Setelah perbincangan itu, Maya memutuskan untuk pergi secara diam-diam dari Arya Warinjing. Ia juga meninggalkan sebuah catatan yang terbuat dari lontar untuk Tarachandra, ia merasa tidak enak karena ucapan Sasmita tadi.
Ia harus merelakan perasaannya demi tujuan utama Tarachandra, ia harus meninggalkan padepokan dan juga Tarachandra. Maya berusaha untuk tetap tegar dan kuat menghadapi kenyataan yang tak kalah pahitnya dari dunia modern.
"Aku harus ikhlas," lirih Maya disela tangisannya, ia segera menyiapkan beberapa keperluannya untuk pergi dari padepokan ini nanti malam.
***
Tarachandra memacu kudanya dengan kecepatan penuh, bahkan saat ini Narayandra terlah tertinggal jauh di belakang sana.
"Tunggu aku, Maya," ucap Tarachandra sembari memacu kudanya untuk lebih cepat lagi. Ia tak peduli meskipun saat ini hujan deras menerpanya, bukan menjadikannya sebagai halangan untuknya. Ia juga harus berbicara banyak hal pada Maya, ia benar-benar ingin menyampaikan banyak hal pada Maya.
***
Malam hari pun semakin larut, banyak murid padepokan memilih untuk beristirahat di malam hari. Maya saat ini tengah memantau kondisi sekitar dan memastikan bahwa tidak ada orang yang mengetahui bahwa dirinya pergi meninggalkan padepokan.
Dirasa sudah aman, Maya segera pergi dan berjalan secara mengendap keluar dari padepokan itu. Namun, ternyata ada seseorang yang melihat kepergian Maya tetapi seseorang itu tersenyum penuh kemenangan.
Maya berjalan tak tahu arah, punggungnya menggendong kain panjang yang ia kenakan untuk membawa beberapa pakaian dan bekal agar ia tak repot untuk membeli. Ia merasa galau karena Tarachandra tidak memberi satu gobog pun, sungguh keterlaluan pikir Maya.
Suasana kota Lamajang terlihat sangat sepi seperti kota mati, jalanan hanya diterangi oleh pencahayaan berupa obor yang di taruh ditiap depan rumah warga. Maya juga merasa dirinya kedinginan terkena hembusan angin malam, ia juga merasa merinding. Tanpa ia sadari seseorang mengikutinya sedari tadi.
Maya segera mencari gubuk yang tak berpenghuni, namun hampir 2 jam ia berjalan dan ia telah sampai di gapura perbatasan Kota Lamajang dengan sebuah hutan yang terlihat amat sangat gelap ia tak menemukan satu pondok ataupun gubuk yang kosong. Ia merasa sangat frustasi, disisi ia galau karena harus meninggalkan pujaan hatinya, ia juga merasa sangat kesal karena tidak memiliki apapun selain perhiasan pemberian Dewi Setyawati dan sebuah kalung dari Tarachandra.
Ia berpikir untuk menjual perhiasan itu, namun ia urungkan karena itu merupakan hadiah dari Tarachandra dan Dewi Setyawati. Ia akan berusaha mencari pekerjaan, namun ia harus meninggalkan Lamajang. Sungguh ia sangat kesulitan mencari arah menuju Tumapel, sangat tidak mudah.
Jika di masa depan ada papan penunjuk jalan ataupun maps, sedangkan di masa ini ia merasa sangat bodoh. Tapi untungnya ia bisa berbahasa kawi dan bisa membaca tulisan jawa kuno, itu saja sudah membuat Maya sujud syukur. Ia membayangkan bagaimana keadaannya jika saja ia tidak bisa bahasa kawi ataupun tulisannya, pasti akan sangat membuatnya semakin sengsara.
"Hah, Menyebalkan!" teriak Maya yang mulai kesal. Ia memutuskan untuk duduk di bawah gapura perbatasan, ia bisa saja tidur disini karena saking lelahnya. Namun, ia tidak gila bisa saja nanti ada para perampok atau seseorang yang berniat jahat padanya. Akhirnya dengan memberanikan diri ia akan melewati hutan itu berbekal obor yang ia ambil dari salah satu rumah warga.
"Perempuan gila," ujar seseorang yang terus mengikuti Maya dari kejauhan.
***
Keesokan harinya, Tarachandra tiba di Lamajang. Ia berlari menuju kamar Maya, dan tak mendapati sosok yang ia cari di dalam sana. Ia berteriak memanggil Dewi Kusumaningsih"Mbok! Dimana Prabawati?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
KALA : The Eternal Love [Majapahit]
Historical FictionRevisi!! Mohon maaf jika ada beberapa part yg berantakan. "Ratusan purnama telah aku lewati, ratusan perpisahan telah aku alami, namun dari sekian lamanya menjalani hidup yang menyakitkan, kaulah yang paling kudambakan." - Tarachandra Utpala Latar...