Suara sahutan serak dari dalam menandakan si pemilik rumah yang dalam hitungan detik akan membukakan pintu. Wajah yang mulai keriput milik pria berumur lima puluh tahunan itu menyambutnya kemudian, namun tidak secerah sebelumnya yang terlihat.
Satu hal yang paling menonjol dari pria itu adalah mata yang begitu bengkak dan sayu, penuh luka disana, diiringi raut wajah yang lemas.
Namun, pria paruh baya itu justru tetap berusaha menyunggingkan senyumnya yang tampak pucat pasi.
Pastilah pria itu lebih terpukul dibanding dirinya.
Setelah ia sedikit menundukkan kepala dan tubuh, lelaki tua itu berkata, "Masuklah, Nak.."
Kali ketiga ia berkunjung, dan suasana rumah sangat berubah, seakan atmosfer di dalamnya pun mengetahui banyak kesedihan.
Terasa dingin, padahal cuaca saat itu justru berlawanan.
Ditaruhnya tongkat kayu yang setia menopang tubuh tua itu, dan ia mempersilahkan Levi duduk dengan nyaman begitupun dengan dirinya.
Seperti biasa diatas meja telah tersaji dua cangkir teh hangat buatan tangan Tuan Rall, yang Levi duga itu dibuat saat pria itu mengetahui kedatangannya.
"Kau pasti ingin menyampaikan sesuatu. Kumohon sampaikanlah dengan nyaman.."
Tuan Rall seperti sudah menerka maksud kedatangannya.
Levi merogoh saku rompinya, dan mengeluarkan surat terakhir yang akan ia sampaikan, masih tersegel dengan rapih dan baik. Hatinya sudah siap sejak awal menerima segala balasan, entah sampai kapan ia meyakinkan diri.
"Aku utusan resmi dari pasukan pengintai, datang untuk menyampaikan titipan dari putrimu."
Levi tampak tidak tergetar memberinya, dan benda itu sekarang sudah berada di tangan yang lebih berhak memiliki, sang ayah dari putrinya yang tewas dibawah komandonya.
Tuan Rall memutuskan untuk membaca sekilas isi surat itu, dan perlahan menangkupnya di dada. Pria itu memejamkan mata dan tersenyum kecil.
"Selalu sama.."
Dua kata itu membuat Levi sukses menaruh perhatian, dan Tuan Rall tengah memandangnya sekarang.
"Selalu sama. Dia pasti tidak lupa mencantumkan namamu didalamnya. Kurasa kau juga berhak untuk membaca surat darinya."
"Tidak perlu. Tidak ada artinya jika aku tidak mendengar langsung darinya."
Tuan Rall kembali tersenyum, "Aku mengerti. Aku hanya berharap kalian tidak memiliki penyesalan yang tertinggal."
Levi hanya terdiam, tak bergeming. Namun, tanpa sadar tangannya sudah mengepal kuat di bawah.
"Putrimu tewas dibawah perintahku. Maafkan aku."
Pria paruh baya itu kembali menelisik. Safir itu tidak setajam seperti biasa, terlihat lebih kosong. Namun, ia tahu lelaki itu tetap terlihat tenang.
"Tidak ada yang salah disini. Kalian memutuskan untuk menjalaninya, dan ini adalah jawaban dari itu. Aku yakin Petra akan memahaminya dan menerima."
Levi menatap lamat lelaki tua itu sejenak, tanpa berucap sepatah kata.
Hingga Tuan Rall menghela nafas sembari sedikit memajukan tubuhnya dari sandaran kursi.
"Adakalanya kita harus menurunkan ego dan menjadi lemah, karena itulah seorang manusia. Jika mereka ada yang berkata seseorang tidak memiliki perasaan, mereka salah besar," ucapnya lembut.
"...."
Sejemang suasana kembali menghening, dan lagi-lagi Levi hanya bisa menelan semua kalimat yang pria itu ucapkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝑨𝒍𝒘𝒂𝒚𝒔 𝑩𝒆 𝑾𝒊𝒕𝒉 𝑼 [𝑳𝒆𝒗𝒊 𝒙 𝑷𝒆𝒕𝒓𝒂] 𝐒𝐞𝐚𝐬𝐨𝐧 𝟏
Fanfiction"𝐵𝑖𝑎𝑟𝑘𝑎𝑛 𝑎𝑘𝑢 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑡𝑒𝑟𝑢𝑠 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑑𝑎 𝑑𝑖𝑠𝑎𝑚𝑝𝑖𝑛𝑔𝑚𝑢. 𝐵𝑖𝑎𝑟𝑘𝑎𝑛 𝑎𝑘𝑢 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑚𝑒𝑛𝑑𝑒𝑑𝑖𝑘𝑎𝑠𝑖𝑘𝑎𝑛 ℎ𝑖𝑑𝑢𝑝𝑘𝑢 𝑝𝑎𝑑𝑎𝑚𝑢. 𝐼𝑡𝑢 𝑎𝑑𝑎𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑚𝑝𝑖𝑎𝑛𝑘𝑢 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑎𝑚𝑎𝑚𝑢...