13. Toko Buku

19 10 17
                                    

Lo jangan membiasakan hal kayak gini, dong. Harusnya lo marah atau minimal nggak terima dikatain begitu sama dia.
—S. Nindyani

—∞—∞—∞—
13. Toko Buku
—∞—∞—∞—

Setelah pembicaraan dengan Dava selesai, Sashi dan Kanu akhirnya bisa pergi. Cewek itu terlihat biasa saja—maksudnya tetap berwajah ceria seperti biasa, seolah persinggungan dengan Dava tadi tidak begitu berarti. Kanu ingin bernapas lega untuk itu, tetapi urung tatkala Sashi bercerita tanpa diminta.

“Jam satu nanti Dava ada pertandingan basket lawan SMA Putra Bangsa dan gue mau nonton.” Sashi menyerongkan duduknya sedikit menghadap Kanu untuk fokus berbicara. Mereka kini sedang berada di bus yang akan mengantarkan ke toko buku tujuan. “Maaf ya, kita nggak bisa lama-lama di toko bukunya.”

Informasi itu lebih dari cukup untuk menambah objek overthinking Kanu. Apakah sekarang hubungan Dava dan Sashi kembali seperti dulu?

“Lo ... nggak marah, kan?”

Cowok itu segera menggeleng, tersadar bahwa tidak seharusnya dia memikirkan hal sesepele itu. Tangannya bergerak menunjuk Sashi seiring dengan mulutnya mengucap sesuatu tanpa suara. “Kamu sendirian?”

“Kayaknya sama temen-temen gue,” balas Sashi. “Gue nggak nyaman kalo sendirian. Tapi, gue belum tanya sih ke mereka soal ini.”

Kanu akhirnya mengangguk. Dia tidak berniat melanjutkan lagi obrolan ini.

Sashi lalu mengeluarkan ponsel pintarnya untuk mengetikkan sesuatu di ruang obrolan bersama teman-temannya. Setelah selesai, dia mengembalikan atensi pada Kanu seraya tersenyum penuh rencana. “Nu, lagi mood nulis nggak?”

Tangan Kanu bergerak merogoh saku baju dan memperlihatkan notebook-nya yang hampir tidak lagi berhalaman kosong.

“Oh, gue lupa kalo udah habis.” Bibir Sashi mengerucut kecewa selama sesaat. Namun, cewek itu tentu bukan tipikal yang pasrah begitu saja. “Ketik aja deh, nih di HP gue. Mau nggak?”

Kanu menatap sejenak tangan Sashi yang mengulurkan smartphone dengan case bernuansa pink bentol-bentol putih. Jujur, Kanu agak pusing melihat motifnya. Namun, akhirnya tangan jenjangnya bergerak meraih benda persegi panjang itu. Sashi telah membuka aplikasi notepad sebelum menyerahkannya, jadi Kanu bisa langsung mengetik.

Sashi tersenyum puas atas penerimaan Kanu. “Gue mau tau soal sesuatu nih, tapi kalo lo keberatan cerita juga nggak papa, sih,” katanya sebagai basa-basi. “Gue mau tau dong cerita tentang lo sama Neo, kok bisa jadi teman dekat kayak sekarang, sampe serumah pula.”

Lalu, komunikasi dua arah itu pun berjalan. Kanu tidak keberatan, jadi dia tanpa paksaan mengetik di notepad ponsel Sashi mengenai awal mula pertemuannya dengan Neo. Sashi sesekali merespons, sesekali melanjutkan pertanyaan, sementara Kanu menjelaskan lewat ketikan.

Ternyata Neo dan Kanu baru bertemu 3,5 tahun yang lalu, saat masih duduk di bangku kelas 8 SMP. Saat itu, Neo merupakan murid baru di sekolah Kanu. Neo kesulitan beradaptasi dengan teman-teman di sekolah barunya karena dia berasal dari luar kota, tepatnya Bandar Lampung. Namun, anak itu langsung cocok berteman dengan Kanu yang memiliki kebiasaan sama dengannya. Mereka sama-sama suka menyendiri dan membaca buku. Herannya, walau suka menyendiri, keduanya tidak keberatan untuk saling menemani.

Menuju Tak HinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang