya yang merasa tak enak kepada pria itu, tapi kerongkongannya merasa sangat haus dan butuh air untuk melepas dahaganya.

"Tidak usah sungkan," balas Wistara sembari kembali memejamkan matanya.

"Terimakasih," ucapnya pada Wistara, Maya tersenyum manis melihat sikap pria yang baru saja ia temui. Pria ini terkesan dingin namun peduli, Maya tidak memikirkan apapun bisa saja Wistara adalah sosok jahat yang memberikan racun pada makanan dan minuman yang tadi diberikan padanya. Namun, karena kelewat lapar dan haus Maya tidak mempedulikannya.

Setelah menghabiskan makanannya, Maya berdiam diri dan menata jerami untuk tempatnya akan tidur. Ia melihat ke arah Wistara yang masih tetap dengan posisinya yang sama sedari tadi, Maya berpikir ia bukan terlihat seperti orang sembarangan. Pria ini terlihat seperti seorang pendekar yang begitu kuat.

"Kenapa kamu bisa berada disini?" Maya terkejut karena tiba-tiba Wistara bertanya padanya.

"Aku hanya mencari tempat untuk berteduh, kalau kamu sendiri?" Maya balik bertanya pada Wistara yang masih setia memejamkan matanya dengan posisi bersila.

"Aku juga berteduh, namun aku lebih dahulu tiba disini. Aku menyalakan obor lalu pergi mencari makan," jelasnya pada Maya, Maya mengangguk paham.

"Kau ingin pergi kemana?" tanya Wistara kepada Maya, Maya sendiri tidak tahu dirinya akan pergi kemana. Lalu, ia berpikir sejenak untuk mencari jawaban dan mengingat daerah apa saja yang ada pada masa kerajaan Majapahit. Kemudian terlintas dibenaknya, suatu daerah yang bernama Tumapel.

"Tumapel," jawabnya, setelah mendengarkan jawaban yang terlontar dari gadis itu, Wistara kembali membuka kedua matanya.

"Kita memiliki tujuan yang sama, tapi apa kamu akan berjalan sejauh itu ke Tumapel?" mendengar pertanyaan Wistara, Maya berpikir istana ini berada di daerah Wilwatiktapura atau Majapahit yang artinya sangat jauh dari Tumapel. Ia juga berpikir tidak akan mungkin baginya berjalan sejauh itu menuju daerah Tumapel, ia bukan orang sakti ia hanyalah seorang memiliki jiwa jompo yang berasal dari masa depan.Tentu sangat mustahil baginya untuk berjalan, karena olahraga saja ia sangat jarang.

"Tidak ada pilihan lain," balas Maya.

"Apa urusanmu untuk pergi ke Tumapel?" Maya sedikit risih karena Wistara terus saja melontarkan pertanyaan yang terkesan seperti sedang diinterogasi.

"Apa urusanmu menanyakannya padaku?" Maya bertanya balik pada Wistara, karena memang ia begitu risih. Wistara menghela nafas kasar, lalu ia memposisikan diri untuk tidur dan mengabaikan pertanyaan yang terlontar dari mulut Maya.

"Astaga dasar orang ini," gerutu Maya, karena dirinya juga merasa mengantuk dan lelah akhirnya ia pun tertidur dengan pulas meskipun hanya tidur beralaskan tumpukan jerami yang mungkin badannya akan terasa gatal di esokan paginya.

***

Maya dibangunkan dengan tetesan air yang tiba-tiba membasahi wajah mulusnya, dan ia melihat Wistara yang tengah mengguyurnya dengan sekantong air.

"Apa kamu sudah gila?!" teriak Maya pada Wistara yang saat ini berdiri dengan wajah tak berdosa.

"Cepatlah bangun, kita akan berangkat sebelum matahari semakin terik,"ucap Wistara pada Maya, Maya melihat dari celah gubuk benar saja matahari sudah bersinar dengan begitu cerah. Dan akhirnya Maya memutuskan untuk pergi bersama dengan Wistara, karena memang mustahil baginya untuk berjalan menuju Tumapel.

"Kita akan naik apa?" tanya Maya pada Wistara, lalu Wistara menunjukkan seekor kuda yang begitu besar.

"Naik kuda?" ucap Maya tak percaya, Maya berpikir pasti akan sangat canggung jika menaiki kuda dengan orang yang baru saja ia kenal.

"Kalau keberatan ya sudah," ujar Wistara sambil naik ke atas kuda, Maya masih terdiam cengo melihat Wistara yang terlihat begitu kejam dan dingin.

"Baiklah," jawab Maya.

Wistara mengulurkan tangannya untuk membantu Maya naik ke atas kuda, Maya berhasil naik keatas kuda meskipun ia sedikit kesulitan karena jarik yang ia kenakan. Untungnya ia mengenakan jarik yang memiliki dalaman seperti celana panjang, sehinggan memudahkannya untuk menaiki kuda ini.

"Berpeganganlah yang kuat, atau kan akan terpental jatuh ke tanah," tutur Wistara dengan nada datar, Maya tak menggubris penuturan pria itu. Dan ketika mereka akan berangkat, Maya hampir saja terjungkal kalau saja Maya tidak cepat-cepat berpegangan pada pinggang Wistara.

"Dasar bodoh," lirih Wistara pada Maya.

***

KALA : The Eternal Love [Majapahit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang