Maya terdiam mendengar ucapan dingin dari Wistara, suasana menjadi suram. Beberapa menit kemudian, Narayandra dan Tarachandra kembali menuju tempat mereka sembari membawa dua kendi yang berisi air untuk mereka konsumsi dan untuk air minum kuda. Tarachandra menyadari suasana yang begitu hening dan suram antara Maya dan Wistara.
"Kalian bertengkar?" tanya Tarachandra pada keduanya.
"Tidak!" jawab keduanya serempak, Tarachandra menghela nafas panjang. Ia mengerti hubungan antara Maya dan Tarachandra tidaklah akur.
"Baiklah, terserah kalian," ujar Tarachandra acuh tak acuh, lalu ia memberi minum kudanya. Narayandra menyalakan api unggun untuk menghangatkan diri mereka, sedangkan Wistara menata alas untuk mereka tidur nanti malam.
"Kita tidur bersama disini?" tanya Maya tak yakin, karena ia merasa tak enak jika tidur bersama ketiga pria ini.
"Jika tidak suka kau tidurlah di atas pohon," balas Wistara dengan ketus.
"Tenang saja, aku akan menatakan tempatmu secara terpisah," sahut Tarachandra sembari tersenyum lembut kepada Maya, Maya hanya membalas ucapan pria itu dengan anggukan singkat.
Semuanya telah selesai, Narayandra telah menyalakan api, Tarachandra juga telah menatakan alas tidur untuk Maya. Kini, mereka tengah membakar ubi serta ikan yang mereka bawa dari kediaman Narayandra.
"Sudah lama sekali aku tidak merasakan perjalanan jauh bersama kalian," celetuk Narayandra.
"Iya, aku juga merindukan kebersamaan kita dulu. Sebelum menikah kau tidak pernah pulang dari padepokanku , kau menginap disana hingga berbulan-bulan lamanya membuat rama mu geram," ucap Tarachandra, mereka bertiga bernostalgia tentang persahabatan mereka dulu sebelum Narayandra menikah. Maya hanya bisa tersenyum sembari menyimak pembicaraan ketiga pria itu, sesekali Maya melamun dan tak percaya bisa terjebak di masa ini.
Hari semakin malam, Narayandra dan Wistara telah tertidur. Maya berada di ujung kiri tepat di sebelah Tarachandra, namun pria itu berpamitan untuk pergi ke sungai sebentar. Maya merasa sedikit berisik dengan dengkuran keras Narayandra yang seolah menggema ke seluruh penjuru hutan.
"Kenapa dengkurannya begitu keras?" gerutu Maya. Beberapa saat kemudian Tarachandra kembali dari sungai, ia melihat Maya yang masih terjaga dan menatap kosong ke arah api unggun. Tarachandra menepuk bahu Maya dan membuatnya menoleh "Kenapa tidak tidur?" tanya pria itu disertai dengan senyuman manisnya.
"Entahlah," jawab Maya singkat, Tarachandra merasa gadis ini memang tengah memikirkan suatu hal yang mengganggu pikirannya. Tarachandra memberikan sebuah bunga yang ia petik dari hutan "Ini, bunga cantik secantik dirimu yang ku petik dari hutan," ucap Tarachandra yang membuat Maya merasa sangat terkejut.
"Eh? Ini bunga mawar putih?" Tarachandra mengangguk, ia mengaku bahwa menemukan bunga itu ketika dalam perjalan menuju sungai.
"T-terimakasih," ucap Maya sembari menerima pemberian pria itu, namun di dalam pikirannya masih terngiang ucapan Wistara yang menyuruh agar dirinya tidak memiliki hubungan apapun dengan Tarachandra. Ia masih bingung, kenapa Wistara menyuruhnya untuk menjaga jarak dengan Wistara?
"A-aku akan tidur." Maya memilih untuk tidur dan membelakangi Tarachandra, ia merasakan panas di kedua pipinya. Jantungnya pun berdetak semakin kencang, ia tidak bisa membohongi perasaannya sendiri jika ia telah jatuh hati pada Tarachandra.
"Selamat tidur," ucap Tarachandra yang juga memposisikan dirinya untuk mengistirahatkan tubuhnya yang sudah terasa amat sangat lelah. Maya berteriak dalam hatinya, ia merasa kesal karena harus jatuh hati pada pria ini. Namun, ia memilih untuk menahan perasaannya ini karena takut Tarachandra akan risih jika mengetahui Maya telah menyukainya.
Ia juga masih kepikiran dengan ucapan Wistara yang menegaskan bahwa dirinya tidak boleh menjalin hubungan dengan Tarachandra. Maya berusaha menetralkan degup jantungnya yang berdetak semakin kencang, ia menjadi semakin resah karena perasaannya sendiri.
***
Kicauan burung dipagi hari membangunkan Maya dari tidurnya, ia meregangkan otot-ototnya yang merasa sangat linu karena perjalanan panjang yang telah ia tempuh. Lalu, ia melihat keadaan sekitar ia nampak terkejut karena melihat ketiga pria itu telah bangun dan duduk sembari menatap dirinya yang sudah bangun.
Ia juga mendapatkan tatapan tajam dari Wistara "Aku tidak tega membangunkanmu, maka kami akan melanjutkan perjalanan setelah menunggu dirimu bangun," ucap Tarachandra sembari tersenyum manis ke arah Maya. Maya merasa begitu malu karena ia bangun kesiangan karena semalaman ia merasa tak bisa tidur karena memikirkan perasaannya pada Tarachandra.
"Benar sekali, kau terlihat sangat amat kelelahan. Kau mendengkur sangat keras, bahkan kau mengigau dan berkata, "Jangan tinggalkan aku!" betapa lucunya dirimu," ucap Narayandra yang membuat Maya semakin malu, Tarachandra mencubit lengan Narayandra karena ia telah mempermalukan Maya.
"Aw! maafkan aku," ujar Narayandra yang merasa dirinya kelepasan. Wistara sendiri hanya bisa menghela nafas dengan kasar "Dasar merepotkan," ucap Wistara. Tarachandra yang merasa tidak enak kepada Maya karena sikap rekan-rekannya yang sangat frontal itupun berusaha meminta maaf.
"Maafkan mereka, ini minumlah air putih. Kita akan mencari makan ketika kita sampai di perkampungan warga," tutur Tarachandra pada Maya. Maya mengangguk pasrah sembari meminum air yang diberikan oleh Tarachandra.
Setelah itu, mereka pun segera melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Lamajang tempat dimana padepokan milik Tarachandra berada. Maya terdiam dan bergelut dengan pikirannya sendiri, merasakan ada yang telah membebani pikiran gadis di depannya ini Tarachandra membuka suara "Sebenarnya apa yang sedang kamu pikirkan?"
Maya hanya bisa diam sembari menghembuskan nafasnya dengan berat "Tidak ada," jawabnya singkat. Tarachandra paham, Maya sangat terlihat murung, ia berpikir mungkin karena disebabkan pertengkarannya dengan Wistara.
"Bukannya aku ikut campur dengan apa yang terjadi diantara dirimu ataupun Wistara, hanya saja memang Wistara seperti itu. Ia berubah menjadi sangat amat dingin setelah meninggalnya Mpu Nambi, yang ia pikirkan hanyalah menuntut balas atas kematian Mpu Nambi. Begitu pula dengan diriku, aku dan Wistara sama-sama berniat membalaskan kematian Mpu Nambi, bahkan aku telah bersumpah akan memenangkan pertarungan itu jika kalah lebih baik mati, itu yang aku ucapkan."
Maya semakin kepikiran dengan ucapan Tarachandra, jika ia telah bersumpah seperti itu maka sangat kecil kemungkinan untuk dirinya bisa bersama dengan Tarachandra. Maya juga berpikir sedari awal ia memang tidak ditakdirkan untuk bersama Tarachandra, karena ia berasal dari masa yang berbeda.
"Seandainya kamu melanggar sumpah itu? Apa yang akan menimpa dirimu?" tanya Maya penasaran. Tarachandra terdiam sejenak untuk menjawab pertanyaan Maya "Entahlah, yang pasti aku akan menerima konsekuensinya," jawabnya.
"Tidak bisakah kau pulang selamat dari medan perang demi aku?" pinta Maya tanpa berpikir panjang. Hal itu membuat Tarachandra membeku, ia merasa terkejut mendengar permohonan yang berasal dari gadis itu.
"Tidak bisa," jawab Tarachandra singkat. Jawaban itu membuat Maya semakin sadar, ia bukan siapa-siapa bagi Tarachandra. Ia bahkan juga merasa dirinya telah ditolak oleh Tarachandra, bahkan sebelum menyatakan perasaannya. Yang jelas ucapan Wistara ada benarnya untuk tidak menjalin hubungan apapun dengan Tarachandra.
Maya terdiam, begitu pula Tarachandra yang merasakan aura Maya yang semakin suram. Ia sendiri merasa bersalah atas jawaban yang ia nyatakan, namun itu benar adanya. Ia tidak bisa dengan mudah mematahkan sumpah suci yang ia ucapkan di hadapan sang dewa atau ia akan menerima kutukan dari dewa.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
KALA : The Eternal Love [Majapahit]
Historical FictionRevisi!! Mohon maaf jika ada beberapa part yg berantakan. "Ratusan purnama telah aku lewati, ratusan perpisahan telah aku alami, namun dari sekian lamanya menjalani hidup yang menyakitkan, kaulah yang paling kudambakan." - Tarachandra Utpala Latar...