Hari sudah menjelang senja, mereka telah tiba di sebuah perkampungan yang terlihat tengah mengadakan pagelaran tari. Itu semua terlihat ketika mereka melihat acara tari yang dilaksanakan di aula yang ada di kampung itu.
Tarachandra menghentikan kudanya, dan seperti biasa membantu Maya untuk turun dari kudanya. Ia mengikatkan kudanya dengan erat pada sebuah tiang yang memang dikhususkan untuk mengikat kuda yang dimiliki pelanggan tempat makan itu.
"Kita akan makan disini, dan kita juga akan mencari penginapan di kampung ini," titah Tarachandra pada rombongannya. Mereka pun memasuki tempat makan itu dan di sambut oleh sosok wanita yang muda dan cantik.
"Sugeng Rawuh, mungkin ada yang bisa saya bantu?" tanya wanita itu dengan begitu lembut dan ramah.
"Kami ingin memesan empat porsi makanan," jawab Tarachandra, wanita itu mengiyakannya dan segera pergi menyiapkan makanan untuk Tarachandra serta rekan-rekannya.
Beberapa saat setelah mereka selesai menyantap hidangan mereka, tak lupa Tarachandra bertanya tentang penginapan yang ada di kampung ini kepada wanita penjaga tempat makan. Namun, sayangnya di kampung ini tidak terdapat satupun penginapan. Alhasil merekapun harus tetap melanjutkan perjalanan mereka, meskipun malam sudah semakin larut.
Dalam perjalanan posisi kuda Wistara di depan, Narayandra di tengah dan Tarachandra di belakang. Hawa dingin semakin menusuk kulit mereka, mereka memutuskan untuk mengenakan kain untuk menangkal hawa dingin yang menggerogoti kulit mereka.
"Kau kedinginan?" tanya Tarachandra yang khawatir akan keadaan Maya yang terlihat menggigil meski sudah berselimutkan dua kain. Maya hanya bisa menganggu dengan lemas menjawab pertanyaan Tarachandra. Tarachandra semakin merapatkan tubuhnya pada tubuh Maya, sembari memegang tali kekang tangan kirinya menggenggam tangan Maya yang terasa begitu dingin.
"Kau dingin sekali," ucap Tarachandra yang terlihat cemas dengan keadaan Maya. Ia juga melihat wajah Maya yang menjadi begitu pucat, bahkan bibirnya pun membiru. "Narayandra! Wistara! berhentilah!" teriak Tarachandra pada kedua rekannya.
Kedua rekannya menoleh kebelakang dan mendapati Tarachandra yang sudah berhenti dan terlihat membopong Maya yang sudah tak sadarkan diri. Keduanya segera memacu kudanya kembali menuju Tarachandra dan Maya.
"Apa yang terjadi?!" tanya Narayandra yang khawatir pada kondisi Maya yang sudah tak sadarkan diri. "Dia kedinginan," ucap Tarachandra sembari memeluk erat tubuh Maya yang sudah terasa sangat amat dingin.
"Ck, merepotkan," decak Wistara kesal yang kemudian segera meloncat dari atas kudanya, dengan sigap ia segera mencari ranting untuk menyalakan api unggun. Tarachandra masih terus memeluk tubuh Maya, ia membagi suhu tubuhnya yang panas pada tubuh Maya yang sangat terasa dingin.
Narayandra sendiri membantu Wistara untuk mencari ranting, setelah terkumpul dengan segera mereka membuat api unggun. Mereka bertiga nampak sangat amat khawatir dengan keadaan Maya.
"Prabawati, sadarlah!" teriak Tarachandra sembari menggosok tangan Maya agar menjadi lebih hangat. "Ku mohon sadarlah," lirih Tarachandra.
***
Maya terbangun, ia melihat adiknya berlalu menuju arahnya. Ia juga melihat sekeliling , ia berada di tempat yang tercium bau obat. Ini seperti berada di rumah sakit, ia melihat ada ibunya yang tengah menangis haru melihat dirinya. Ia juga merasakan ada alat bantu pernafasan yang terpasang pada hidungnya, ia juga merasakan infus yang terpasang di lengannya.
"Mbak!" teriak Madya sembari memeluk erat dirinya, ia merasa ini sangat nyata. Apakah ia sudah kembali ke masa depan?
"Madya?"
"Mbak Maya!" Madya masih menangis sembari memeluknya dengan erat, begitu pula ibunya yang kini juga memeluk dirinya dengan erat. Ini semua terasa nyata, apakah dia sudah kembali?
Di sudut ruangan ia melihat sosok yang sangat tak asing, sosok itu mengenakan setelan jas hitam dengan kemeja putih. Ia begitu rapi dan terlihat sangat tampan, sosok itu tersenyum manis ke arah Maya.
"Tarachandra?!" teriak Maya terkejut, namun tak selang beberapa lama pengelihatannya memburam. Namun, ia masih bisa mendengar teriakan Madya dan ibunya. Perlahan suara itu menjadi samar, dan benar-benar menghilang.
***
"Hah!" Maya terbangun dari pingsannya, tubunya dipenuhi dengan keringat yang sebesar jagung. Jantungnya merasa berhenti sejenak, ia merasa sangat mual dan pusing secara bersamaan. Ketika ia melihat sekitar ia mendapati Narayandra yang tengah tertidur di sebelah kananya.
"Jadi itu hanya mimpi," lirih Maya dengan penuh kekecewaan.
"Prabawati!" teriak Tarachandra dari kejauhan, ia berlari sembari membawa beberapa tanaman herbal.
"Kau tak apa?!" tanya Tarachandra dengan penuh kekhawatiran. Maya merasa sangat pusing, ia juga baru sadar bahwa hari sudah cerah, matahari sudah bersinar dengan terik.
"A-aku kenapa?" tanya Maya linglung. Tarachandra memeluk gadis itu dengan erat, ia membelai lembut rambut panjang Maya.
"Kau hampir saja mati karena kedinginan, jika bukan karena ramuan herbalku mungkin kau tak akan bertahan hidup." Ucapan Tarachandra membuat Maya semakin kebingungan.
"Aku hampir mati?" Tarachandra mengangguk, ia melepaskan pelukannya pada Maya. Dan menatap Maya dengan tatapan yang tulus dan takut kehilangan. Maya merasa sangat senang ketika melihat kekhawatiran Tarachandra pada dirinya, ia tersenyum geli melihat raut wajah Tarachandra.
"Kau takut kehilangan diriku ya?" goda Maya pada Tarachandra, sontak hal itu membuat Tarachandra menjauhkan dirinya dari Maya.
"Tidak!" sanggahnya, Maya semakin tertawa melihat Tarachandra yang begitu menggemaskan. Dari kejauhan Wistara melihat mereka bercengkerama dengan begitu dekat, ia mengepalkan kedua tangannya dengan begitu erat. Lalu, dengan segera ia berjalan menuju tempat dimana Tarachandra dan Maya berada.
"Dasar merepotkan, belum puas kau merepotkan kami? kami sangat terbebani karenamu!" teriakan Wistara membuat Narayandra terbangun, Tarachandra dan Maya terkejut karena teriakan keras dari Wistara yang terlihat begitu emosi.
"Jika seandainya kau tidak ikut kami, kami tidak akan kerepotan dan kami sudah sampai di Sadeng saat ini!" lanjutnya dengan penuh emosi, Maya merasa sakit hati matanya mulai berkaca-kaca.
"Wistara! apa yang kau lakukan?! dia baru saja sadar dari ambang kematiannya!" teriak Tarachandra pada Wistara. Wistara tersenyum remeh pada Tarachandra, ia juga menatap sahabatnya itu dengan tatapan meremehkan.
"Lihat, kau bahkan membela gadis lemah ini?" ucap Wistara yang semakin membuat keadaan menjadi memanas.
"Wistara, sudahlah jangan berbicara seperti itu. Semalam kau juga terlihat sangat memperhatikan keadaan Prabawati, bahkan kau yang mencari tanaman herbal untuk mengobati nya.Bahkan kau juga menyuruh Tarachandra untuk bergegas membuat ramuan untuk Prabawati," celetuk Narayandra.
Wistara hanya bisa terdiam, lalu tanpa bicara ia meraih pedangnya dan segera menaiki kudanya "Aku akan pergi dahulu," ucapnya. Lalu, ia memacu kudanya dengan sangat kencang meninggalkan Maya, Tarachandra dan Narayandra.
Tarachandra juga terlihat sangat kesal pada perilaku kasar sahabatnya itu, Maya sendiri telah meneteskan air mata yang sudah tidak dapat ia bendung lagi. Ia hanya bisa tertunduk sedih karena sakit hati oleh ucapan Wistara.
"Sudah-sudah, Prabawati kamu jangan bersedih. Wistara memang orang yang suka berbicara seenaknya, tapi sesungguhnya ia adalah sosok yang begitu setia dan baik hati. Tidak usah kau pikirkan ucapan menyakitkan yang berasal dari mulutnya. Tarachandra, tenanglah aku juga tidak pernah melihatmu sekesal ini."
Narayandra mencoba menenangkan kedua rekannya itu, setelah dirasa lebih tenang mereka segera pergi melanjutkan perjalanannya menuju Lamajang.
***
*Glosarium
Sugeng Rawuh: Selamat datang (bahasa jawa halus/krama)
KAMU SEDANG MEMBACA
KALA : The Eternal Love [Majapahit]
Ficción históricaRevisi!! Mohon maaf jika ada beberapa part yg berantakan. "Ratusan purnama telah aku lewati, ratusan perpisahan telah aku alami, namun dari sekian lamanya menjalani hidup yang menyakitkan, kaulah yang paling kudambakan." - Tarachandra Utpala Latar...