Maya terbangun dari tidurnya, ia tak menyadari bahwa matahari sudah bersinar dengan sangat terik. Ia tidur beralaskan kain jarik , Maya menyadari bahwa ia tertidur di bawah sebuah pohon yang begitu besar. Dengan segera Maya membereskan alas tidurnya dan kembali melanjutkan perjalan, ia juga akan mencari sebuah sungai untuknya mandi nanti.
Ia kembali berjalan setelah meminum air bersih yang ia bawa di kantong tempat penyimpanan air. Ia juga memakan beberapa pisang untuk sekedar mengganjal rasa laparnya, ia berjalan sekitar 1 jam dan ia berhasil menemukan sungai yang tak jauh dari jalan setapak.
Dengan penuh kegirangan ia segera mengambil salah satu kantong airnya yang kosong dan segera mengisinya dengan penuh. Lalu, ia melihat kondisi sekitar dirasa aman ia segera menanggalkan seluruh pakaiannya dan segera berendam di sungai yang terlihat cukup luas itu.
"Segar sekali!" ucap Maya yang benar-benar merasakan kesegaran air sungai yang tak pernah ia temui di masa depan. Tanpa Maya sadari ia berjalan ke arah barat Lamajang yang dimana arah itu menuju daerah Tumapel.
Setelah mandi, Maya segera mengenakan pakaiannya. Ia merasa sedikit risih karena rambutnya yang begitu panjang hingga pinggang masih basah. Karena memang ia berniat untuk keramas karena rambutnya sudah sangat terasa lengket.
"Aku tidak pernah memiliki rambut sepanjang ini sebelumnya," gerutu Maya.
Maya memutuskan untuk mengikat rambutnya dengan sebuah kain kecil, ia merasa sedikit risih dengan rambutnya yang begitu panjang. Setelah itu ia melanjutkan perjalanannya, Maya terus berjalan mengikuti jalur setapak yang kian masuk ke dalam hutan dan pegununggan. Maya merasa sangat ragu, apakah ia bisa menembus hutan lebat ini hingga sampai di pemukiman warga?
Maya memutuskan untuk terus berjalan, hingga ia tak menyadari bahwa senja telah tiba.
"Aduh, sebentar lagi malam akan tiba. Tapi aku tidak bisa menyalahkan api untuk obor ini." Maya terlihat gusar, ia bahkan tidak bisa membuat api secara tradisional seperti orang jaman dulu.
Maya sedikit berlari untuk segera sampai di perkampungan warga, ia menghabiskan tenaganya sekaligus untuk naik ke gunung dan menghindari bermalam di tengah hutan yang begitu menyeramkan.
Dan sekitar satu jam, ketika matahari sudah benar-benar tenggelam dari kejauhan ia melihat cahaya. Dengan bergegas ia lari menuju cahaya itu, ia melihat perkampungan namun kampung itu sudah terlihat sepi padahal belum terlalu larut.
"Maya!" Maya terkejut ketika mendengar nama aslinya dipanggil oleh seseorang, dan Maya melihat orang yang memanggilnya.
"Tarachandra?" Maya sangat terkejut dengan kehadiran Tarachandra, ia terlihat sangat lelah. Pakaian Tarachandra juga nampak amat sangat lusuh, wajahnya juga begitu pucat karena kelelahan. Kuda Tarachandra berjalan perlahan ke arah Maya yang masih terdiam mematung.
"Akhirnya aku menemukanmu," ujar Tarachandra, dan beberapa detik kemudian pria itu roboh dan jatuh dari atas kuda yang ia tunggangi.
"Chandra!" teriak Maya panik.
***
Cuitan burung membangunkan Tarachandra dari tidurnya, ia merasa kepalanya begitu pusing, tubuhnya juga terasa begitu menggigil. Ia baru saja menyadari bahwa dirinya berada di sebuah rumah, ia tertidur di ranjang kayu. Ia melihat sekeliling yang dipenuhi dengan beberapa tumbuhan herbal yang digunakan untuk obat atau ramuan.
Indra penciumnya juga menangkap aroma berbagai macam ramuan yang sepertinya di taruh dalam kendi di atas sebuah meja panjang. Tarachandra mencoba untuk mendudukkan dirinya "Ah," lirihnya, karena kepalanya terasa sangat berat.
"Kamu sudah sadar?" tiba-tiba seseorang muncul dari arah pintu depan.
"Prabawati?" Tarachandra menatap Maya dengan tatapan yang tak bisa diartikan, Maya mendekat dan mencoba menyentuh dahi Tarachandra. Ia memastikan apakah suhu tubuh pria ini sudah turun atau belum, namun Tarachandra menarik lengan Maya sehingga membuatnya jatuh terduduk tepat di depannya.
"Eh!" teriak Maya yang terkejut.
