Maya terkejut karena ia pernah melihat sosok pria yang saat ini berjalan ke arahnya, pria itu pernah bertemu dengannya ketika ia berada di situs Trowulan. Pria ia berjalan sembari memegang sebuah wadah kecil yang terlihat seperti ramuan herbal, pria itu duduk di samping Maya.
"Aku sudah mendengarmu dari Wistara, kamu kenapa tidak sabaran sekali? Seandainya kamu diam di tempatmu pasti kamu tidak akan terluka, untung saja aku segera menemukanmu kalau tidak mungkin kau sudah di makan hewan buas."
Maya mengernyitkan dahinya heran, tapi saat ia bangun ia tidak mendapati siapapun yang ada di sekitarnya selain aliran sungai kecil. Dan ketika ia kembali melihat aliran sungai tempatnya membasuh luka, ia sangat terkejut aliran itu hilang begitu saja. Dan yang terlihat hanyalah sebuah genangan air kecil yang tak memiliki cabang yang berada tepat di bawah air terjun.
"Air itu yang kugunakan untuk menuntunmu pada kami," ucap pria itu sambil tersenyum dengan ramah. Maya semakin bingung dengan baru saja terjadi pada dirinya, ia benar-benar merasa bahwa dirinya tengah bermimpi.
"Siapa kau?" tanya Maya penasaran kepada sosok pria yang ada di sampingnya.
"Tarachandra Utpala," jawab pria itu singkat. Pria itu Tarachandra Utpala, dia sosok pria yang begitu tampan bagi Maya dan terlihat sangat familiar dan tidak asing baginya. Tarachandra memberikan wadah kecil berisi ramuan herbal kepada Maya.
"Gunakan ini untuk mengobati lukamu," ucapnya dengan lembut, tak lupa ia juga memberikan sebuah apel dan air putih pada Maya. Maya segera mengoleskan ramuan itu pada beberapa bagian tubuhnya yang terluka, ia melihat kakinya juga bengkak keunguan.
"Kakimu sepertinya terkilir, izinkan aku mengobatinya," ucap Tarachandra dengan sopan, Maya mengangguk pasrah ketika pria itu menyentuh pergelangan kakinya yang terluka. Perlahan pria itu mengurut kaki Maya menggunakan ramuan yang tadi ia bawa, Maya meringis kesakitan dan meremas tangan Tarachandra dengan kuat.
"Ah! Sakit!" teriak Maya kesakitan, Tarachandra tak menghentikan aktivitasnya meskipun kuku panjang Maya mencakarnya dengan brutal. Dari kejauhan Wistara menghela nafas panjang lalu beranjak dari posisinya.
"Tarachandra, aku akan pergi ke Tumapel terlebih dahulu. Aku akan menemui Narayandra disana, cepatlah pulang menuju Lamajang jika sudah menyelesaikan bertapamu, dan tinggalkan saja gadis merepotkan itu," ujarnya pada Tarachandra. Tarachandra hanya terkekeh mendengar ucapan pedas sahabatnya itu, memang Wistara adalah sosok yang memiliki watak lebih kasar ketimbang dirinya. Setelah berpamitan, Wistara pergi meninggalkan Maya berdua dengan Tarachandra.
Tarachandra tersenyum manis melihat Maya yang meremas kuat tangannya sembari memejamkan mata.
"Sudah," ucapnya pada Maya. Maya sontak membuka matanya, dan ia merasakan kakinya yang bengkak sudah menjadi lebih baik. Ia melotot kaget ketika menyadari lengan Tarachandra terluka akibat cakarannya yang begitu kuat.
"Astaga, maafkan aku. Itu tanganmu menjadi terluka karenaku," ucapnya yang merasa tak enak pada pria yang telah mengobati kakinya. Tarachandra tersenyum dengan lembut "Tidak masalah," jawabnya.
"Ini makanlah, dan duduklah di sana," ujar Tarachandra sembari menunjuk ke arah sebuah batu yang terlihat seperti tempat duduk, Maya mencoba untuk berdiri namun ia kehilangan keseimbangan dan untungnya Tarachandra berhasil menangkapnya.
"Masih sakit ya?" tanyanya pada Maya, Maya mengangguk. Ia berpegangan kuat pada lengan kekar Tarachandra, tanpa basa-basi Tarachandra menggendong Maya menuju batu besar tadi. Hingga Maya melotot kaget dibuatnya, sesampainya disana ia di dudukkan pada batu besar itu secara perlahan.
Maya terlihat heran karena tidak melihat sosok Wistara di sekitarnya, menyadari hal itu Tarachandra menjelaskan bahwa Wistara ada urusan mendesak sehingga membuatnya harus segera pergi menuju Tumapel. Maya mengangguk paham dan lebih memilih untuk duduk sembari menyelonjorkan kedua kakinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KALA : The Eternal Love [Majapahit]
Historical FictionRevisi!! Mohon maaf jika ada beberapa part yg berantakan. "Ratusan purnama telah aku lewati, ratusan perpisahan telah aku alami, namun dari sekian lamanya menjalani hidup yang menyakitkan, kaulah yang paling kudambakan." - Tarachandra Utpala Latar...