Pagi itu Tarachandra mengajari Maya untuk menyalakan api secara tradisional dengan menggunakan kayu kering dan dedaunan kering untuk Maya gunakan ketika memasak nanti. Saat ini Maya berada di pawon sembari mempraktikkan apa yang diajarkan oleh Tarachandra, dengan telaten ia menggosok-gosokkan ujung kayu yang kering hingga menimbulkan panas menyalakan api pada bahan bakar yang berupa dedaunan kering yang diambil dari pekarangan rumah.
"Yeay! Berhasil!" teriak Maya kegirangan karena telah berhasil menyalakan api. Tarachandra tersenyum dengan bangga dengan Maya.
"Di masa depan kalian memasak menggunakan apa?"
"Sama-sama api, namun kita menggunakan kompor," jawab Maya.
"Apa itu kompor?"
"Kompor itu seperti halnya tungku ini yang digunakan untuk memasak, dan bahan bakarnya berupa gas. Kita dengan sangat mudah dapat memasak menggunakan kompor tanpa bersusah payah menggosok-gosok kayu atau batu seperti ini," jelas Maya pada Tarachandra, pria itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal karena masih terlihat bingung.
"A-apa itu gas?" Maya terlihat frustasi karena ia sendiri tak tahu harus menjelaskan darimana. Maya terlihat sibuk membuat makanan untuk mereka sarapan, Tarachandra sendiri duduk di sebuah kursi sembari memperhatikan Maya memasak.
"Maya, bisa kau ceritakan seperti apa masa depan itu?" tanya Tarachandra penasaran.
"Di masa depan, kita dengan mudah dapat mencari apapun yang kita butuhkan. Bahkan di masa depan tak perlu pergi ke pasar jika ingin berbelanja, lalu penerangan di masa depan sudah canggih. Di sana kami menggunakan listrik untuk menunjang keberlangsungan hidup, listrik merupakan hal yang sangatlah krusial."
Maya menjelaskan semua tentang masa depan kepada Tarachandra sembari terus memasak. Dan makanan mereka pun matang, Maya menyajikan makanan itu di sebuah meja kayu dengan begitu rapih. Mereka menyantap sarapan dengan di penuhi canda tawa, dan sesekali Tarachandra menggoda Maya hingga kesal.
Ketika matahari naik semakin tinggi, Tarachandra mengajak Maya untuk mencari tanaman herbal untuk membuat obat-obatan. Tarachandra juga menuliskan beberapa resep untuk membuat ramuan di beberapa lembaran daun lontar. Maya dengan mudah mempelajari yang telah di ajarkan pria itu.
Setelah mencari beberapa tumbuhan herbal, mereka melakukan praktik untuk membuat ramuan penyembuh flu dan batuk. Dengan penuh ketelatenan, Tarachandra terus mengajari Maya hingga tanpa sadari hari sudah mulai gelap.
Kini mereka tengah merebus kentang yang telah mereka beli tadi di pasar. Setelah kentang itu matang, mereka menyantapnya di ruang utama rumah ini.
"Omong-omong, sewaktu kau bicara dengan Mbok Kusumaningsih aku mendengarkan semua percakapan kalian. Aku sedikit terkejut karena mendengar fakta aku atau Prabawati ini memiliki hubungan darah dengan keluarga kerajaan Majapahit, dan itupun dengan seorang pendiri kerajaan Majapahit," celetuk Maya.
"Aku juga terkejut, ternyata dirimu bukanlah orang sembarangan. Pasti ada sebab kenapa kamu bisa terjebak di dalam tubuh Prabawati, yang dilihat oleh mbok Kusumaningsih Prabawati adalah leluhurmu. Dan fakta paling mengejutkan, seharusnya Prabawati sudah meninggal."
Maya sendiri juga heran dan terkejut, mendengar seharusnya Prabawati meninggal di kedhaton Majapahit karena kelelahan dalam bekerja. Dan ia sendiri tak tahu apa penyebab pasti dirinya bisa terlempar hingga ke masa lalu.
"Eh, aku baru mengingat suatu hal yang janggal sebelum aku berakhir disini," ujar Maya dan membuat Tarachandra penasaran.
"Apa itu?"
"Saat itu di masa depan, aku pergi ke situs yang ada di Trowulan. Yang dimana situs di masa depan itu adalah bekas reruntuhan dari kerajaan Majapahit yang masih berdiri dengan kokoh, dan aku sangat tertarik dengan suatu gapura yang bernama 'Bajang Ratu'. Dan disana aku merasa terhipnotis, hingga aku bertemu dengan sosok yang memiliki wajah ataupun fisik yang sangat amat mirip denganmu. Dia menatapku dengan tatapan yang tak bisa ku artikan, namun ia mengenakan pakaian yang sama denganku di masa depan," jelas Maya.
"Dan ketika dia menjabat tanganku, aku merasakan ada getaran seperti sengatan listrik pada telapak tanganku. Dan semenjak pertemuan singkatku itu semakin membuatku tertarik, bahkan aku pergi kembali menuju depan gapura Bajang Ratu. Lalu, ketika aku kembali ke depan gapura itu, aku merasakan hembusan angin yang kencang dan saat itu pandanganku menjadi buram. Dan akhirnya aku pingsan, setelah bangun aku sudah berada di masa ini. Tubuh Prabawati juga jatuh tepat di posisiku sewaktu pingsan di masa depan."
Penjelasan Maya membuat Tarachandra berpikir keras, kenapa Maya melihat sosok dirinya di masa depan? ataukah di masa depan ia juga bereingkarnasi?
"Dan yang lebih menarik, aku sangat tertarik pada relief Batara Kala yang terukir di atas gapura Bajang Ratu," imbuhnya.
"Mungkin saja orang yang membawamu kembali ke masa ini adalah Batara Kala, mungkin ada maksud tertentu atau impian Prabawati yang belum terwujud? atau mungkin itu semua hanya kebetulan?" Tarachandra menerka-nerka apa yang menyebabkan Maya terlempar ke masa lalu.
"Dan yang aku heran, jika Prabawati ditakdirkan meninggal di usia 23 tahun dimana itu adalah usiaku saat ini di masa depan lalu bagaimana dia memiliki keturunan dan hingga melahirkanku yang katanya dia adalah leluhurku? tidak bisakah kamu bertanya lebih detail pada mbok Kusumaningsih?" pinta Maya.
"Tidak semudah itu. Karena menurut mbok Kusumaningsih, ada beberapa berita yang bisa disampaikan dan ada yang tidak disampaikan. Jika mbok Kusumaningsih berani melanggar maka ia bisa terkena kutukan atau hukuman dari para dewa," jelas Tarachandra.
"Ya sudah, lebih baik aku akan menjalani apa yang ada sekarang. Aku juga tidak tahu bagaimana cara agar bisa kembali ke masa depan," lirih Maya.
"Pasti kamu sangat merindukan keluargamu yang ada disana," sahut Tarachandra. Maya mengangguk menyetujui ucapan Tarachandra.
"Benar sekali, sesekali aku sangat merindukan sosok ibuku dan adikku. Ayahku sudah lama meninggal ketika aku masih kecil, dan saat itu adikku juga masih bayi."
Mereka berdua pun menghabiskan waktu semalaman untuk saling bertukar cerita tentang hidup mereka masing-masing. Dan ketika malam semakin larut, Maya memutuskan untuk tidur terlebih dahulu sedangkan Tarachandra memilih untuk melanjutkan tulisan resep obatnya untuk Maya nanti. Tarachandra juga mengajari Maya untuk menjadi seorang tabib, Tarachandra juga berniat akan memberikan beberapa bibit sayuran yang bisa di tanam di pekarangan rumah yang cukup luas.
***
Pagi pun telah tiba, Maya terbangun dan ketika melihat sekeliling ia tak menadapti Tarachandra tidur disisinya. Maya segera bangun dari tidurnya dan berjalan menuju luar kamar, ia juga melihat makanan untuknya sarapan sudah tertata dengan rapi di atas meja yang terbuat dari kayu jati.
Maya tak mendapati sosok Tarachandra dimanapun, dan ia memutuskan untuk melihat di kamar depan yang akan ia gunakan sebagai tempat pembuatan ramuan. Dan benar saja, disana ia melihat kekasihnya itu sibuk menulis sesuatu di atas daun lontar. Maya menghampiri pria itu lalu memeluknya dari belakang.
"Sedang apa?" tanya Maya penasaran.
"Menulis beberapa jenis dan ciri tumbuhan yang bisa digunakan untuk penyembuhan," jawab Tarachandra sembari menoleh ke arah Maya.
"Ku pikir kau telah kembali ke Sadeng," ujar Maya pada Tarachandra.
"Iya, dan ini sudah selesai." Tarachandra beranjak dari tempatnya, ia memeluk Maya dengan begitu erat.
"Aku pamit dulu ya," pamitnya pada Maya.
"Iya, terimakasih banyak. Kamu fokus saja melatih para prajurit, disini aku akan selalu setia menunggu kehadiranmu." Tarachandra tersenyum lembut, ia membelai kedua pipi Maya. Lalu, ia segera menaiki kudanya yang ia ikatkan pada pohon yang ada di samping rumah itu. Ia melambaikan tangannya pada Maya menandakan salam perpisahan di antara keduanya, perlahan sosok Tarachandra benar-benar menghilang dari netra Maya.
Dan tanpa di sadari oleh Maya, ada seseorang yang tengah mengintai mereka dari kejauhan.
***
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
KALA : The Eternal Love [Majapahit]
Historical FictionRevisi!! Mohon maaf jika ada beberapa part yg berantakan. "Ratusan purnama telah aku lewati, ratusan perpisahan telah aku alami, namun dari sekian lamanya menjalani hidup yang menyakitkan, kaulah yang paling kudambakan." - Tarachandra Utpala Latar...