4. 3P

37 6 9
                                    

Memangnya selama ini saya ngobrol sama kamu lewat tulisan belum cukup untuk bikin kamu sadar kalau saya bisu?
—K.A. Samudra

—∞—∞—∞—
4. 3P
—∞—∞—∞—

Hari ini Sashi mendapatkan jadwal siaran sepulang sekolah untuk menemani anak-anak yang mengikuti ekstrakurikuler. Oleh karena itu, begitu bel pulang berbunyi dan guru di kelasnya keluar, dia bergegas menuju ruangan Ligaradio. Dia tentu tidak mau membuat reputasinya semakin buruk dengan terlambat di jadwal siaran siang menjelang sore ini.

Sashi akan siaran bersama Neo hari ini. Sebetulnya selama ini dia memang selalu siaran bersama Neo, sih. Kata orang-orang, mereka lebih cocok siaran berdua dibanding dengan penyiar lainnya. Neo dan Sashi itu seolah dijodohkan bertemu sebagai sepasang penyiar di Ligaradio, seperti potongan puzzle yang saling melengkapi untuk membentuk suatu figur utuh.

Sashi biasanya antusias untuk melakukan siaran. Namun, ada satu hal yang tak jarang membuatnya malas, yakni letak ruangan Ligaradio yang berada jauh di lantai tiga. Dia harus dua kali naik tangga untuk mencapainya.

Setelah berhasil menaiki tangga pertama dan tiba di lantai dua, lagi-lagi Sashi bertemu dengan sosok siswa yang beberapa hari lalu ditabraknya. Yeah, the one and only Kanu Aji Samudra.

Kanu terlihat baru keluar dari kelas 11 IPA 4 di dekat tangga. Sashi sempat mengintip dari celah jendela dan mendapati bahwa di kelas cowok itu sedang ada guru. Salah seorang siswa berdiri di depan kelas, seperti sedang menunaikan tugas hafalan. Ini cukup mengherankan. Kenapa Kanu bisa keluar lebih awal di saat teman-temannya ditahan di dalam kelas?

Kanu hendak berkata-kata menggunakan bahasa isyarat, tetapi urung kala teringat bahwa Sashi tidak akan mengerti maksud gestur tangannya. Oleh karena itu, dia mengeluarkan notebook kecil berikut pena dari saku bajunya dan menuliskan sesuatu. “Nggak ada niatan minggir? Saya mau turun.”

“Eh,” sebut Sashi kikuk begitu memahami maksud tulisan itu. Dia baru sadar jika sejak tadi menghalangi jalan Kanu. Namun, bukannya minggir, cewek itu malah semakin memblokir jalan dan terang-terangan melempar tatapan bingung pada cowok tinggi menjulang di hadapannya. “Kok lo pulang duluan? Teman-teman kelas lo belum pada pulang.”

“Ada tugas hafalan,” balas Kanu, lagi-lagi lewat tulisan di notebook-nya.

“Emangnya kenapa sama tugas hafalan?”

Kanu mendesah tanpa suara, kembali menjawab lewat tulisan usai membalik halaman baru. Kali ini terasa lebih lama karena dia harus menulis cukup panjang. “Memangnya selama ini saya ngobrol sama kamu lewat tulisan belum cukup untuk bikin kamu sadar kalau saya bisu?”

“Hah ....” Sashi menganga tidak menyangka. Dia tidak kepikiran sampai sana. Dia malah berpikir Kanu itu duplikat Neo yang irit bicara, tetapi bedanya Kanu lebih parah. Sempat juga terpikir di benak Sashi kalau cowok itu lagi sariawan atau sakit gigi sehingga tidak bisa bicara langsung. Memang menyedihkan Sashi dan pikiran dangkalnya. “Gue nggak tau, maaf.”

Cowok jangkung itu tidak tampak tersinggung. Dia hendak menyuruh Sashi untuk menyingkir supaya bisa melanjutkan perjalanan, tetapi cewek itu kembali menahannya.

“Eh, lo langsung pulang habis ini? Gue masih mau ngobrolin soal earbuds, tapi nggak bisa sekarang soalnya ada jadwal siaran.”

Dengan agak terpaksa, Kanu menuliskan kembali jawabannya lewat notebook. “Saya mau ke gazebo dekat kolam ikan. Kita bisa ngobrol di sana.”

Menuju Tak HinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang