Kawindra tersenyum penuh arti, ia mencubit kedua pipi Maya. "Tidak usah dipikirkan, sepertinya kamu memang sudah melupakanku." Ucapan Kawindra semakin membuat Maya penasaran. Apa maksudnya tadi? Maya merasa ada yang aneh dengan pria ini.
"Prabawati, aku harus melanjutkan pekerjaanku," celetuk Kawindra.
"Baiklah, terimakasih. Aku pulang dulu, maafkan aku jika telah merepotkanmu," balas Maya, wanita itu pun berjalan kembali menuju kediamannya. Sekarang sudah 4 hari berlalu, Tarachandra belum kembali atau mengunjunginya namun ia sudah merasa sangat merindukan pria itu.
Namun, ia harus sadar diri bahwa Tarachandra memiliki tanggung jawab yang besar sebagai seorang punggawa kerajaan Sadeng. Ia tak boleh egois, ia berusaha tegar meskipun dirinya selalu merasa kesepian dikala malam tiba.
***
Sadeng
Tarachandra melatih beberapa prajurit atau rakyat yang pro terhadap Mpu Nambi, ia terlihat begitu lelah karena dalam beberapa hari ke depan selain menjadi pelatih para prajurit ia harus pergi ke Lamajang untuk urusan pekerjaan lainnya disana.
"Kalian beristirahatlah!" perintah Tarachandra pada para murid yang ia latih. Tarachandra duduk sembari minum air yang ada dalam kendi yang telah ia bawa sendiri dari rumahnya. Dari kejauhan ia melihat sosok Tuan Waruyu yang baru saja diangkat menjadi pemimpin Sadeng.
"Utpala," panggil Tuan Waruyu, lalu pria itu mendudukkan dirinya tepat di sebelah kanan Tarachandra.
"Aku memantau para prajurit yang berlatih, kau sangat hebat bisa mengumpulkan banyak prajurit yang kuat dan hebat. Mereka dapat menguasai beberapa ilmu dan teknik yang telah kau ajarkan dengan begitu cepat. Tidak salah Wirota Wirogati dan diriku mempercayai dirimu," puji Tuan Waruyu yang dibalas dengan senyuman sinis oleh Tarachandra Utpala.
"Tidak Raden, saya masih harus banyak belajar," balasnya.
"Maukah kamu menjadi patih kerajaan ini?" Tawaran Waruyu membuat Tarachandra sedikit terkejut. Namun, sejujurnya ia sangat tidak tertarik dengan hal berbau kekuasaan.
"Tidak Raden, kau berikan posisi itu pada orang yang lebih tepat. Saya mengabdikan diri dengan tulus karena memang ingin membalas kebaikan Mpu Nambi," tolak Tarachandra mengenai tawaran dari Tuan Waruyu.
"Ck, kau ini jangan menyia-nyiakan tawaran dariku. Kesempatan seperti ini tak akan datang 2 kali." Waruyu merayu Tarachandra agar menjadi patih dari kerajaan Sadeng, namun sedari dulu Tarachandra tidak pernah tertarik untuk ikut andil dalam pemerintahan kerajaan.
"Dasar, sedari dulu kau tetap menjadi orang yang keras kepala," ujar Waruyu sembari tersenyum palsu, lalu ia berpamitan untuk pergi dari area latihan prajurit. Tarachandra menatap kepergian Waruyu, namun pikirannya melayang ke Daha dimana sang pujaan hati berada.
Ia merasa sangat merindukan kekasihnya itu, namun karena tanggung jawab Tarachandra besar ia tidak bisa seenaknya pergi meninggalkan kedhaton. Tarachandra meraih kendi yang tadi ia gunakan untuk menampung air minum, lalu ia berjalan pergi kembali menuju rumahnya.
Ketika berjalan tiba-tiba seorang wanita menabraknya dengan keras, sehingga membuat kendi yang ia genggam jatuh dan terbelah menjadi dua. Lalu, gadis yang menabrakknya pun juga jatuh terpental.
"Ah!" teriak gadis itu.
Tarachandra hanya memandangi gadis itu dengan cengo, tanpa berniat menolong gadis itu.
"Pangapunten den, saya kurang hati-hati," gadis itu bangkit dengan sendirinya sembari menundukkan tubunya sebagai bentuk permintaan maaf pada Tarachandra.
"Njeh, lain kali lebih berhati-hati ya." Tarachandra tersenyum lembut dan memaafkan gadis itu, kemudian ia berjalan melewati gadis tersebut.
"Raden?" panggil gadis itu membuat Tarachandra menghentikan langkahnya dan berbalik menoleh ke gadis yang tadi menabrak dirinya.
"Hm?" sahut Tarachandra.
"Saya Prameswari, putri angkat Mpu Nambi dari Lasem." Tarachandra sedikit tertegun, ia mencoba mengingat sosok putri angkat Mpu Nambi. Melihat sosok wanita bernama Prameswari memanglah tak asing . "Jadi , kau putri Mpu Nambi?" tanya Tarachandra yang mencoba untuk memastikan.
