Keheningan menyelimuti perjalanan mereka, Maya merasa keadaannya begitu amat sangat canggung. Karena ia harus berpegangan pada pinggang Wistara, dengan kata lain ia harus memeluk tubuh jakung pria itu. Sesekali Maya mencium aroma gaharu yang menguar dari tubuh pemuda yang ada di depannya ini.
Sungguh Maya sedikit terlena dengan paras tampan dan daksa perkasa pria ini, meskipun ia memiliki sikap yang begitu kaku dan dingin. Maya juga sedikit kikuk, karena pakaian orang jawa kuno hanya mengenakan bawahan tanpa mengenakan atasan, dan hanya di tutupi oleh beberapa hiasan saja.
Maya juga melihat punggung telanjang Wistara dipenuhi oleh bekas goresan luka yang memanjang. Maya sedikit menelan ludahnya dengan kasar, karena bisa saja Wistara seorang penjahat. Namun, sudah terlambat karena saat ini mereka tengah berada di dalam sebuah hutan yang begitu lebat dan akan lebih bodoh untuk Maya jika ia memilih kabur karena ia tidak tahu arah menuju Tumapel.
Hari juga mulai gelap, Wistara segera mencari tempat untuk mereka beristirahat. Mereka sampai di pertengahan hutan yang di penuhi pepohonan yang menjulang tinggi, Maya juga sudah merasa kram dan lapar.
Akhirnya Wistara menemukan sebuah tanah yang lapang, dan tepat dibawah pohon besar terdapat seperti pondok yang hampir roboh. Wistara turun dari kuda, begitu pula Maya yang melompat tanpa perhitungan sehingga menyebabkan ia terjerembab jatuh ke tanah.
"Dasar bodoh," ucap Wistara pada Maya, Maya sedikit kesal karena selain menahan sakit dan malu, Wistara tidak berniat untuk menolongnya. Wistara mengikat kudanya dengan kuat pada sebuah pohon yang berdiri tepat di sebelah pondok, pondok itu tidak memiliki dinding dan ya terkesan seperti pondok yang digunakan untuk melakukan ronda malam. Karena disana juga terdapat sebuah kentongan.
"Tunggu disini, aku akan menyalakan api dan membakar ubi," ujarnya pada Maya, Maya mengangguk paham karena memang dia tidak bisa menyalakan api secara tradisional seperti yang dilakukan pria ini. Wistara mengeluarkan tiga ubi dari sebuah kantong besar yang ia letakkan pada kuda itu, lalu ia juga mengumpulkan beberapa kayu bakar untuk membuat perapian.
Setelah berha sil menyalakan api, ia meletakkan ubi itu untuk di bakar. Maya sedikit heran, karena disana hanya ada mereka berdua kenapa ia melebihkan satu ubi? Apa mungkin porsi makan Wistara tidak cukup jika hanya mengkonsumsi satu ubi saja? Terserahlah. Maya memilih untuk diam dan tidak memikirkan hal yang tidak penting, hawa dingin mulai menyeruak menembus kulit Maya.
Wistara meminta Maya untuk mendekat ke perapian dengan tujuan untuk menghangatkan diri, Maya menuruti perintah Wistara karena memang ia merasa sangat kedinginan. Mereka hanya berdiam diri dan hanyut dalam keheningan senja, sesekali Maya menggosok kedua telapak tangannya karena memang dirinya merasa sangat kedinginan. Wistara melirik sekilas melihat ke arah Maya yang nampak menggigil, ia beranjak dari tempatnya dan mengambil sebuah kain panjang yang ada di kantong besarnya.
"Ini," ucapnya sembari memberikan kain tersebut kepada Maya, tanpa basa-basi gadis itu menerima pemberian Wistara. Dan segera menyelimutkan kain itu pada tubuhnya yang sangat kedinginan. Beberapa saat kemudian ubi bakar itu telah matang, Wistara mengambil ubi itu dengan sebilah ranting. Ia memberikan satu ubi untuk Maya dengan beralaskan daun jati yang ia ambil di sekitaran sini, dan satunya lagi ia makan.Maya heran, ia malah membungkus sisa dari ubi tersebut.
"Kau makanlah disini dan tunggu sebentar, kau jangan pergi kemana-mana," ucap Wistara, Maya kebingungan apakaha pria ini akan meninggalkannya sendirian?
"Kau ingin kemana?" tanya Maya.
