Keadaan menjadi kacau ketika Tarachandra berhasil dilumpuhkan oleh Ra Kembar. Wistara dan Narayandra kehilangan fokusnya, mereka sangat khawatir dan nampak terkejut melihat Tarachandra yang terduduk di tanah sembari mencoba mencabut anak panah yang tertancap itu.
"Akh!" erangan Tarachandra membuat Narayandra semakin khawatir.
"Utpala! Bertahanlah!" Narayandra mencoba mengampiri Tarachandra sembari melewati beberapa prajurit yang menghalaunya dengan serangan yang bertubi-tubi. Adityawarman berjalan santai ke arah Tarachandra sembari menggenggam pedangnya.
"Seandainya kau tidak memberontak, kau tidak akan berakhir seperti ini," bisik Adityawarman kepada Tarachandra. Tarachandra menyunggingkan senyuman yang begitu sinis "Bunuh saja aku," balas Tarachandra.
"Sesuai permintaan," jawab Adityawarman. Ketika Adityawarman hendak melayangkan pedangnya kepada Tarachandra, Narayandra datang mengahadang serangan Adityawarman. Pedang mereka saling beradu, mata mereka saling menyulutkan kobaran api amarah yang siap melahap apapun di depannya.
"Sialan kau!" teriak Narayandra.
Hingga dari arah belakang datanglah Gajah Mada yang siap melayangkan pedangnya kepada Narayandra.
"Hya!" teriak Gajah Mada membuat Narayandra yang tak siap dengan serangan itu dan kemudian membuatnya lengah.
JLEB...
Pedang Gajah Mada berhasil menusuk dalam Tarachandra, ia menahan serangan itu menggunakan tubuhnya.
"Utpala!" sebelum berhasil menyentuh tubuh rekannya, Narayandra harus merasakan sakitnya ketika pedang tajam Adityawarman berhasil menembus kulit punggungnya. Narayandra jatuh tersungkur ke tanah.
Melihat kedua rekannya yang berada diambang kematian membuat Wistara menjadi semakin dendam kepada Majapahit. Namun, ia tidak boleh mati begitu saja karena ia masih memiliki rencana lain untuk Sadeng dan Ketha.
"Hya!" Wistara menembus sisa prajurit untuk pergi keluar dari medan tempur meninggalkan kedua rekannya yang tengah dalam keadaan sekarat. Namun naas, keduanya tak bisa bertahan lama karena harus banyak kehilangan darah hingga menyebabkan keduanya pun meninggal begitu saja.
Seusai perang itu, Gajah Mada memerintahkan prajuritnya untuk mengumpulkan jasad Tarachandra dan Narayandra menjadi satu dengan prajurit lainnya yang gugur di medan tempur. Gajah Mada berniat untuk membakar jasad-jasad itu sebuah tanah lapang, namun ia harus menunggu esok hari karena keadaan untuk kremasi tidak memungkinkan dilakukan pada saat hujan.
Ketika hujan semakin deras bercampur dengan darah yang mengalir dari jasad-jasad itu menciptakan bau yang cukup anyir. Suasana langit yang begitu gelap semakin melengkapi suasana seram dan mencekam di sekitaran area itu. Hingga terdengan suara gemuruh dari langit yang berasal dar gumpalan awan hitam, awan itu menciptakan sebuah petir yang menyambar jasad Tarachandra.
CTAR...
Jantung Tarachandra yang tadinya berhenti berdetak kini kembali berdetak akibat sambaran petir itu. Perlahan ia membuka kedua kelopak matanya, ia masih terbaring diantara banyak jasad prajurit. Ia menatap ke langit yang masih diselimuti hujan serta kilat, matanya menatap tanpa emosi. Lalu, ia berusaha untuk mendudukkan dirinya dan melihat Narayandra yang sudah tak bernyawa ada di sebelahnya.
Tarachandra mengerang kesakitan akibat luka yang cukup parah pada perut dan dadanya. Ia juga merasa sangat hancur ketika melihat sahabatnya telah berbaring tak bernyawa, ia berusaha bangkit dari posisinya. Ia berjalan sambil tertatih pergi meninggalkan tanah lapang itu untuk kembali menuju hutan.
Dari kejauhan ia mendengar suara langkah kaki, dengan segera ia bersembunyi di balik pohon besar. Ia mengintip dari balik pohon, ternyata sosok itu adalah Wistara. Ia melihat Wistara tengah memperhatikan ratusan jasad itu, ia juga memilah dan seperti mencari sesuatu di tengah hujan yang masih begitu lebat.
KAMU SEDANG MEMBACA
KALA : The Eternal Love [Majapahit]
Historical FictionRevisi!! Mohon maaf jika ada beberapa part yg berantakan. "Ratusan purnama telah aku lewati, ratusan perpisahan telah aku alami, namun dari sekian lamanya menjalani hidup yang menyakitkan, kaulah yang paling kudambakan." - Tarachandra Utpala Latar...