"Maya Dyah Prabawati," lirih Tarachandra sembari terus menatap wajah Maya, sehingga membuat gadis itu menjadi salah tingkah.
"Sepertinya kau sudah membaca tulisanku," ucap Maya sembari memalingkan wajahnya dari tatapan Tarachandra. Perlahan jemari Tarachandra menyentuh pipi kanan Maya, ia mengarahkan wajah Maya untuk menatap dirinya. Maya melihat tatapan tulus yang terpancar dari pria itu.
Tarachandra memangkas jarak antara dirinya dengan Maya, hingga akhirnya kedua bibir mereka saling bertemu. Maya sedikit terkejut, namun Tarachandra menahan tengkuk Maya agar tak merubah posisi mereka. Perlahan Tarachandra memagut bibir Maya dengan begitu lembut dan penuh perasaan, Maya hanya terdiam karena ini adalah ciuman pertamanya.
Perlahan naluri Maya keluar dengan sendirinya, ia membalas pagutan Tarachandra dengan lembut. Mereka saling bertaut dan memagut, hingga di ruangan itu hanya terdengar suara kecapan yang tercipta dari aktivitas yang mereka lakukan.
***
Kini Tarachandra dan Maya tengah duduk di kursi yang ada di ruangan itu, ia juga melihat tabib tengah meracik ramuan untuk Tarachandra yang jatuh sakit karena kelelahan.
"Ini, minumlah. Mungkin bisa meredakan sakit yang kau derita," tutur tabib itu pada Tarachandra sembari memberikan ramuan tersebut.
"Maturnuwun," balas Tarachandra sembari menenggak ramuan itu dengan segera.
"Kalian sebenarnya akan pergi kemana?" tanya tabib penasaran.
"Kami akan pergi menuju Daha," jawab Tarachandra. Tabib tersebut mengangguk paham, lalu mereka berdua izin pamit dan berterimakasih. Karena jika bukan karena kebaikan tabib yang membantu Maya membawa Tarachandra ke tempatnya maka, mungkin saat ini Tarachandra pasti masih sakit dan takkan terobati dengan baik.
Mereka menaiki kuda dan segera memacu kudanya untuk pergi meninggalkan perkampungan ini. Dalam perjalanan sesekali Maya menoleh ke belakang melihat Tarachandra yang fokus memacu kudanya.
"Kamu baik-baik sajakan?" tanya Maya yang masih khawatir dengan kondisi Tarachandra.
"Aku baik-baik saja, asal ada dirimu disampingku." Ucapan itu berhasil membuat kedua pipi Maya menjadi merah merona, ia juga merasakan kedua telinganya memanas.
"Ck, dasar. Eh, Tarachandra?"
"Iya?" sahut Tarachandra
"Kenapa kau melakukan ini?" Maya bertanya pada Tarachandra.
"Karena aku mencintaimu," balas Tarachandra, namun wajah Maya memperlihatkan ekspresi yang terlihat sedih dan kecewa.
"Ada apa , Maya?"
"Kamu tetap akan memenuhi sumpahmu itu kan?" tanya Maya yang memastikan agar Tarachandra tidak goyah karenanya. Tarachandra terdiam sejenak, ia hanya bingung harus menjawabnya dengan jawaban apa.
"Aku menghargai itu, jika memang kamu telah bersumpah pada dewa lakukanlah dengan benar," tutur Maya pada Tarachandra. Sejujurnya sekarang ini Tarachandra menjadi goyah, ia sangat ingin sekali hidup bahagia bersama Maya namun ia memiliki sumpah kepada dewa untuk berperang dengan majapahit.
"Apa di masa depan aku akan memenangkan pertempuran?" tanya Tarachandra penasaran.
"Akan curang jika aku memberitahumu tentang masa depan," jawab Maya dengan sedikit terkekeh.
"Apa kita akan hidup bersama di masa depan?" tanya Tarachandra penasaran.
"Entahlah," balas Maya.
Mereka melanjutkan perjalanan menuju Daha dengan penuh senda gurau, meskipun disisi lain Maya takut Tarachandra akan melanggar sumpahnya dan membuatnya terkena kutukan oleh dewa. Maya akan mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuknya nanti, ketika Tarachandra bertempur melawan Majapahit. Ia mempersiapkan untuk kemungkinan terburuk yang bisa saja merenggut segalanya dari dirinya.
***
Bersambung...
Hallo! Gimana Chapter kali ini guys? comment yaa <3 jangan lupa vote juga <3
Terimakasih,
KAMU SEDANG MEMBACA
KALA : The Eternal Love [Majapahit]
Historical FictionRevisi!! Mohon maaf jika ada beberapa part yg berantakan. "Ratusan purnama telah aku lewati, ratusan perpisahan telah aku alami, namun dari sekian lamanya menjalani hidup yang menyakitkan, kaulah yang paling kudambakan." - Tarachandra Utpala Latar...