"Bukan urusanmu, jika kau ingin selamat dengarkan ucapanku tadi. Jika ada suara apapun yang memanggilmu jangan dengarkan, tetap disini dan jangan menjauh dari perapian ini." Setelah itu Wistara mengambil pedangnya yang berada di sebelah kudanya tadi. Maya hanya bisa terdiam melihat pria itu mulai menghilang dalam kegelapan, pria ia membawa satu obor untuk ia gunakan untuk menerangi jalannya menuju tengah hutan.
Maya sangat merinding ketika melihat sekeliling yang hanya di penuhi pepohonan yang tinggi dan besar. Ia juga merasakan banyak pasang mata yang mengawasi dirinya dari kejauhan, bulu kuduknya meremang ia juga merasakan semilir angin yang menembus kulitnya. Ia berniat menyusul Wistara yang masuk ke tengah hutan, namun ia juga sangat takut untuk masuk ke tengah hutan yang terlihat begitu sunyi dan gelap.
Dari kejauhan ia melihat sosok wanita cantik dengan ageman yang begitu mewah menatapnya diiringi oleh senyum yang merekah dari bibirnya. Maya hanya bisa membeku di tempat, ia juga merasa sangat ketakutan. Jantungnya berdetak sangat kencang, wanita itu memiliki rambut panjang yang indah serta perhiasan emas yang bertengger indah di leher serta kedua tangan wanita itu.
"Hua!" Maya berteriak ketakutan, bodohnya ia berlari masuk ke dalam hutan. Ia berlari dengan sangat kencang, ia terus berlari tanpa melihat ke arah belakang. Tanpa ia sadari, ia telah masuk jauh ke dalam hutan yang begitu gelap dan sunyi. Nafasnya terengah, ia memilih berdiam di bawah sebuah pohon besar.
"A-apa itu tadi?" ucapnya ketakutan, ia baru menyadari bahwa sepertinya ia telah terlalu jauh masuk ke dalam hutan. Maya sangat kebingungan, ia juga merasa sangat ketakutan melihat hutan yang begitu gelap.
"Wistara!" Ia berteriak memanggil Wistara, ia sangat merutuki kebodohannya karena tidak menuruti tuturan Wistara. Ia kembali berjalan sembari berteriak memanggil Wistara, hingga ia pun jatuh terperosok ke dalam sebuah gua yang ada di dekatnya. Maya jatuh hingga ia tak sadarkan diri.
***
Keesokan paginya ia terbangunkan oleh suara gemericik air, ia mengelus kepalanya yang membentur tanah dengan sangat keras. Betapa terkejutnya Maya ketika ia terbangun di dalam sebuah gua yang begitu besar, gua itu juga memilki aliran sungai di dalamnya.
Maya yang meringis kesakitan mencoba untuk bangkit dan berteriak meminta tolong, dengan berjalan tertatih menahan sakit karena luka pada kaki dan kepalanya ia terus berjalan mencoba mencari jalan keluar dari gua. Ia melihat dari kejauhan ada sebuah air terjun yang begitu indah di dalam gua, disana juga terdapat beberapa pohon yang tumbuh dengan indah.
Ia sedikit heran karena ada pemandangan yang begitu menakjubkan di dalam gua yang besar ini, ia juga memutuskan untuk membasuh luka serta wajahnya dari aliran sungai kecil yang berpusat pada air terjun yang ada di depannya ini. Ia juga meminum air itu secara langsung, karena ia merasa sangat kehausan.
"Kau sudah sadar?" ucap seseorang yang entah sedari kapan sudah berada tepat di depannya. Ketika ia melihat sosok yang berbicara padanya, ia terkejut karena itu adalah sosok Wistara. Ia tengah duduk bersila menatap Maya dengan tatapan dingin.
"Wistara?" Seakan tak percaya melihat Wistara yang ada di depannya, Maya mengucek kasar kedua matanya.
"Sudah aku katakan untuk tidak menjauh dari perapian, tapi dengan bodohnya kamu melanggar itu." Maya hanya bisa menundukkan kepalanya setelah mendengar omelan dari Wistara, lalu ia mendengar langkah kaki yang perlahan mendekatinya. Sontak Maya menoleh ke sumber suara dan betapa terkejutnya ia melihat sosok pria yang nampak begitu tak asing baginya.
"Kau?!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
KALA : The Eternal Love [Majapahit]
Fiction HistoriqueRevisi!! Mohon maaf jika ada beberapa part yg berantakan. "Ratusan purnama telah aku lewati, ratusan perpisahan telah aku alami, namun dari sekian lamanya menjalani hidup yang menyakitkan, kaulah yang paling kudambakan." - Tarachandra Utpala Latar...