"Raden telah melupakan saya rupanya," cicitnya sembari memasang wajah sedih. Tarachandra mencoba mengingatnya, dan yang ia ingat Mpu Nambi memang memiliki anak angkat yang berusia 5 tahun lebih muda darinya.
"Wah jadi kamu Prames to?" Tarachandra akhirnya mengingat sosok gadis yang dahulu menjadi salah satu temannya juga ketika mereka ada di padepokan milik Mpu Nambi di Lamajang.
"Njeh, akhirnya raden mengingat saya," ucap Prameswari. Tarachandra mengajak Prameswari untuk pergi ke rumahnya, karena Tarachandra ingin bertanya banyak hal pada gadis kecil yang kini telah tumbuh menjadi seorang gadis yang begitu anggun dan cantik.
Tarachandra mempersilahkan Prameswari duduk disalah satu kursi yang ada di meja tamu kediaman Tarachandra.
"Saya sudah mendengar dari beberapa orang, kamu sudah menjadi seorang pendekar yang hebat bahkan menjadi kepercayaan bagi Sadeng, Ketha dan Lamajang," puji Prameswari.
"Tidak, saya masih kurang dalam banyak hal. Saya harus belajar lebih banyak lagi,"jawab Tarachandra.
"Raden, kamu tetap orang yang rendah hati seperti dulu," ucap Prameswari sembari tersenyum dengan bangga akan sikap Tarachandra yang rendah hati.
"Kamu juga menolak tawaran untuk menjadi patih kerajaan Sadeng, memang kenapa kamu menolaknya?" tanya Prameswari penasaran.
"Saya tidak berhak mendapat posisi sepenting itu," balas Tarachandra.
"Sangat disayangkan, semua orang menginginkan posisi itu tetapi kamu malah menolaknya. Omong-omong aku juga sudah mendengar tentang sumpahmu itu, aku sangat terkejut kamu akan mempertaruhkan nyawamu demi ramaku. Maturnuwun sanget Raden Utpala," ucap Prameswari pada Tarachandra.
Mereka berbincang tentang banyak hal, hingga ketika matahari mulai terbenam Prameswari pun pamit undur diri. Di Sadeng Prameswari menjadi salah satu anggota Dharmmadhyaksa yaitu pejabat hukum keagamaan karena memang Prameswari terkenal dengan keberanian dan kecerdasannya.
Ia juga merupakan anak kandung dari Mpu Ngastara dan Dewi Candini, dan karena kedua orangtua Prameswari meninggal Mpu Nambi mengadopsinya sebagai anak ketika ia berusia 4 tahun.
***
Daha
Maya merasa sangat tak enak badan, ia sedari pagi tidak beranjak dari ranjangnya. Beberapa kali ia juga keluar masuk toilet sembari memuntahkan seluruh isi perutnya sehingga menyebabkan dia menjadi sangat lemas. Beberapa pelanggannya yang biasanya pergi berobat ataupun membeli ramuan sangat heran, karena tak biasanya Maya tutup seperti ini.
Beberapa pelanggan pun kembali, dan tanpa sengaja berpapasan dengan Kawindra. Kawindra mendengar percakapan pelanggan itu. "Tabib wanita itu sepertinya tidak ada di rumah, sudah dua hari ia tak membuka tempat pengobatannya."
Kawindra juga merasa heran, karena selama dua hari ini juga ia tak melihat Maya keluar dari rumahnya. Semenjak ia mengantarnya pulang, karena khawatir terjadi sesuatu dengan Maya akhirnya pria itu mencoba untuk menjenguk Maya. Ia segera mengambil kudanya yang berada di rumahnya dan memacu kudanya itu menuju kediaman Maya, sesampainya disana ia meneriaki nama 'Prabawati'.
"Prabawati!" teriak Kawindra namun tak kunjung mendapat jawaban. Kawindra berpikir untuk mendobrak pintu rumah itu, ia mencoba melihat pintu belakang yang terlihat rapuh dan sepertinya mudah untuk di dobrak. Akhirnya dengan sekali hentakan Kawindra berhasil mendobrak paksa pintu belakang.
"Prabawati!?" Ia mencari ke beberapa ruangan yang ada di rumah itu, lalu ia sangat terkejut mendapati Maya yang terbaring tak sadarkan diri di kamarnya.
"Prabawati!" teriak Kawindra yang sangat ketakutan, ia melihat wajah Prabawati begitu pucat dan tubuhnya terlihat sangat lemas. Dengan segera Kawindra membopong Prabawati untuk turun dari bukit dan pergi ke tabib yang ada di kota.
"Bertahanlah adikku," lirih Kawindra
***
Bersambung...
*Glosarium
Pangapunten : mohon maaf (bahasa jawa alus)
KAMU SEDANG MEMBACA
KALA : The Eternal Love [Majapahit]
Fiction HistoriqueRevisi!! Mohon maaf jika ada beberapa part yg berantakan. "Ratusan purnama telah aku lewati, ratusan perpisahan telah aku alami, namun dari sekian lamanya menjalani hidup yang menyakitkan, kaulah yang paling kudambakan." - Tarachandra Utpala Latar...