Maya kini menghabiskan waktu untuk mempelajari beberapa cara dan ramuan untuk pengobatan. Ia juga memiliki niat untuk membuat kebun di pekarangan rumahnya yang cukup luas.
Ini adalah hari pertama tanpa Tarachandra, meskipun kesepian Maya berusaha untuk tetap tegar dan kuat. Kali ini Maya memutuskan untuk turun menuju kota, ia berjalan kaki sejauh 5 km. Ia berniat untuk membeli beberapa keperluan untuk bahan obat ataupun persediaan makanannya.
Ia juga berniat pergi menuju sebuah pertanian yang di lihat Maya tempo hari lalu. Pertanian itu ada di lereng bukit dimana rumah Maya berada, dan sungguh kebetulan letak pertanian hanya berjarak 2 km dari rumah Maya. Maya berencana mampir ke sebuah rumah yang ada di tengah pertanian itu setelah ia selesai berbelanja di pasar.
Rumah itu nampak asri dan sederhana, di sebelahnya terdapat pondok kecil yang mungkin digunakan sang petani untuk beristirahat ketika beristirahat. Maya melihat pertanian ini begitu luas, bukan hanya ada padi, ada juga bawang dan beberapa sayur mayur. Dan terletak di belakang rumah itu terdapat perkebunan yang terlihat seperti tanaman pohon cengkeh dan kapas.
Dari kejauhan ia melihat beberapa petani yang sepertinya tengah membajak sawah dengan menggunakan kerbau. Maya sangat senang bisa menyaksikan sistem pertanian jaman dahulu yang terbilang sudah cukup maju, itu semua juga Maya lihat dari irigasi yang dibuat dengan sempurna.
Setelah beberapa menit berjalan, Maya telah tiba di pusat kota Daha. Ia memperhatikan aktivitas penduduk pada masa itu yang terlihat begitu makmur dan sejahtera. Maya berjalan ke salah satu tempat pedagang sayur mayur dan membelinya menggunakan gobog yang diberikan Tarachandra padanya.
Tak lupa ia juga membeli beberapa buah serta tanaman toga yang dijual di pasar itu. Setelah dirasa persediaannya cukup, ia segera pergi dari pasar tersebut. Ia melihat bahwa rakyat di masa itu hidup secara damai dan rukun, hidup mereka terasa tak dipenuhi beban.
Setelah puas melihat-lihat kondisi kota Daha, Maya memutuskan untuk kembali ke rumahnya sebelum hari semakin gelap. Ia juga belum bertemu dengan pemilik pertanian yang ada di dekat rumahnya, ia harus segera kesana.
Maya telah sampai di depan pertanian, untuk sampai ke rumah pemilik Maya harus melintasi persawahan yang cukup luas. Ia melihat keadaan sekitar sudah sepi, tak seperti ketika iaa berangkat ke pasar tadi yang masih ada beberapa petani di sawah.
Maya terus berjalan menyusuri persawahan, hingga ia pun telah tiba tepat di depan pintu rumah pemilik sawah. Maya mengetuk pintu sembari mengucapkan permisis, dan beberapa detik kemudian seseorang membukakannya pintu. Dan menampakkan sosok pria yang seusia dengan Tarachandra, pria itu terlihat bukan seperti seorang petani biasa karena kulitnya terbilang bersih.
"Maafkan saya mengganggu anda, saya ingin bertanya sebentar," ucap Maya pada pria itu, pria itu terlihat sangat santai dan tak keberatan.
"Monggo," jawab pria itu diiringi dengan senyum yang begitu ramah.
"Apa anda pemilik pertanian ini?" tanya Maya pada pria itu.
"Sebelumnya maaf, perkenalkan saya Prabawati," imbuh Maya yang lupa memperkenalkan dirinya.
"Iya salam kenal, saya Kawindra," balas pria yang ternyata bernama Kawindra.
"Sebenarnya saya bukan pemilik dari pertanian serta perkebunan ini, saya hanyalah seorang Ambekel Tuwuh yang berada di bawah pemerintahan Kanjeng Ratu Tribhuwana Tunggadewi. Dan ini semua milik kerajaan Majapahit dan para rakyat yang mengerjakan sendiri semua pertanian dan perkebunan di bawah pantauan saya," jelas Kawindra pada Maya.
"Eh, mohon maaf saya tidak tahu kalau anda seorang ambekel tuwuh dan pertanian ini juga milik kerajaan. Saya seseorang dari Lamajang yang baru saja tiba di Daha, saya berniat tinggal di rumah yang ada di atas bukit sana. Tadinya saya ingin membeli beberapa bibit atau sayur yang ada namun-"
"Anda bisa membelinya, semua orang juga bisa membeli hasil bumi ini secara langsung. Memang tujuan pertanian disini ditujukan untuk para rakyat, bukan untuk kerajaan. Kerajaan memiliki tempat pertanian dan kebunnya sendiri di daerah Trowulan, Tumapel dan Kahuripan. Kerajaan hanya menerima pajak dari penyewa yang berasal dari rakyat, rakyat juga bisa menyewa tanah ini dengan memberikan sedikit hasil buminya ke Majapahit," sahut Kawindra.
Maya juga baru mengetahui hal itu, tidak heran kenapa di sini sawah begitu luas, perkebunannya juga sangat luas. Dan hanya ada satu rumah di tengah-tengahnya, ternyata rumah itu adalah rumah dinas seorang ambekel tuwuh.
"Apa ada lahan yang masih kosong? mungkin saya bisa menyewanya untuk menanam buah-buahan," tanya Maya pada Kawindra.
"Tentu saja, omong-omong anda berencana akan menanam apa?"
"Saya akan menanam pisang dan mungkin apel," jawab Maya.
Kawindra menjelaskan pada Maya tentang syarat untuk menyewa sebidang tanah, dan Maya juga tak lupa menanyakan bagaimana cara yang baik untuk menanam pisang dan apel. Mereka berbincang dengan cukup lama, hingga Maya menyadari hari mulai gelap ia izin pamit pada Kawindra.
"Saya mohon izin untuk pulang terlebih dahulu," ujar Maya.
"Saya antar, karena cukup gelap dan sepi di atas sana," sahut Kawindra.
"Tidak usah-"
"Aku tidak suka penolakan," ucap Kawindra yang terdengar paten dan tak bisa diganggu gugat. Kawindra mengantar Maya, tak lupa ia juga memberikan obor sebagai penerangan.
"Nanti istri anda akan marah," celetuk Maya yang merasa sungkan dan tak enak.
"Saya belum menikah," balas Kawindra.
"Kenapa bisa pria se-tampan anda belum menikah?"
"Saya pernah hampir menikah, namun calon istri saya tiba-tiba meninggal karena sebuah insiden perampokan yang terjadi di kediamannya," lirih Kawindra. Maya merasa sangat bersalah dengan menanyakan hal bodoh itu pada pria yang baru ia kenal.
"Maafkan saya, saya tidak bermaksud-"
"Tidak apa-apa, itu terjadi 5 tahun yang lalu. Saya sudah bisa melupakannya, dan saya fokus untuk bekerja dan mengabdikan diri pada Majapahit," sahut Kawindra sembari melemparkan senyumannya yang begitu lembut dan tulus.
"Anda sendiri bagaimana? Apa anda tinggal sendirian di rumah itu?" tanya Kawindra yang penasaran.
"Iya, saya memiliki calon suami. Namun, ia menjadi seorang prajurit kepercayaan Sadeng sehingga membuat kami terpisah," ucap Maya pada Kawindra.
"Di Sadeng? itu sangat jauh, tapi kenapa anda memilih untuk tinggal di Daha?"
"Rumah itu adalah rumah peninggalan kedua orangtua calon suamiku, jadi kami berencana akan menetap disana," jawab Maya sekenanya, karena tak mungkin ia menceritakan alasan dan kejadian sebenarnya pada Kawindra.
Tak terasa mereka telah tiba di depan rumah Maya, meskipun suasana sangatlah gelap gulita Maya merasa tenang karena telah menerima obor dari Kawindra.
"Silahkan mampir dulu," tawar Maya basa-basi.
"Lain kali saja, kalau begitu saya permisi dulu." Kawindra menolak tawaran Maya, ia berpamitan untuk pergi kembali menuju ke rumah dinasnya. Maya merasa bahwa Kawindra adalah pria yang baik, dan ia merasa bahwa Kawindra bukanlah orang asing baginya.
***
Sesampainya Kawindra di kediamannya, ia menaruh obor pada tempat yang telah ia sediakan. Ia duduk sembari menerawang ke langit-langit rumahnya, ia menghembuskan nafasnya dengan keras.
"Akhirnya aku bertemu dengannya bu," lirihnya sembari memejamkan kedua matanya.
***
Bersambung..
*Glosarium
Amekel Tuwuh : Pejabat yang mengurusi hasil bumi.
Hallo! Gimana Chapter kali ini? comment ya <3 jangan lupa vote juga <3
Terimakasih,
KAMU SEDANG MEMBACA
KALA : The Eternal Love [Majapahit]
Historical FictionRevisi!! Mohon maaf jika ada beberapa part yg berantakan. "Ratusan purnama telah aku lewati, ratusan perpisahan telah aku alami, namun dari sekian lamanya menjalani hidup yang menyakitkan, kaulah yang paling kudambakan." - Tarachandra Utpala Latar...